Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Crazy Daughter

Blitz Damarion, Raja Kerajaan Bhav-bhooti. Pria dengan usia hampir menginjak paruh baya tersebut tidak pernah membayangkan dalam hidupnya, jika ada hari. Di mana Ilios Scheinen, Archduke sekaligus Pahlawan Kerajaan akan menunduk hormat memohon sesuatu padanya.

Bahkan jika ada yang mengatakan bumi berbentuk kotak. Itu bisa lebih dipercaya di banding apa yang dia lihat saat ini. "Tunggu, tunggu. Aku tidak mengerti, Archduke. Untuk apa kamu sampai melakukan hal ini?"

Kira-kira itulah reaksi yang dia berikan, ketika tiba-tiba Ilios berlutut tanpa alasan. Pria berhati dingin serta punya harga diri tinggi tersebut mustahil melakukan hal itu seumur hidupnya. "Cepat katakan apa mau mu. Kamu membuatku takut Archduke."

Raja mengatakannya dengan ekspresi hati-hati. Takut-takut akan apa yang akan dia dengar selanjutnya. Setelah mendengar ucapan gugup sang Raja. Ilios mulai membuka mulutnya.

"Saya memohon pada Anda untuk merahasiakan kondisi putri saya dari pergaulan kelas atas." Ilios berkata dengan sungguh-sungguh, nada suaranya terdengar lelah.

Raja terdiam sejenak, menatap wajah kusut Ilios yang kini terlihat jelas. Jika spekulasinya benar, apa yang dialami putri Ilios pasti sangat buruk setelah kejadian di bukit selatan kemarin.

Dengan menghembuskan napas lega Raja tersenyum lembut. "Tenang saja, aku sudah melakukannya sebelum kamu meminta. Lagi pula kita masih kerabat dekat."

"Terima kasih, Yang Mulia." Ilios yang mendengarnya tanpa sadar menarik sudut bibirnya dengan ekspresi lega. Tampaknya kekhawatirannya kini bisa mereda dengan mendapat klarifikasi dari orang yang bisa dipercaya.

Sedangkan Raja yang mendapati senyuman dari wajah Ilios menatap tidak percaya. Entah kenapa hari ini terlalu banyak hal yang berubah dari pria di hadapannya dalam sehari. "Apa kamu salah makan?" gumam pria tua tersebut menutup mulut.

Ilios yang mendapatkan reaksi tersebut buru-buru mengubah ekspresi wajahnya kembali dingin. Dengan suara rendah dia menunduk hormat dan segera pergi.

Di depan pintu keluar, Ilios dengan suara lemah berbicara kecil. "Terima kasih, Sepupu." Setelah mengatakan hal tersebut, dengan cepat Ilios melesat pergi dari hadapan Raja.

"Hah! Ilios! Kembali kemari! Kamu sepertinya memang salah makan!" Raja berseru sebal dengan senyum kecil. Sudah dia duga, ada yang tidak beres dengan Ilios saat ini.

.

.

.

Kamar dengan nuansa indah dengan gradasi putih gading menghiasi kamar. Berbagai hiasan elegan terpanjang sempurna. Tampak sekali pemilik tempat ini memiliki selera yang sangat tinggi, juga menawan.

Prang!

Brak!

Prang!

Sayang beribu sayang, kamar yang terlihat sempurna mulai kacau ketika barang-barang melayang, menghancurkan furnitur mahal yang menghiasi kamar.

"AAAKKKHHH!"

"PERGI BAJING*N, PENJAHAT TIDAK BERGUNA! PERGI!"

Teriakan terdengar nyaring dengan suara benturan barang yang dibanting silih berganti, menjadi penyempurna kekacauan yang semakin kacau dari waktu ke waktu.

Hari ini gadis yang menjadi pasien utama terlihat menggila dengan histeris. Rasa sakit, kegilaan, serta rasa frustasi keputusasaan terasa jelas dari pancaran mata yang mulai berkaca-kaca.

Kekacauan ini bermula ketika salah satu perawat salah memasukan obat pereda nyeri dengan obat penenang. Sehingga ketika perawat tersisa yang menjaga. Stella Scheinen-- pasien utama kali ini tiba-tiba terbangun, lantas mengamuk tidak terkendali.

Para perawat tampak kewalahan untuk menangani pasien tersebut. Sayangnya di antara mereka tidak ada yang memiliki keberanian meredakan amukan Stella. Karena satu-satunya yang bisa melakukan itu hanyalah Dokter Starla yang kini tengah istirahat setelah semalaman begadang.

Kondisi Stella semakin memburuk. Dia menangis, menjerit, berteriak, bahkan tertawa. Tubuhnya belum benar-benar pulih, akan sulit jika dia kembali terluka. Padahal dia harus segera menjalani pengobatan psikologis untuk menstabilkan mentalnya.

Di antara kerumunan yang berkumpul di depan kamar Stella. Amaris adalah salah satunya, kebetulan yang sangat tidak menyenangkan, bahkan dia datang setelah dipaksa sahabatnya untuk menjenguk Stella. Tidak ada yang bisa dia lakukan karena dirinya bukan ahli dalam bidang medis, yang kini dia lakukan hanyalah menonton, seakan itu adalah hiburan gratis.

Para perawat sudah tidak bisa bertindak apa-apa. Mereka hanya bisa pasrah. Mundur dan mengikuti kemauan sang putri yang semakin menggila ketika di antara mereka ada yang mendekat. Semua orang keluar dari kamar. Amaris yang penasaran setelah pintu tertutup, mulai mengintip, untuk mengetahui apa yang dilakukan Stella saat ini.

Stella kini tengah meringkuk di pojok kamar. Bergumam sendiri sembari menggenggam senjata tajam, berusaha mengancam siapa pun yang mendekat. "Tuan Muda Scheinen, kami mohon. Bantu kami." Para perawat memelas, karena mungkin kakak pasien bisa membantu mereka walau sedikit.

Amaris tidak menanggapi permohonan mereka. Dia hanya berdiri diam tanpa melakukan apa pun dengan raut wajah datar. Bertepatan dengan itu, Ilios datang dengan dahi mengerut menatap orang-orang yang berkerumun di luar kamar putrinya. Dan yang paling menonjol adalah sang putra.

"Salam, Yang Mulia Archduke."

"Apa yang terjadi?" tanya Ilios heran. Para pelayan bergidik ketakutan, gemetaran, takut dihukum karena tidak becus merawat sang putri.

"Stella Scheinen. Dia mengamuk, Ayah." Amaris yang melihat kebingungan di wajah Ilios menjawab, menggantikan para perawat yang bungkam.

"Bagaimana bisa?" Ilios menatap serius. Menunggu jawaban selanjutnya, dia baru pergi sebentar. Lalu kenapa masalah terjadi dalam waktu singkat tersebut?

"Entahlah, saat saya baru datang. Dia sudah mengamuk begitu saja. Entah apa yang dilakukan para perawat." Amaris menjelaskan apa adanya, tidak melebih-lebihkan atau dikurangi dari fakta yang ada.

Ilios yang mendengarnya menatap tajam para perawat. Hingga satu dari mereka tergagap mulai menjelaskan. "Ma-maaf, Yang Mulia. Ada kesalahan tek-teknis dalam pengontrolan yang kami lak- lakukan. Biasanya Dokter Starla yang menangani putri di saat tidak terkendali seperti ini."

"Dimana Dokter Starla?" Ilios mengeluarkan aura intimidasi tanpa disadari. Itu semua membuat para perawat semakin ketakutan menjawab dengan terbata-bata. "Be-beliau tengah beristirahat tengah dijemput salah satu perawat."

Ilios sudah menggenggam ujung pedang, ingin memenggal kepala orang-orang di hadapannya. Sebelum dia mendengar suara benda jatuh dari arah kamar. "Amaris, ikut aku." Perhatiannya yang teralihkan membuat para perawat bernapas lega untuk sesaat.

Sementara Amaris mengangguk mengikuti sang ayah. Sebelum itu tidak lupa dia meminta obat penenang dari perawat untuk berjaga-jaga untuk keadaan darurat.

Mereka berdua masuk ke dalam kamar Stella. Gadis itu yang menyadari keberadaan mereka langsung berdiri tegap, menghunuskan belati pada Ilios dan Amaris bergantian.

"Menyingkir.., kumohon.., menyingkir..,"

Stella berbicara dengan gumaman rendah. Tubuhnya gemetaran, mulai ketakutan. "Nak, tenanglah. Ini aku. Ayahmu." Ilios mengulurkan tangan, berusaha menenangkan gadis di hadapannya yang semakin waspada.

"Tidak, tidak..., Jangan mendekat..," cicit Stella takut dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu ketakutan setengah mati, seakan-akan dirinya bisa kembali terluka kapan saja ketika mereka mendekat.

"Stella Scheinen. Sadarlah. Beliau, Ayahmu!"

Amaris yang gemas berseru tegas, suara kerasnya terasa sebagai ancaman. Membuat Stella melotot, menatap Amaris marah. "PERGI! KU KATAKAN PERGI! JANGAN SAKITI AKU!" teriak Stella histeris.

Ilios melirik kesal pada putra pertamanya. Amaris hanya memperburuk keadaan, namun dengan segera Amaris langsung membalasnya dengan gerakan permintaan maaf.

"Tenanglah.., ini Ayah, 'Nak." Sekali lagi, Ilios mendekati Stella hati-hati. Dia mendekat dengan tenang, berusaha membuat gadis tersebut tenang. Namun usahanya nihil, Stella kini berteriak, langsung menyerbu sang ayah dengan belati yang sedari tadi dia genggam. "AAAAA!"

Ilios yang mendapatkan serangan, dengan sigap mencengkram kedua belah tangan sang putri. Amaris yang melihat kesempatan ikut menahan tubuhnya, sekaligus berusaha memasukkan obat penenang ke mulut Stella.

Sedang Amaris yang sibuk berusaha meminumkan obat. Sang ayah berusaha mengambil senjata tajam tersebut dari tangan si gadis. Sesaat ketika Ilios bertatapan dengan putrinya. Dia melihat gadis yang sangat ketakutan dengan penampilan kacau berusaha bertahan hidup.

Itu membuat Ilios kehilangan kesigapannya untuk beberapa saat. Melihat kesempatan terbuka, Stella berusaha menusuk perut Ilios yang lengah. Ilios yang tersadar segera menghalangi serangan tersebut dengan telapak tangannya.

Bertepatan obat itu masuk ke dalam mulut Stella. Belati yang diayunkan Stella pun berhasil menembus telapak tangan Ilios. Suasana kemudian menjadi hening. Setelah Stella ambruk dan langsung tertidur dengan obat penenang. Amaris segera mengangkat tubuh sang adik ke atas kasur untuk menidurkannya, untuk beristirahat.

Amaris menghembuskan napas lega, lantas langsung terkejut, baru sadar, bahwa Ilios terluka. "Ayah, biar aku yang cabut belatinya," ucap Amaris segera menghampiri Ilios.

Ilios menggeleng, membuat Amaris keheranan. "Ternyata putriku bisa sekuat ini. Ke mana saja aku selama ini?" Ilios tertawa hambar, dengan dada yang sesak. Bukankah ini tidak ada apa-apanya di banding apa yang dialami putrinya?

Melihat kondisi putrinya itu dia kembali tersadar akan satu hal. Apa yang dialami putrinya hingga bisa seperti itu? Bukankah sangat buruk hingga membuat gadis itu trauma berat seperti itu?

Menyadarkan dirinya, Ilios menarik belati yang menembus telapak tangannya tersebut. Membuat darah segar mulai mengalir. "Amaris, bukankah adikmu itu sangat kuat? Aku tidak menyangka. Putri kecilku bisa jadi dewasa secepat ini." Ilios meremas lukanya dengan keras, mencoba sedikit memahami sedikit rasa sakit yang dialami putrinya.

Amaris menatap Ilios datar. Entah kenapa kata-kata yang dilontarkan Ilios terdengar sangat menyebalkan baginya. Hatinya terasa nyeri, dia tidak tahu apa yang terjadi dengan hingga dia membuang wajah kasar. Amaris menuju pintu keluar segera pergi. "Aku akan memanggil Sky." Seperti biasa, itulah kata yang dia lontarkan sebelum suasana hatinya semakin memburuk.

Ilios ikut bangkit meremas luka tersebut. Dia kembali tersenyum miris, sembari menatap ranjang putrinya. Dengan sorot lirih dia keluar kamar, disambut Dokter Starla yang terkejut akan kehadiran Ilios dengan tangan terluka.

"Jangan terlambat lagi." Setelah mengatakan hal tersebut. Ilios langsung pergi menuju arah kamar. Kepala Pelayan sudah berada di sana menghembuskan napas panjang.

Tanpa berkata apa-apa. Pria tua itu langsung mengobati luka Ilios dengan membalut perban dan meneteskan obat. "Sudah saya katakan. Berhati-hatilah, Yang Mulia." Nasehat dilontarkan Ketua Pelayan yang dibalas anggukan lemah Ilios.

"Saya yakin semua akan kembali baik-baik saja." Kepala Pelayan menyemangati tuannya yang terlihat lesu. Lantas dia pergi menyimpan kotak obat.

"Semoga," ucap Ilios menunduk. Hal itu tidak bisa dia bayangkan saat ini, karena baru saja di depan matanya sendiri putrinya menjadi gila. Itu semua mustahil untuk kembali baik-baik saja.

Namun, tidak salah bukan, untuk berharap? Karena ketika kita tidak memiliki apapun lagi di dunia. Yang tersisa hanyalah harapan.

Iya, sedikit harapan tidak akan menjadi masalah bukan?

Bersambung...

21/06/2021

Edit: 15/03/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro