26. Angry Daughter
Sring!
Sring!
Prang!
Buk!
Suara pedang dan adu kekuatan terlihat di kegiatan latihan bersama hari ini. Kesatria Aencas dan Prajurit Kerajaan saling beradu kekuatan strategi juga kekuatan sama lain, melatih ketangkasan dalam bela diri.
Pagi yang cerah dan mentari yang bersinar hangat menerpa. Langit biru juga gumpalan awan putih menghias, keindahan yang hangat, musim semi masih belum pergi. Jika saja saat ini bukanlah dalam kondisi melaksanakan misi. Marquiss Anaan sang ketua pemberantas pemberontak, sangat ingin bersantai sembari menyesap teh hangat sembari berkumpul bersama keluarga.
"Benar, nah. Anda harus lebih memusatkan kekuatan pada ujung pedang. Karena kelebihan anda adalah kecepatan. Dengan itu Anda bisa menebas musuh dan melukainya dengan mudah."
Berbeda dengan Marquiss Anaan yang tengah mengawasi latihan dengan mengawasi para pasukan yang berlatih dengan tenang. Amaris kini tengah disibukkan mengajari Putri Mahkota menggunakan pedang dengan lebih efisien.
"Apakah seperti ini?"
Putri Mahkota mengayunkan pedang lantas dengan gerakan cepat yang rumit. Dia menebas boneka jerami hingga terbelah menjadi tidak berbentuk lagi. "Iya, Benar. Tapi, Yang Mulia. Gerakan Anda tidak efisien. Terlalu banyak gerakan tidak berguna. Lebih baik Anda fokus dan mempersingkat gerakan dan lawan musuh dengan lebih gesit dan cepat."
"Baik."
Putri Mahkota kembali mengayunkan pedang. Namun, kali ini gerakannya lebih sederhana walau sulit ditebak. Waktu penyerangannya pun lebih cepat dan menebas jerami menjadi dua bagian.
"Latihan hari ini cukup di sini Putri. Bagus sekali. Gerakan Anda yang sulit ditebak adalah keunggulan Anda. Tapi, saya ingatkan. Jangan terlalu banyak gerakan tidak berguna. Lebih baik Anda membuat gerakan efisien dan berguna dalam tiap gerakan namun bisa juga menipu."
Amaris memberikan penjelasan yang langsung di balas anggukan oleh Putri Mahkota. Gadis itu menatap pria di depannya yang mengelap keringat dengan handuk kecil, Penerus Scheinen ini benar-benar kompeten dalam posisinya "Terimakasih, Ketua Kesatria Aencas."
"Cukup panggil saya Ketua, Putri. Panggilan yang Anda ucapkan terlalu panjang."
"Baik, Ketua."
Amaris menghela nafas, dengan anggukan datar dengan tubuh membungkuk hormat. "Baiklah, saya ijin undur diri, Yang Mulia." Dengan hangat Putri Mahkota melambaikan tangan mengiyakan menatap pria itu hingga jauh dari pandangan.
Langkah Amaris membawa dirinya menuju Marquiss Anaan yang sedang mengawasi para pasukan. "Semua berjalan dengan lancar ya, Marquiss." Amaris membuka percakapan membuat sang empu mengangguk dengan senyum hangat. "Benar, semua berjalan lancar."
Marquiss menanggapi sembari menikmati pemandangan langit dengan damai hingga pria di samping berguna pelan. "Aneh." Marquiss yang mendengar hal tersebut melirik Penerus Scheinen bingung. "Apa yang aneh, Penerus Scheinen?"
"Aneh. Maksudku ini terlalu mudah. Bukankah harusnya walau ini hutan penuh cerita mistis. Mereka mengirim mata-mata untuk memastikan wilayah mereka? Entah kenapa para pemberontak itu masih begitu tenang." Pria dengan manik darahnya berkata sembari menerawang jauh ke dalam hutan.
Marquiss Anaan hanya tersenyum mendengar penuturan Penerus Scheinen. "Saya paham kekhawatiran Anda. Tapi ini memanglah rencana yang penuh persiapan. Kita telah mengamati gerak-gerik musuh jauh sebelum mengadakan misi. Mungkin saja Anda terlalu khawatir. Ini memanglah celah terbesar yang dimiliki musuh, karena itu kita bisa berada di sini dengan tenang."
Marquiss yang mengerti kekhawatiran Amaris menenangkan pemuda tersebut. Dia sudah sangat berpengalaman dalam misi. Jadi ini bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan. "Saya harap benar begitu Marquiss. Sebenarnya, beberapa waktu lalu saya curiga jika ada pengkhianat di antara kita yang merencanakan ini semua. Karena ini semua terasa begitu mudah."
Marquiss Anaan menggeleng-gelengkan kepala tersenyum sembari menepuk bahu Amaris. Kekhawatiran pemuda itu terlalu banyak dan berlebihan. "Tenanglah, 'Nak. Kita semua yang berada di sini sudah bersumpah untuk setia. Hanya mereka yang bermental lemah mengkhianati negara."
Amaris tersenyum tipis mendapat jawaban positif yang diberikan Marquiss. Benar, dia hanya terlalu banyak berpikir. Angin berhembus lembut menerpa wajah keduanya yang masih mengawasi prajurit berlatih. Entah kenapa udara terasa lebih dingin dari sebelumnya.
.
.
.
Duk!
Duk!
Duk!
"Ya, siapa?"
Duk!
Pintu ruang kerja milik Archduke terbuka. Menghadirkan pria dengan surai perak serta iris ungunya yang mempesona memandang gadis yang terdiam mematung di depan pintu kerjanya. Sendirian.
"Stella? Di mana para dayang?" Archduke menatap keheranan mencari di mana para dayang yang biasa menemani Stella. Bisa-bisanya putrinya ini berkeliaran sendiri sembari menghantuk-hantukan kepalanya di pintu.
Sementara Ilios yang keluar ruangan mencari pendamping putrinya, gadis dengan manik merah darah itu yang menyadari pintu terbuka langsung menyelonong masuk ke dalam ruang kerja dan mulai mengacak-acak ruangan.
Setelah menyadari putrinya tiba di sini sendiri. Dan juga tidak menemukan para dayang yang menemani putrinya itu segera kembali ke ruang kerja. Dia tidak terlalu kaget mendapati putrinya yang mulai mengacau. Hanya hembusan napas berat keluar, ketika tangan Stella mulai menyentuh dokumen-dokumen penting. Dengan sigap dia segera mengamankan dokumen yang telah dikerjakannya tersebut selama berjam-jam.
"Huh... Putriku tercinta. Tolong jangan sentuh ini. Ini penting." Ilios memberitahu putrinya lemah lembut dengan penuh atensi yang hangat. Sedang Stella yang merasa dibatasi menunjukkan ekspresi tidak suka saat Ilios mengamankan kertas-kertas yang hampir saja dirobeknya.
"Huh!" Stella menyilangkan tangan merajuk membuang wajah kasar yang membuat pria itu membujuk penuh perhatian. "Jangan marah, 'Nak. Nanti kuberi coklat agar kamu senang. Sekarang diamlah, duduk dengan manis. Hancurkan apapun itu asalkan jangan dokumen ini."
Entah apa yang merasuki Stella. Merasa kesal dengan sikap sang ayah, kini dia mulai mengacaukan ruangan kerja dengan liar. Mulai dari menjungkirbalikkan kursi dan meja. Memecahkan barang pecah belah, hiasan-hiasan yang terpampang. Semua dibiarkan sebelum sang ayah menyimpan lukisan putrinya yang berharga ke berangkas agar tidak rusak dan kembali merapikan dokumen.
"Ya, terus. Ayo. Hancurkan semuanya."
"Ya, terus. Main arang, tebar abunya di seluruh ruangan. Hancurkan semua hiasan dan perabotan rumah."
Pasrah. Pria itu hanya bisa memasang wajah pasrah menatap segalanya dengan lelah. "YANG MULIA! ADA APA INI?!" Kepala Pelayan yang baru saja datang berseru histeris menatap ruangan kacau balau dengan pria yang terlihat tidak bertenaga.
Bagaimana dia tidak histeris? Melihat kekacauan dan amukan putri yang dibiarkan begitu saja. Sedangkan ayahnya malah terdiam di pojok ruangan seakan sudah pasrah. "Itu, cucumu sedang bermain," ujar pria itu dengan wajah yang terlihat penat.
"Bermain? ANDA PIKIR MENGHANCURKAN BARANG SAMA DENGAN BERMAIN?! ORANG TUA MACAM APA YANG MEMBIARKAN ANAKNYA SEPERTI ITU?!" Kepala Pelayan melayangkan pertanyaan bertubi-tubi. Terlihat sekali bahwa dia sangat kesal pada putra asuhnya tersebut.
"Mau bagaimana lagi? Dia harus merasa bebas agar tidak semakin tertekan. Aku harus berbuat apa? Bahkan aku lupa tidak membawa obat penenang." Anak asuhnya dengan manik ungu itu memalingkan wajah membuat-buat alasan yang membuat kepalanya semakin pusing.
"Huh, Tidak ada yang benar sekalipun. Mau ayah dan anak. Apa keluarga ini memang senang menghancurkan barang?" Kepala Pelayan mendengkus mulai mendekati Stella yang kini mulai tenang. Sedangkan anak asuhnya hanya terkekeh dari samping tanpa dosa. "Anda lebih dari tahu, Pak Tua."
"Nona Stella. Kemarilah." Kepala Pelayan mengabaikan tingkah anak asuhnya tersebut dan mulai membujuk putri dengan hati-hati.
Prang!
Lemparan guci mengenai tembok langsung hancur begitu saja. Untung saja Kepala Pelayan sempat menghindar. Jika tidak, kepalanya sudah pecah saat ini. "Hahaha, payah sekali kamu, Pak Tua." Pria dengan status Archduke meledek dari samping membuat Kepala Pelayan geram. "Anak durhaka. Minta dihukum ya?"
"Hahaha, Pak Tua. Pak Tua. Harusnya Anda sadar dengan umur. Anda sudah tidak bisa lagi menghukum saya." Ledekan pria itu semakin menjadi ketika putrinya kembali melempar barang ke arah Ketua Pelayan yang dengan lihai menghindar.
"Oh, ya? Baiklah bocah besar. Kemari kamu." Pria tua itu menyeringai, lupakan dengan menenangkan putri. Sekarang dia benar-benar ingin menimpuk kepala besar anak asuhnya itu. Di balik jasnya, dengan dramatis dia mengeluarkan rotan kayu yang biasa dia gunakan untuk menghukum pria yang meledeknya itu semasa kecil.
Ilios yang melihatnya tidak takut sama sekali. Dia percaya diri, dia bisa menghindar dengan mudah. Lagipula itu hukuman kekanakan yang akan dihantamkan pada pantat. "Percaya diri sekali kamu." Ketua Pelayan memegang benda sakral itu dengan penuh penghormatan dan tatapan tajam.
"Tentu saja. Anda tidak bisa menang, Pak Tua."
Sky menyeringai merasa anak asuhnya begitu lengah. "Baiklah, kalau begitu." Pria tua itu berjalan mendekati Ilios dengan penuh intimidasi. Sedangkan pria yang percaya diri sama sekali tidak bergerak. Malahan dia tersenyum angkuh. "Lihat ini Stella. Ayahmu ini lebih hebat dibanding Pak Tua yang kejam itu."
Stella yang sedari tadi sudah tenang. Menatap kedua orang itu dengan penasaran. Dia kini terdiam, menanti apa yang akan dilakukan kedua orang tersebut. Seperti dugaan Ketua Pelayan, anak asuhnya lengah dan jumawa kini dengan cepat dijatuhkan olehnya tanpa perlawanan. Pria tua itu dengan sigap menjatuhkan pria tersebut dan dengan gesit membalikkan tubuh Ilios agar tengkurap. Sekarang posisi Ilios berada di bawah. Tubuhnya dalam kondisi tengkurap kini ditindih Sky yang sudah mengacungkan tongkat rotannya.
Plak!
Plak!
Plak!
Rotan yang digenggam Sky melesat memukul bokong Ilios yang kini berusaha agar tidak berteriak karena dia kini sudah amat malu.
"Anak durhaka kamu."
"Pintar sekali melawan orang tua."
"Terus meledek dan tidak hormat."
Kepala Pelayan mengoceh dengan menggebu-gebu. Lagipula kapan lagi dia bisa melakukannya?
"Hahahaha..," Stella yang melihat adegan tersebut tertawa terbahak-bahak. Dia seakan terhibur dengan tingkah konyol yang dilakukan kedua pria di hadapannya.
"Bagus, tertawalah, 'Nak. Ayahmu ini kadang-kadang memang harus diberi pelajaran." Ketua Pelayan ikut tersenyum lebar. Mungkin hari ini adalah hari sial lainnya yang dimiliki pria dengan manik ungu tersebut.
Dan ngomong-ngomong. Di mana para dayang dan perawat? Bukankah sudah terlalu lama mereka tidak bersama Stella?
"Tolong! Tolong!"
Salah satu dayang berteriak dari dalam kamar. Begitupula dari kamar-kamar yang lain. Nampaknya Putri Scheinen tersebut sudah mengurung semua dayang yang menemaninya dan membuang kunci mereka di suatu tempat.
Ah, sudahlah.
Bersambung...
28/07/2021
Edit: 26/05/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro