Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. What's wrong with Scheinen?

Orang-orang mengatakan karma itu adalah sesuatu yang nyata dan keberadaannya bukanlah sekadar mitos belaka. Karma adalah timbal balik dari perbuatan buruk yang pernah dilakukan. Karma akan berbalik menimpa kamu atas kesalahan yang telah dilakukan.

Dan bagi Ilios sendiri. Setelah sekian nyawa pernah melayang oleh tangan penuh darah dan kebencian dan sudah banyak hati yang dihancurkan. Tuhan membalas perbuatannya dengan membuat hal buruk menimpa anak-anaknya dengan cara paling menyakitkan. Bukan fisik, tapi emosional.

Bukan dia yang mendapatkan hal buruk itu, atau sebut saja karma. Namun semua itu seakan berimbas pada anak-anak yang dia sayangi. Mau Amaris maupun Stella. Tuhan seakan mengatakan, ini adalah balasan perbuatanmu. Aku tahu apa yang bisa membuat kamu menyesal atas apa yang telah kamu lakukan.

Ilios hanya bisa menertawakan takdir. Karena dibanding menyalahkan Tuhan. Dia lebih memilih menyalahkan dirinya sendiri yang tidak pernah bersyukur apa adanya. Dan bagaimana dia membenci takdir sebagai musuh terbesar.

Karena itulah, walau putranya itu salah. Dan hampir saja membunuh Stella. Dia tidak bisa membenci atau membuang putranya tersebut. Karena dibanding sang putra. Dia merasa dialah yang paling berdosa, dan pantas mendapat hal yang lebih buruk.

Tatapan Ilios yang menerawang kini melirik sendu putrinya yang berjalan mengitari ruang makan. Sembari berjalan, dia mengambil makanan secara acak di meja dan tanpa etika memakannya begitu saja. Ilios tidak marah atas perbuatannya anaknya. Dia hanya tersenyum sembari memakan makanan di hadapannya. Begitupula Amaris yang diundang untuk makan bersama, duduk dengan canggung.

"Ng..., Hmmm...," Stella mengeluh saat tangannya dibersihkan oleh salah satu pelayan yang berusaha memberikan sang nona.

"Biarkan dia makan sesukanya." Ilios berujar sembari menyuapi satu sendok sup ke mulut Stella dengan lembut, sembari mengelap bagian wajah yang kotor dengan serbet.

Penampilan Stella sekarang layaknya anak kecil dengan pakaian kotor karena makanan. Tidak, Stella memang bukan lagi orang waras yang berkeliaran di mansion tanpa larangan. Amaris yang menatap semuanya hanya bisa terdiam, meringis. Tangannya kembali mengepal, mengingat kesalahannya lagi.

"Mulai sekarang kita bertiga akan sarapan bersama setiap pagi. Aku harap di antara kalian tidak ada yang keberatan," ucap Ilios di tengah-tengah sarapan menuntun Stella agar duduk di kursi yang sulit diatur.

Amaris yang mendengarnya mengangguk mengiyakan. Nampaknya, Ilios kini mau merubah kebiasaan individualis Scheinen yang terbiasa serba sendiri agar bisa kembali bersama.

Duk!

Stella menendang meja hingga bergeser ke depan. Dia tampak tidak suka disuruh untuk duduk di kursi dengan sopan. Ilios hanya bisa menghembuskan napas, namun tetap tersenyum. Tangannya dengan lembut membelai rambut sang putri dengan sayang. Stella yang terlihat menyukainya dengan manja menelunsupkan wajahnya ke tubuh besar Ilios seperti anak kucing.

"Ayah, apa Ayah tidak akan ke istana?" tanya Amaris hati-hati, suaranya melembut berusaha tidak menganggu kedamaian Stella.

Ilios melirik putranya tersebut. Itu benar dia seharusnya hadir di istana. Tapi bagaimana dengan Stella? Dia trauma meninggalkannya sendiri lagi. "Aku sibuk di sini," ujar pria tersebut dengan muka berpaling.

"Tapi, bukankah Ayah diperintah Yang Mulia Raja untuk ikut serta dalam pemberantasan pemberontak dengan Marquiss Anaan?" Amaris lagi-lagi bertanya dengan suara rendah dan hati-hati. Sejujurnya apa yang dikatakannya memang benar, tapi mengingat kondisi Stella. Ayah mereka sepertinya tidak akan datang.

Ilios terdiam tidak menjawab. Pikirannya kembali bergelut ria, memang benar kalau negara kini memerlukan dia untuk ikut dalam pemberantasan pemberontak. Tapi kondisi masih terkendali dengan baik oleh Marquiss Anaan. Lagipula, dia diperintah Raja ketika Marquiss Anaan gagal mengatasi hal tersebut.

"Kalau begitu, kamu saja yang pergi bersama Kesatria Aencas. Aku tidak akan pergi selagi kondisi tidak genting dan berbahaya," ujar Ilios menanggapi dengan tepat.

Amaris mengangguk pelan, melirik sebentar Stella dengan inferior, lantas mulai bangkit berdiri untuk persiapan pergi. Sebelum pergi dia mendekati Ilios serta Stella yang kini sedang memeluk sang ayah dengan manja untuk pamit pergi. "Kalau begitu Ayah, saya pergi. Stella..," ucapan Amaris terpotong tatkala Stella yang langsung mendesis tidak suka saat Amaris mendekat.

"Pergilah, semoga beruntung," ucap Ilios mengelus rambut gadisnya menenangkan. Sementara dengan rasa pahit di mulutnya Amaris tersenyum tipis mengangguk. Amaris menunduk, memberi hormat pada Ilios juga memberi salam pada Stella yang terlihat tidak menyukainya

Amaris meringis melihat Stella yang membencinya. Namun, itu bukanlah sebuah yang harus membuat Amaris kecewa karena dia memang pantas mendapatkannya. Langkahnya berat melangkah dengan senyuman rasa bersalah yang terukir di bibirnya.

Sementara itu masih di dalam ruangan. Ilios kini membersihkan wajah Stella yang kotor dengan sapu tangan. Pikirannya terlempar pada masa lalu yang tidak bisa terulang serta pertanyaan-pertanyaan kecil yang menghujani kepalanya. 'Apakah aku pernah seperhatian ini saat gadis ini masih kecil?' Untuk beberapa waktu, pikirannya dibawa ke dalam lamunan hingga dia tersadar dan tertawa kecil. Bisa-bisanya pertanyaan bodoh itu terpikirkan.

"Bermainlah sepuasmu di Kediaman Scheinen. Kalau kamu nanti membutuhkanku datang saja ke ruang kerja. Aku pergi dulu." Ilios mengecup pucuk rambut Stella dengan hangat, untuk sebentar Stella terpaku sebelum menabrakkan kepalanya ke dagu Ilios dengan keras.

"Akh." Ilios memegangi dagunya tertawa, lantas mengacak rambut Stella. Bagaimana putrinya bisa sangat menggemaskan sekarang? "Baiklah, aku tidak akan menyentuhmu. Silakan pergi."

Stella memalingkan wajahnya dan bergumam tidak jelas. Sedang Ilios hanya bisa tertawa kecil menatap dari kejauhan, melihat putrinya pergi di dampingi beberapa dayang. "Aku berharap kamu bahagia, 'Nak"

.

.

.

Para dayang kini tengah mengejar dan membantu Stella untuk berganti pakaian di dalam kamar. Pakaian kotor sang putri sehabis sarapan harus segera diganti untuk kenyamanan putri. Tentu saja itu tidak mudah. Diperlakukan banyak waktu dan kesabaran.

"Kami mohon, Putri.."

Suara desahan terdengar dari beberapa dayang yang berusaha mengenakan gaun ringan pada Stella yang kini dengan pakaian dalamnya bergemul dengan selimut. Hingga akhirnya, setelah pertempuran pakaian. Putri berhasil didandani dengan cantik.

Gaun biru muda yang cantik serta ringan melekat sempurna pada tubuh putri. Surai peraknya yang panjang diurai, dengan kepangan kecil serta bunga mungil untuk hiasan. Stella yang sudah tampil menawan kini mulai berjalan-jalan mengelilingi Mansion Scheinen diikuti beberapa perawat dan pelayan.

Netra gadis cantik itu terbuka menatap hamparan mawar di hadapannya, sementara iris semerah darah yang memukau untuk dipandang itu berkilauan di bawah mentari hangat. Taman, bunga-bunga, serta rumput hijau basah.

"Putri!"

Sepatu tanpa hak dengan warna senada biru terlepas dari kaki Stella. Kakinya yang telanjang menyentuh rumput basah yang baru saja tersiram oleh tukang kebun. Rasa geli, segar, dan nyaman membuat gadis itu tertawa kecil menggesek-gesekan telapak kakinya dengan rumput. Nyaman. Stella tidak bisa berpikir, tapi merasakannya semua ini sangat nyaman.

Sedangkan di sisi lain taman, terdapat dua pria jangkung dengan surai merah bersama pria surai perak tengah menelusuri dan menikmati keindahan taman. Mereka berbincang serius, sehingga ketika pria dengan status putra mahkota menyentuh kelopak mawar dan tidak sengaja tertiup terbawa angin hangat, dia menemukan gadis cantik yang berdiri dengan telanjang kaki serta senyum menawan.

"Ah, salam, Nona Stella. Senang bertemu dengan Anda." Putra Mahkota dengan nama lengkap Apollo Damarion berusaha menyembunyikan rasa kagum tidak beralasan dan menyapa. Sayang sekali, salam itu tidak digubris. Gadis itu tenggelam dalam pikirannya yang dalam lantas terduduk menyentuh rumput dengan tawa kekanakan.

Hari itu adalah waktu di mana Amaris berjanji bertemu dengan Putra Mahkota untuk membicarakan masalah pemberontakan. Kebetulan sekali mereka di saat itu juga menemukan Stella yang didampingi dayang yang terdiam, mengamati gadis yang mereka layani.

"Maafkan saya, Putra Mahkota. Tolong maafkan atas sikap lancang adik saya. Dia sungguh tidak bermaksud." Amaris mengisi kesunyian canggung di mana Putra Mahkota melirik curiga pada Stella yang tersenyum dengan pandangan kosong menyentuh rumput dengan lembut.

"Apa Anda ingin melanjutkan pembicaraan di tempat lain?"

Putra Mahkota melirik tidak paham, kenapa Amaris bisa berkata demikian, sedang adiknya tengah terdiam tanpa mempedulikan sekitar. Seperti orang yang terjebak dalam pikirannya sendiri, padahal yang dia tahu, putri Scheinen mustahil bisa seperti itu. "Apa putri baik-baik saja?"

Amaris menggeleng dengan senyuman tipis. "Mungkin Anda bisa membicarakan ke inti pembicaraan kita sebelumnya, Yang Mulia. Saya pikir seorang putra mahkota memiliki jadwal yang padat." Sekali lagi, Amaris mengalihkan pembicaraan. Putra Mahkota yang mendapatkan keadaan demikian membuat dia menaruh curiga. Apa sebenarnya yang terjadi di Kediaman Scheinen? Apa putri yang biasanya tampak sempurna tiba-tiba berubah jadi aneh?

Walau masih penasaran, Putra Mahkota tidak melanjutkan pikiran tidak berguna tersebut dan kembali membicarakan apa yang menjadi tujuan dia kemari. Dia berdiri, lantas menatap sebentar ke belakang. Benar. Ini bukan urusannya. Lebih baik dia segera mengikuti Amaris.

Mereka berjalan menuju Camp Kesatria Aencas. Pembicaraan yang tertunda kembali berlangsung dengan serius. "Jadi kamu yang akan menggantikan Archduke untuk berpartisipasi dalam pemberantasan pemberontak bersama Marquiss Anaan? Itu bagus untuk pengalamanmu. Kebetulan Putri Andromeda ikut bergabung untuk melatih ilmu militer yang dia miliki. Kamu mungkin bisa mengajarkan sedikit kemampuanmu pada Andromeda."

"Oh ya, ngomong-ngomong ada apa dengan kakimu?"

Amaris hanya menjawab dengan gelengan kecil. "Kaki saya baru saja patah beberapa minggu yang lalu. Beberapa hari lagi akan membaik dengan sendirinya." Pria itu tertawa kecil dalam hati, lebih tepatnya ini adalah hukuman atas dirinya yang hampir membunuh Stella.

"Kalau begitu cepatlah sembuh."

Amaris tersenyum lantas mengangguk. Merasa kepentingannya sudah selesai, Putra Mahkota segera berniat pergi untuk kembali ke istana. Dengan tepukan ringan di bahu, Putra Mahkota berpamitan. "Kalau begitu aku akan segera kembali. Terima kasih atas undangannya."

"Baiklah, semoga Anda selalu diberkati." Amaris menunduk hormat, membiarkan pria itu segera pergi. "Iya, Kamu juga."

Putra Mahkota tersenyum sebelum benar-benar pergi, langkahnya menuju halaman depan Keluarga Scheinen tempat kereta kudanya terparkir. Saat menuju tempat kereta, Putra Mahkota tidak sengaja melihat Stella yang kini tengah terduduk di rerumputan dekat pagar mansion. Dia terduduk sembari ditemani beberapa dayang.

Dengan inisiatif dan niat baik, Putra Mahkota menghampiri Stella kembali untuk menyapanya. Sejujurnya dia juga masih penasaran apa yang salah dengan keluarga ini. "Salam, Putri Scheinen." Putra Mahkota memberi salam, tersenyum sembari mengikis jarak dengan Stella.

Bukan reaksi baik yang diterima, Putra Mahkota mendapatkan Stella yang merasa terganggu melirik sumber suara sembari melotot tidak suka. Seketika itu juga Putra Mahkota merasa aneh dengan pandangan tersebut hingga akhirnya sekonyong-konyong Stella menerjang tubuh Putra Mahkota dan mencakar wajah tampan pemuda tersebut.

Putra Mahkota yang mendapat serangan tidak terduga terkejut berusaha menahan serangan. Tapi sayangnya dia sudah terlanjur jatuh terlentang di atas rumput dengan Stella yang berada di atasnya. Wajah pria itu kini sudah mendapatkan dua cakaran akibat ulah gadis tersebut.

Sebenarnya posisi mereka cukup romantis untuk pemuda pemudi yang di mabuk asmara. Jika saja tidak ada teriakan pada dayang maupun perawat yang berusaha memisahkan Stella dari dirinya. Dan juga bagaimana Stella yang terlihat sangat bernafsu membunuhnya dan perawat yang bahkan sudah menyiapkan suntikan penenang untuk Stella. Semua akan sempurna.

Putra Mahkota dengan sekuat tenaga menahan serangan Putri Scheinen tersebut. Dia tidak menyangka, gadis yang disebut sebagai bunga sosialita memiliki kekuatan sebesar ini. Kekuatan Stella begitu kuat, bahkan terasa bukan seperti gadis normal pada umumnya. Hingga akhirnya dengan susah payah Putra Mahkota membalikkan posisi hingga dia yang berada di atas Stella.

Begitupula dengan mengambil kesempatan, perawat langsung menyuntikkan obat penenang pada Stella yang sudah dipegangi Putra Mahkota. Dalam kericuhan, dan kegaduhan, Stella yang diberikan penenang langsung tertidur lantas berhenti berulah. Semua orang di sana bernapas lega.

"Apa yang-" dari arah belakang Ilios yang baru saja datang tercekat mendapati putrinya dengan posisi intim bersama putra mahkota.

Putra Mahkota dan para dayang menegak ludah, merasa hawa tidak nyaman di sekeliling mereka. Begitu pula saat Putra Mahkota melihat Ilios yang menatapnya begitu tajam seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.

Tersadar dalam berbagai rasa kejut, Putra Mahkota yang berada dalam posisi tidak senonoh dengan putri satu-satunya Scheinen langsung berdiri dan ingin memberikan penjelasan pada pria berdarah dingin di hadapannya.

"Menjauh dari putriku atau kubunuh saat ini juga." Intimidasi tajam menusuk dada Putra Mahkota. Sekali lagi dia menelan ludah. Dia sudah tidak mengerti. Sebenarnya ada apa dengan keluarga Scheinen ini?

Bersambung...

19/07/2021

Edit: 23/05/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro