21. Permanent Crazy
Pria dengan netra ungunya menyala di bawah remang senja hangat, wajahnya kembali memasang ekspresi nyeri dengan berbagai penyesalan. Musim semi kali ini bukanlah musim yang baik untuk keluarganya berkembang.
Dia pikir ketika dia sudah berubah menjadi ayah yang baik untuk putrinya segala hal akan kembali baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa dia lupa, bahwa segala hal yang selama ini dia anggap baik-baik saja bukanlah hal yang diinginkan keluarganya. Bagaimana bisa se-naif itu dia berpikir demikian?
Dia bahkan tidak berpikir bahwa putranya juga haus akan perhatiannya seperti sang putri karena menganggapnya sudah dewasa. Tapi perkiraannya salah, semua waktu yang telah dia abaikan selama ini membuat lubang besar di hati kedua anaknya yang semakin kosong dari hari ke hari yang selalu menginginkan kasih sayang keluarga.
Ketika salah satu lubang itu diisi, lubang lainnya yang sudah terlalu lama dalam kekosongan tidak terima dan mulai memberontak untuk mendapatkan hal yang sama. Jadi siapa di sini yang sebenarnya salah? Dia sebagai ayah? Atau Amaris yang tidak dewasa?
Kapan penyesalan panjang ini akan berakhir? Ilios merasa dirinya tenggelam dalam lautan, dia tidak bisa bernapas. Ini semua terlalu banyak baginya. Dia juga sudah mulai lelah. Bagaimana semuanya bisa kembali seperti ini?
Air mata kembali membanjiri pipi pria itu yang menggenggam tangan putrinya kuat-kuat. Di mana seorang Archduke yang dibanggakan negara dengan segudang prestasi itu? Atau di mana seorang panglima perang tiada tanding yang memiliki strategi tempur terbaik? Di mana dia?
Ternyata dia tidak sebaik dengan apa yang dipikirkannya selama ini. Dia bukanlah pria sejati seperti yang orang katakan. Dia hanyalah pria gagal yang tidak pantas untuk keluarganya. Orang bodoh yang kembali dan terus tenggelam dalam penyesalan tidak berdasar.
Satu tangan mengusap rambut pria kepala tiga yang kini mulai sesenggukan. Kepala pelayan yang sudah dianggapnya lebih dari seorang ayah. Sky Perseus ayah asuhnya yang mengasuh dirinya selama ini. Bahkan bagi pria tua itu. Ilios tidak pernah bersikap layaknya anak yang berbakti bahkan ketika usia pria itu terus menua dimakan umur.
Dia adalah yang terburuk menjadi keluarga bagi seseorang. Dialah yang terburuk. Bahkan jika mati, itu tidak bisa menebus segala hal yang telah pernah dia lakukan pada keluarganya hingga kini, pengabaian, ketidakpedulian, keegoisan, semua hal buruk sudah meluluhlantakkan keluarganya yang susah payah dia bangun.
"Tidak apa-apa. Anda masih bisa memperbaikinya." Ketua pelayan menepuk bahu anak asuhnya yang kini sudah mulai gemetaran.
"Bagaimana? Bagaimana aku bisa memperbaikinya, Sky? Aku, aku terus gagal. Aku tidak bisa melakukannya lagi. Aku terlalu buruk sebagai bagian keluarga ini. Aku tidak pantas." Suaranya yang tercekat terbata-bata dengan air mata yang berhamburan.
"Anda seorang yang kuat. Anda tahu itu, Anda sudah membuktikannya. Lihat putri kemarin? Dia membaik karena Anda! Sudah saya katakan. Mengobati lebih sulit di banding mencegah. Karenanya Anda harus berusaha lebih keras dan sabar. Karena sesuatu yang diobati hanya bisa membaik, tidak bisa kembali seperti sedia kala."
Ilios menghapus air matanya mengangguk dengan mata memerah. Tangannya beralih menggenggam tangan ayah asuhnya dengan kuat. "Aku hampir lupa akan hal itu. Terima kasih sudah mengingatkanku, Sky."
Kepala pelayan menepuk bahu pemuda itu dengan senyum hangat, putra asuhnya memang keras kepala terhadap apa pun. "Ya, saya berharap Anda terus bangkit seperti ini."
Keduanya tersenyum satu sama lain, tidak peduli bagaimana ini berakhir. Apa yang dikatakan Sky benar, dia harus berusaha lebih keras untuk memperbaiki, bukan ambisius agar semua kembali seperti sedia kala. Dia hanya bisa mencoba yang terbaik.
Tiba-tiba langkah kaki berderap cepat memasuki kamar, membuat kedua pria dalam ruangan terkejut. Ketika pintu terbuka secara paksa. Wanita dengan jas putih serta rambut pendek pirangnya yang kacau tergesa menghampiri gadis di atas ranjang.
"Apa yang terjadi?"
Dokter itu dengan cekatan langsung memeriksa Stella yang tengah dalam kondisi tertidur. Luka luar Stella tampak sudah terobati dengan baik hingga untuk sesaat dia bernapas lega hingga kembali memberikan pertanyaan. "Apa yang terjadi?" Kali ini wanita itu tampak sekali menuntut penjelasan pada Ilios yang memasang tampang lelah sebelum menjawab. "Amaris menakuti Stella."
Starla menyipitkan mata tidak percaya. Bukankah baru semalam dia memperingati Ilios soal Amaris? Mengapa pria itu bisa mengabaikan peringatannya yang dipastikan bukan omong kosong belaka. Dengan tidak percaya dokter kembali bertanya. "Tidak mungkin hanya itu 'kan?"
Ilios menghembuskan nafas panjang, dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari dokter. Matanya penuh sorot pilu dan lelah kembali menjawab. "Benar, Amaris hampir membunuh Stella."
Starla menutup mulut tidak percaya, tubuhnya dengan lemas terduduk di ranjang samping Stella. Dia berpikiran kalau Amaris tidak suka pada Stella, tapi dia tidak berpikir bisa berakhir demikian. "Bagaimana mungkin? Putri bahkan tidak bisa disebut sebagai saingan Penerus Scheinen, untuk Tuan Muda Amaris hingga harus disingkirkan, bukan?"
Ilios menggeleng, tersenyum miris menjawab penuh kejujuran. "Ini semua salahku. Aku yang gagal mendidiknya dengan benar." Dokter Starla memijat pelipis, sakit kepalanya kembali kambuh. Dengan sorot pasrah dia melirik Ilios yang menatapnya penuh harap, berharap masih ada harapan untuk kesembuhan sang putri.
"Saya akan usahakan yang terbaik ketika putri sadar. Saya akan segera melaporkan perkembangannya. Karena itu lebih baik Anda beristirahat lebih dulu." Tidak ada kepastian yang bisa diberikan dokter pada Ilios. Karenanya dia hanya bisa menjawab seadanya.
Ilios mengangguk, lantas mulai beranjak menuju pintu. Tatapannya beralih pada Stella yang terbaring lemah hingga dokter kembali membuka mulut. "Yang Mulia. Tapi bersiap-siaplah untuk kondisi terburuk. Saya tidak bisa menjanjikan putri akan menjadi normal seperti sedia kala." Starla menatap ke bawah dengan wajah sesal yang membuat Ilios mengepalkan tangannya kuat.
Sungguh.
Ilios tidak tahu harus berbuat apa jika melihat sang putri benar-benar menjadi gila seutuhnya.
.
.
.
Amaris melenguh pelan, matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dia merasa sekujur tubuhnya nyeri tidak karuan. Ditambah kepalanya pusing berdenyut nyeri. "Sudah bangun Kamu?"
Amaris melirik ke arah sumber suara yang berada di samping kanan, tempat di mana sahabatnya tengah dirawat. Tampaknya setelah dia pingsan, dia dibawa ke ruang pengobatan Camp Kesatria Aencas setelah percobaan pembunuhannya terhadap Stella.
"Aku dengar kamu dihajar oleh Archduke? Sebenarnya apa yang terjadi?" Leo mulai bersuara, menatap lurus pemuda tersebut yang terdiam berusaha terduduk dengan kepala tertunduk. "Aku hampir membunuh Stella." Jawaban dengan suara kecil terlontar dari bibir Amarah yang membuat sahabatnya terkejut.
"Kamu sudah gila ya?" Leo bertanya dengan sangsi. Tidak percaya atas apa yang Amaris lakukan ketika dia tidak sadarkan diri. Sementara Amaris menggeleng, tanda bahwa itu adalah hal yang benar, dan dia tidak berbohong.
Keduanya terdiam untuk sesaat sebelum Amaris angkat suara dengan nada frustasi. "Aku tidak percaya aku bisa melakukan hal gila itu. Aku benar-benar tidak waras." Leo menghela nafas mendengar perkataan sahabatnya tersebut. "Benar, kamu sepertinya sudah tidak waras," timpal Leo masih tidak percaya. " Bahkan aku tidak percaya bisa berteman dengan orang tidak waras sepertimu," tambah pemuda dengan surai biru tua tersebut menghembuskan napas lelah.
Amaris mendadak menangis menutup matanya. Dia tidak tahu semua akan berakhir begini. Pertama dia hampir membunuh adiknya sendiri, yang kedua ayahnya pasti sudah membencinya setengah mati, dan ibunya yang kecewa melihatnya seperti ini dari atas sana. "Aku benar-benar bodoh. Akulah yang terburuk."
Leo hanya bisa diam, mendengar pengakuan Amaris. Dia tahu sahabatnya sudah melewati jalan yang panjang hingga kini. Dan yang bisa dia lakukan adalah mendengarkannya yang masih berkeluh kesah. Sembari sesekali terdiam, dalam hati menyesali hal yang sama.
"Aku minta maaf, Leo."
Pria dengan surai biru tuanya mengangkat bahu santai dengan senyuman hangat. "Tidak apa-apa. Aku paham." Suasana ruangan mulai membaik dengan tangis Amaris yang mulai mereda.
Brak!
Pintu dibanting keras. Mengagetkan dua pemuda yang berada di dalam ruangan. Suara langkah kaki penuh penekanan juga amarah terlihat jelas.
Itu adalah Ilios yang kini tengah menggusur dua pedang. Sesaat setelah melihat sang putra, dia melempar pedangnya pada Amaris.
"Bangunlah. Keluar dan berduel bersamaku sekarang." Ilios berkata dengan raut wajah datar serta intonasi dingin yang rendah. Amaris tidak bisa berkata-kata dengan dada sesak.
Setelah mengatakan hal itu Ilios pergi meninggalkan ruangan. Leo melirik Amaris meminta penjelasan. Namun, pemuda itu tidak bisa menjawab dan langsung berdiri mengikuti sang ayah. Walau tubuh Amaris saat ini terasa remuk redam juga hancur oleh tinjuan Ilios. Dia sama sekali tidak bisa menolak ketika diajak berduel pedang karena itu adalah permintaan sang ayah, terlebih atas kejadian sebelumnya.
Keduanya saling berhadapan di lapangan luas. Mata mereka saling menatap dengan tajam. Hingga Ilios memilih lebih dulu menyerang, sedang Amaris langsung menghindar. Ilios sama sekali tidak mengalah saat melawan sang putra. Tebasan pedang dengan kuat dan cepat diluncurkan pada Amaris tanpa kenal ampun dan simpati.
Amaris menghindar berkali-kali, menangkis, meliuk, memberi serangan balik. Namun, Amaris sangat mudah dikalahkan karena kondisi tubuh yang tidak prima. Hingga di serangan akhir Ilios menyerang kaki Amaris hingga patah membuat pemuda itu merintih kesakitan dengan tubuh jatuh ke tanah.
"Ayah, cukup. Aku menyerah."
Ilios menjatuhkan pedang yang dia genggam ke tanah. Langkahnya mendekati Amaris yang sudah terkapar jatuh. Dengan wajah tidak percaya dia menatap putranya dengan emosi membara. "Lemah, sebenarnya apa yang, Kamu lakukan selama ini?"
Amaris menunduk, terdiam. Ini semua adalah kesalahannya. Dia tidak pantas mengatakan apa pun untuk membalik ucapan ayahnya. "Apa kamu sadar apa yang telah kamu lakukan, hah?" Ilios kali ini menunjukkan emosi yang tidak terbaca, membuatnya lagi-lagi bisu tidak bisa berkata-kata.
"Semua usahaku untuk adikmu sudah hancur, Amaris." Suara Ilios mulai bergetar dengan tangannya yang menggenggam dengan kuat bahu pemuda di hadapannya. Ekspresinya kacau sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Adikmu, Stella. Sudah benar-benar menjadi gila."
Amaris kali ini menatap wajah Ilios dengan wajah tidak percaya serta sesal. "Stella tidak bisa menjadi normal lagi." Ilios kembali berujar dengan ekspresi putus asa, tawa hambar serta serta mata mulai mengembun menatap Amaris.
Dan bagi Amaris yang mulai menyesali tindakannya, itu adalah ekspresi putus asa pertama yang pernah dia lihat seumur hidupnya dari sang ayah.
Bersambung...
06/07/2021
Edit: 06/04/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro