20. Quarrel
Pria dengan surai biru tua berkibar searah angin berhembus, langkahnya cepat, berlarian melintasi hutan, berusaha menghindari monster yang menjelma menjadi sahabatnya Sembari mengatur nafas dan mengelap keringat yang mengucur deras, dia menyadari kali ini dia sudah membuat lelucon yang berlebihan.
Kali ini juga dia bisa selamat karena sudah berlari jauh bersembunyi di hutan dekat Camp Kesatria. Menahan hembusan napas yang berderu cepat, jantungnya berdetak tidak karuan. "Leo~ Kemarilah~" Amaris memanggil namanya yang membuat pria itu mengepalkan tangan menahan takut dengan segala umpatan.
"Ayolah~ Apa kamu tidak ingin bermain dengan sahabatmu ini?" Suara dengan nada mengalun lembut yang asing, nada rendah yang tepat. Dari suara pria bermarga Scheinen itu saja sudah membuatnya terintimidasi.
"Leo? Kenapa kamu sembunyi? Bukankah kamu senang bermain-main?" Amaris menggusur pedang yang dia bawa. Senyum lebar mengerikan terpampang jelas, dengan mata menyipit, netranya bergulir mencari sahabatnya yang bersembunyi dalam rimbunnya hutan.
"Baiklah, sepertinya kamu ingin bermain petak umpet. Kalau begitu aku yang jaga."
Amaris menutup matanya. Lantas mulai menghitung dengan suara kekanakan, bukannya menyenangkan. Setiap suara yang dikeluarkan pria itu layaknya teror seorang monster yang mengerikan. Bahkan kini pria dengan netra biru gelapnya menggigit bibirnya kuat-kuat untuk tidak menimbulkan suara. "Satu, dua, tiga empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh."
Pemuda Scheinen kembali menyeringai, langkahnya yang pasti menjelajahi hutan di sekitarnya tempat Leo tengah bersembunyi. Pencarian Amaris layaknya bagaikan teror berhenti, tatkala suara bising terdengar dari pinggiran hutan.
Amaris mendekati sumber suara dan mengintip dari balik pepohonan. Sementara Leo yang tengah bersembunyi menahan nafas dalam-dalam. Karena tepat di samping Amaris mengintip. Dia tengah bersembunyi di sana, berdoa dalam hati agar orang itu tidak menyadari keberadaannya.
"Terima kasih kepada Kepala Pelayan yang telah mengantar saya jauh-jauh hingga ke mari." Dokter dengan rambut pirang tertutupi topi hitam membungkuk hormat.
Sepertinya hari ini adalah kembalinya dokter adiknya menuju Pusat Kedokteran. Dan melihat bagaimana kondisi saat ini, dokter itu sudah melaksanakan tugasnya dengan baik sampai-sampai dia disiapkan kereta kuda terbaik hingga pengawalan Kesatria Aencas.
Amaris menatap dengan dingin pemandangan di hadapannya, bahkan setiap gerak-gerik sang dokter hingga selesai berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal. Bahkan hingga kereta melaju meninggalkan tempat tersebut. Amaris masih terdiam dengan perasaan campur aduk, dengan mata terpaku.
Leo yang merasa dirinya masih aman sangat bersyukur. Hingga sekonyong-konyong pedang menancap tepat pada daun telinga kanannya. Dia segera menghindar, hingga daun telinganya terselamatkan hanya tergores sedikit ujung pedang. Darah mulai mengalir dari telinganya, hingga akhirnya dia mengangkat tangan tanda menyerah.
Tidak sampai di situ. Amaris yang menemukan keberadaan Leo dengan ekspresi kosong, membalikkan cara penggunaan pedang hingga tangannya kini menggenggam bilah pedang yang tajam. Sedangkan pegangannya dia hentakan pada tengkorak sahabatnya tersebut hingga terluka mengeluarkan darah.
"Kamu tahu apa yang aku senangi dari orang bodoh seperti kamu? Bisa-bisanya masih mau mendekati, meski sudah tahu resiko besar yang harus dihadapi." Suara serak tipis menggema di telinga Leo sembari surai biru tuanya ditarik kasar.
Telapak tangan milik pria dengan netra darahnya mengeluarkan cairan merah akiba menggenggam bilah pedang hingga membasahi surai milik Leo. Sementara Leo merasa kepalanya meremang, tubuhnya sudah lemas tidak bertenaga. Perkataan Amaris adalah hal yang benar. Mengapa Amaris tidak memiliki teman selain Leo karena dia adalah pemuda yang sangat kejam. Ya, semua orang tahu bahwa pria itu menuruni sifat ayahnya.
Amaris memanglah sosok yang tenang. Tapi semua perasaan yang tidak terungkapkan dipendam layaknya bom waktu hingga bisa meledak kapan pun, seperti sekarang.
Alih-alih menyesalinya, Leo malah tersenyum lantas tertawa dengan wajah bodoh. "Walau pun aku mati saat ini. Aku tidak peduli, karena aku mati di tangan sahabat terbaik yang kumiliki." Nada lirih keluar dari bibirnya yang hampir kehilangan kesadaran.
Amaris berdecak sebal dengan emosi membara. Dia melempar sahabatnya ke tanah. Lantas mulai meninju dan menghajarnya secara membabi buta layaknya sansak. "MATI, KAMU!" suaranya meninggi dengan tangan yang kembali mengeluarkan cairan merah setiap hantaman yang dihantarkan.
Leo hanya bisa tertawa keras, lantas mulutnya seketika mengeluarkan darah dengan terbatuk kencang. "Sepertinya aku sudah tidak kuat lagi. Jika aku ternyata mati. Semoga kita bertemu nanti di surga. Tapi kamu harus taubat dahulu. Dengar itu." Setelah mengatakan hal tersebut, netranya tertutup perlahan, menandakan dia sudah tidak sadarkan diri.
"Bodoh." Hanya itu yang bisa Amaris katakan sembari menarik kaki pria tersebut dan menggusurnya kasar menuju Camp Kesatria Aencas. Para Kesatria Aencas hanya bisa termangu mendapati Leo yang babak belur dan digusur secara tidak manusiawi oleh Komandan.
Bahkan ketika melihat orang-orang tersebut, pria itu dengan ekspresi kosong melemparkan tubuh sahabatnya tidak berperasaan membuat mereka menegak ludah kasar. "Obati dia, kalau dia mati. Aku bunuh kamu saat itu juga." Amaris memerintah tanpa basa-basi membuat kesatria yang berada di sana mengangguk cepat, lantas meninggalkan Leo begitu saja yang langsung diberikan pertolongan pertama oleh Kesatria Aencas.
Sepertinya Amaris tengah kehilangan akal. Tatapannya kosong dengan dengan tangan yang masih dilumuri darah dia memasuki Kediaman Scheinen tanpa salam. Semua pelayan gemetaran menatap penerus keluarga yang mereka layani dengan tangan berlumuran darah melangkah tanpa arah.
Ketika tadi dia melihat Dokter Starla pergi saat di hutan. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Stella. Entah kenapa tiba-tiba kebencian itu meletup hingga berhamburan hingga memaksanya dalam kekosongan dengan satu tujuan. Dia harus menghabisi Stella saat ini juga.
Amaris kehilangan kontrol dalam dirinya. Pikirannya hanya terpaku pada satu hal. Bunuh Stella. Bunuh penyebab semua ketidaknyamanan ini. Bunuh adik gilanya itu. Perlahan langkahnya terarah menuju kamar sang adik, tangannya yang dingin mengetuk kamar Stella, dengan pikiran kacau mulai membuat adrenalinnya berpacu dengan semangat membunuh. Sesaat kemudian, pintu terbuka menghadirkan perawat yang tersenyum ramah.
Baru saja perawat hendak bertanya tujuan dia kemari. Amaris sudah lebih dulu meninju sang perawat hingga tak sadarkan diri. Para perawat yang berada di dalam langsung teriak histeris. Membuat Stella yang berada di ruangan yang sama langsung berbalik meninjau sumber suara.
Amaris masuk ke dalam dengan liputan semangat membunuh yang amat besar. Seakan tidak pernah ada, kekosongan itu lenyap digantikan kebahagian aneh tidak manusiawi. Tidak peduli dengan para perawat yang kabur atau menghadang dia menyingkirkan semuanya dengan mudah.
Sementara Stella sudah terdiam kaku. Tubuhnya bergetar dengan keringat dingin yang mengucur hebat. Tiba-tiba pikiran Stella kembali tertarik ke dalam dunia desolasi yang dipenuhi para penjahat yang pernah melecehkannya. Gadis itu langsung terjatuh, menangis histeris dan berteriak keras.
"Gadis gila." Amaris tertawa kecil menutupi bibirnya yang tersenyum lebar. Bisa-bisanya gadis tidak waras ini merebut perhatian ayah darinya?
"Kenapa? KENAPA ORANG TIDAK WARAS SEPERTI MU MALAH MENDAPAT PERHATIAN AYAH?!" Mendadak teriakan keluar dari bibirnya, dirinya kembali frustasi dengan mengingat hasil kerjanya yang tidak pernah dihargai sang ayah. Tapi mengapa? Tapi mengapa gadis ini bisa mendapatkannya hanya dengan melukis lukisan?!
Teriakannya yang menggema membuat Stella semakin histeris dan berusaha melawan Amaris yang kembali tertawa terbahak. "Bodoh, idiot, gila." Amaris berbisik penuh kebencian, tepat di telinga sang adik. Tangannya memegang tangan Stella yang mulai menyerang dengan berbagai cara.
"AKU, SEHARUSNYA AKU! SEHARUSNYA AKU YANG DIPERHATIKAN AYAH!" Amaris kembali berteriak frustasi membuat Stella kembali tersentak dengan air mata berlinang dengan tubuh yang kembali memberontak. Stella yang berhasil melepas genggaman Amaris langsung mengamuk menghancurkan barang-barang berusaha melindungi dari kakaknya dengan dirinya yang mulai kehilangan kontrol dan sesekali terjebak dalam dunianya.
Amaris tertawa gila. Diiringi amukan Stella yang hilang kendali, berusaha membunuhnya yang cekatan menghindari dengan tawa jahat menggema dalam kamar hingga akhirnya dia berhenti bermain-main. Lantas mencekik leher Stella tanpa simpati. "Mati kamu benalu."
Sementara Stella kembali berusaha memberontak dengan menggigit tangan Amaris dan langsung jatuh ke lantai. Stella berusaha kabur dengan kaki gemetaran sebelum Amaris mendekap gadis itu dengan erat dari belakang. "Apa, hm? Kamu orang gila? Stress? Tidak punya otak?" Amaris kembali berbisik dengan suara rendah provokatif. "Benar, itu benar. Karena itulah. Mati kamu untuk selamanya." Pemuda bersurai perak tersebut kembali menakut-nakuti Stella yang semakin histeris berusaha memberontak. Namun kali ini Amaris sudah bersiap dengan sempurna hingga gadis itu tidak bisa melarikan diri.
Amaris lagi-lagi tertawa. Kini dia menghempaskan tubuh Stella ke lantai dengan kuat dibarengi teriakan Stella yang meringis sakit. Tanpa prihatin tangannya terulur, berniat mencekik gadis muda tersebut. "Benar, seperti itu. Jadilah gadis penurut." Tangan dingin Amaris sudah menyentuh leher Stella yang kini menendang-nendang udara. Tangannya menggapai-gapai ke atas berusaha mendorong Amaris yang jelas kekuatannya tidak bisa dikalahkan.
"Hah, hah, uhuk." Stella berusaha bernapas, tapi lehernya sudah dicekik dengan kuat hingga oksigen sudah diblokir agar tidak bisa memasukinya untuk terus bernapas. Perlahan tubuhnya melemah seiring nafasnya yang tercekat sedikit demi sedikit.
"Ya, mati kamu. Setelah ini tinggal aku yang tersisa." Amaris menyeringai lebar, wajah Stella sudah memucat menandakan pembunuhannya hampir berhasil. Tangan Stella sudah melemas, tergeletak lemah di atas lantai.
Amaris tertawa kembali tertawa. Sedikit lagi, sedikit lagi sang adik akan mati. Seakan sudah sibuk dengan dunianya, Amaris tidak menyadari langkah berderap yang menuju kamar penuh penekanan.
Buk!
Satu tinju kuat mengenai wajah Amaris. Amaris langsung terhempas pada lantai dengan wajah bingung. Pukulan kembali dilayangkan, bertubi-tubi mengenai wajah tampan Amaris. Serangan yang cepat membuat Amaris tidak mengetahui siapa yang meninjunya saat ini. Hingga pukulan berhenti. Dari kelopak mata yang lebam Amaris mendapati Ilios yang memandang penuh kemurkaan.
"Anak bodoh," ujar Ilios membuat Amaris seketika menatap tidak percaya sang ayah. Bagaimana ayahnya berada di sini? "A- Ayah?" Suaranya tercekat menatap ayahnya tidak percaya yang memandang dirinya penuh hina. Amaris kehabisan kata-kata. Bukan begini seharusnya. Bukan begini. Jika begini ayahnya akan membencinya seumur hidup.
Ilios yang mendapati wajah syok sang putra berbalik menatap putrinya yang sudah kehilangan kesadaran. Dengan cepat dia langsung mendekati sang putri yang kini masih bernapas. Lembut dia menidurkan putrinya di atas kasur. Wajahnya suram dengan netra mendelik tajam pada pemuda yang terbaring lemas.
"Kenapa? Kenapa harus Stella?" Lirih Amaris bergumam dengan tubuh mulai bergetar tidak percaya. Dari mulutnya dia terbatuk darah, bahkan di saat terakhir ayahnya lebih mementingkan adiknya di banding apa pun.
"Bodoh, kamu tidak berguna." Ilios berbicara dengan suara rendah menusuk membuat Amaris terdiam, dengan mata berkaca-kaca dia mulai mengeluarkan air mata hingga seketika itu pula dia pingsan.
Suasana terasa begitu kacau. Ilios hanya bisa menatap semuanya dengan nanar, tawa hambar keluar dari bibir. Hati Ilios begitu tercabik untuk kedua kalinya. Ternyata, bukan saja dia gagal menjadi ayah bagi sang putri. Tapi begitupula gagal mendidik sang putra.
"Aku pantas mati Azura." Ilios berucap nada penuh penyesalan.
Dunianya kini hancur. Dia tidak pantas menjadi pemimpin keluarga atau pun suami dan seorang ayah. Dia sudah gagal, semua tidak bisa kembali seperti sedia kala.
Ilios telah gagal menjadi segalanya.
Bersambung...
01/07/2021
Edit: 06/04/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro