Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Wach out for Amaris

Bagi seorang dokter, kesehatan dan kesembuhan pasien adalah hadiah terbaik yang pernah ada. Begitupula dengan Starla Cassiopeia. Dokter ahli dalam bidang psikologi penanganan pasien kelainan mental. Dia sangat bersyukur, pasien yang awalnya rapuh dan hampir termasuk kategori gila. Kini dapat pulih dan beraktivitas layaknya manusia normal.

Buku catatan dokter sudah dipenuhi dengan berbagai catatan tentang pasiennya tersebut. Penelitiannya tentang perkembangan emosi manusia secara bertahap ditulis untuk menjadi refrensi untuk ke depannya bagi pasien lain yang membutuhkan.

Wanita dengan usia hampir menginjak tiga puluhan, dengan jas dokter putih serta surai pendek pirang simpelnya sangat khas dengan netra hitam tegas yang selalu menyorot percaya diri. Kini catatannya sudah tertutup, tugasnya sudah selesai, dia harus kembali ke pusat kedokteran untuk membantu orang lain yang membutuhkan.

Dokter menarik kedua sudut bibirnya, menciptakan lengkungan senyum tulus. Dia juga harus menghaturkan terima kasih pada Juliet. Berkat wanita itu dia bisa membantu penyembuhan Stella Scheinen hingga akhir. Wanita dengan sorot hangat pada pasiennya kini mendekati Stella yang tengah tertidur. Dia mengusap lembut surai perak sang pasien dengan perasaan penuh.

"Aku berhasil. Aku berhasil lagi paman." Dokter berucap penuh rasa syukur melimpah. Entah berapa kali dia harus kembali bersyukur pada Tuhan. Yang lagi dan lagi terus membantunya hingga saat ini.

Dokter kembali mengusap rambut putri Archduke tersebut dengan hangat. Hingga Stella menggeliat, lantas membuka mata perlahan dengan mata mengerjap pelan. "Dokter?" gumam Stella dengan tangannya yang menyentuh tangan sang dokter.

Dokter Starla yang mendapati tingkah pasiennya tersenyum. "Maafkan aku telah membangunkanmu. Kembalilah tidur." Usapan hangat diluncurkan sang dokter dengan kecupan hangat pada dahi Stella yang mengangguk lemas, dia memeluk guling lantas kembali terlelap.

Dokter turun dari ranjang, merapihkan jas dokter yang dia kenakan. Langkahnya pelan, berjalan menuju keluar kamar. Dia berkeliling rumah besar sang Archduke. Hingga akhirnya langkahnya terhenti di area perbatasan Kediaman Scheinen dengan Camp Kesatria Aencas.

Dokter Starla terdiam di sana sebentar. Hingga mendapati pemuda yang lebih muda darinya beberapa tahun yang tengah berlatih pedang sendirian di tengah lapang yang luas.

Pemuda bersurai perak dengan iris merah darah tersebut meliuk ke sana kemari. Menghunuskan pedang dengan begitu ahli tanpa memerhatikan sekitarnya. Amaris yang tengah berlatih langsung berhenti setelah melihat dokter yang menangani adiknya sedang menontonnya berlatih. Dengan perasaan tidak nyaman mendapati ditonton orang tidak kenal dia segera menghampiri sang dokter.

"Ini bukan tontonan menarik. Tolong pergilah." Amaris terlihat sekali mengusir dokter adiknya dengan terang-terangan karena merasa tidak nyaman. Sedangkan dokter yang mendapatkan perlakuan pemuda tersebut terlihat tidak suka. Dia hanya bisa langsung mengangguk pergi dari tempat tersebut karena memang dirinya juga salah karena telah datang tanpa diundang.

"Anda harus lebih sopan dengan orang lain, Tuan Muda Scheinen." Sebelum pergi dokter berbalik melirik pemuda dengan pedang yang masih digenggamnya dengan erat. Pose itu mengingatkannya pada ayah dari pemuda tersebut yang pernah mengancam untuk membunuhnya dengan pedang beberapa waktu yang lalu.

Amaris mengangkat sebelah alis terlihat tidak suka. "Ini kediamanku. Kamu hanya tamu. Tapi mengapa kamu begitu angkuh?"

Starla menatap wajah tampan pemuda dihadapannya. Tatapan mereka bertemu. Hingga dokter wanita itu kembali membuka mulut. "Kebetulan saya bertemu dengan Anda. Saya ingin menitipkan Nona Stella Scheinen pada Anda. Beliau sudah seutuhnya pulih. Tolong jaga beliau baik-baik." Dokter Starla memberikan petuah pada sang pemuda yang menunjukkan ekspresi tidak nyaman.

Amaris merasa kesal karena orang-orang terus memerhatikan gadis gila itu. Ah, terus saja Stella yang dibahas semua orang. Semenarik itukah adiknya yang setengah gila dihadapan orang-orang? Setidaknya itu yang dipikirkannya sebelum menjawab petuah sang dokter sebelum dokter kembali berbicara. "Dan saya juga akan segera pergi. Tidak perlu khawatir dan merasa risih atas kedatangan saya kali ini."

Angin kini berhembus kencang, menerpa rambut keduanya yang mulai terbawa angin. "Baguslah, lagipula kamu tidak perlu menitipkan Stella kepadaku. Ayah akan menjaganya tanpa diminta olehmu langsung." Amaris menjawab dengan dingin, menandakan bahwa wanita itu harus segera pergi. "Pergilah, sudah malam." Amaris yang menatap dokter itu masih terdiam, memilih meninggalkan dokter sendirian di sana.

Entah kenapa semua yang berhubungan tentang adiknya selalu membuat dia kesal akhir-akhir ini. Rasanya seperti kamu membenci seseorang, namun, orang itu tidak pernah berbuat salah dan menjengkelkan untukmu. Benci saja, tidak memiliki alasan.

Dokter yang masih berdiri di sana menatap punggung Amaris yang menjauh. Dia seorang dokter yang menangani psikologi pasien. Karena itu dia tahu bahwa Amaris tampak tidak suka pada Stella. Dokter hanya berharap ketika dia pergi nanti tidak akan terjadi hal buruk pada Stella. Karena sekali seseorang telah terkena sakit mental dan sembuh. Akan sulit untuk kedua kalinya menyembuhkan pasien karena bisa jadi akan gila permanen.

Starla menghembuskan napas, kembali masuk ke dalam mansion. Dia mengusap-usap wajahnya yang sudah dingin karena udara malam. Hingga dirinya berpapasan dengan kepala pelayan di lorong yang tengah membawa teko teh hangat. "Apa, Anda membutuhkan sesuatu?" tanyanya ramah.

Dokter Starla menggeleng, berbeda dengan perilaku Amaris yang tidak sopan. Ketua pelayan Scheinen selalu bersikap ramah, itu membuat perasaan sang dokter membaik. "Apa saya bisa menemui Archduke?" tanya Starla yang langsung dibalas anggukan oleh kepala pelayan yang menuntunnya memasuki ruangan.

"Senang sekali Anda telah berhasil memulihkan Nona Stella." Kepala pelayan berbicara basa-basi yang dibalas dengan sopan. "Itu sudah tugas saya, Tuan."

"Saya sangat berterima kasih pada apa yang telah Anda lakukan. Itu sangat berarti bagi kami. Terutama Archduke." Sky kembali berbicara, tampak sekali beliau sangat bijaksana di usianya yang sudah menua.

Mereka berdua berjalan beriringan, melewati koridor dan anak tangga. Ketika sudah sampai di depan pintu ruangan, ketua pelayan meminta izin dahulu bagi dokter untuk bertemu. Ilios yang mendengarnya segera mengiyakan permintaan tersebut dan menyambut dokter Starla dengan ramah.

"Salam, Yang Mulia." Starla memberi hormat yang dibalas Ilios dengan lambaian tangan. "Tidak perlu seperti itu. Duduklah." Ilios mempersilahkan dokter duduk di atas sofa yang langsung diikuti olehnya.

"Sudah lama kita tidak bertemu
" Dokter memulai percakapan yang membuat Ilios mengerutkan dahi sesaat karena bingung, karena mereka baru bertemu sore tadi. Sebelum akhirnya dia menyadari pertemuan mereka hanyalah ketika berubah menjadi Juliet, lantas setelah menyadarinya dia mengangguk karena sebagai Ilios mereka memang sudah lama tidak bertemu.

"Benar, kudengar dari Juliet. Bahwa Stella kini semakin membaik. Syukurlah, kalau begitu." Dokter kini menyesap teh hangat yang baru saja dihidangkan ketua pelayan. Setelah selesai menyesap teh, wanita itu menghela napas lantai memasang wajah serius.

"Yang Mulia, saya ingin mengatakan bahwa saya akan kembali ke pusat kedokteran besok." Stella memberikan pernyataan yang langsung ditolak oleh pria itu. "Tentu saja tidak bisa. Putriku belum sembuh total. Dia masih takut pada pria. Apa kamu ingin membiarkan aku tidak bisa menemuinya untuk selamanya?" Ilios jelas-jelas menolak pernyataan tersebut, dia tidak tahu sampai kapan bisa berubah menjadi Juliet. Bagaimana jika Stella belum kunjung sembuh dan tidak bisa menemui dirinya yang asli?

"Yang Mulia. Bukankah Anda memiliki Nyonya Juliet? Bahkan saya yakin, dibanding saya sebagai seorang dokter. Nona Julietlah yang lebih mampu membantu Nona Stella." Dokter Starla berusaha memberikan penjelasan. Bisa-bisanya karena sambutan ramah ini dia lupa kalau dia adalah pria keras kepala yang sinting.

Ilios lagi-lagi menggeleng tegas, tidak menyetujui. "Tidak bisa. Juliet tidak bisa selamanya menemani Stella. Dia bisa pergi kapan pun." Ilios menanggapi dengan serius, tidak mau melepas Dokter sehebat Starla untuk keluar dari Scheinen. Walau kadang wanita ini kurang ajar, tapi dia sangat kompeten sebagai dokter.

"Tapi, Yang Mulia. Saya sangat dibutuhkan oleh Pusat Kedokteran. Nona Stella sudah hampir pulih. Setiap seminggu sekali, pasti ada dokter yang membantu terapi Androphobia yang diidap putri. Sedangkan saya? Saya bisa membantu pasien lain yang lebih membutuhkan."

Dokter Starla sekali lagi menjelaskan. Itu sudah sewajarnya Ilios khawatir apa yang harus dilakukan ketika dia pergi. Mungkin saja Ilios takut, kalau-kalau putrinya bisa lepas kendali seperti sebelumnya. Tapi dalam pengamatannya kondisi putri sudah stabil. Jadi tidak perlu ada yang dirisaukan lagi.

"Yang Mulia, saya harus pergi. Nona Stella akan pulih sepenuhnya. Saya akan memberikan catatan cara terapi Nona Stella pada Juliet. Saya yakin asal sebelum pulih seutuhnya putri tidak menemui pria atau sesuatu yang membuatnya trauma. Putri pasti akan segera pulih sepenuhnya. Ini hanyalah masalah waktu." Dokter kembali memberikan pernyataan yang membuat Ilios menghembuskan nafas panjang tidak bisa berkata-kata.

"Baiklah, berhati-hatilah di jalan dokter. Sampaikan kepada Pusat Kedokteran. Bahwa dokter yang menggantikan kamu akan datang setiap minggu." Ilios akhirnya mengizinkan dokter pergi dengan persyaratan yang membuat dokter bernapas lega.

"Itu tidak masalah." Dokter langsung mengangguk senang. "Dan Yang Mulia, kalau boleh memberi saran. Bolehkah saya minta agar Tuan Muda Scheinen tidak dekat-dekat dengan putri?"

"Apa maksudmu?" Ilios bertanya tidak mengerti dengan pernyataan yang diajukan dokter kali ini. Walau putranya adalah pria, dia tidak akan sengaja muncul membuat putrinya trauma. Karena putranya itu orang yang peka pada kondisi sekitarnya.

"Maksudnya. Entahlah, mungkin ini hanya perasaan saya. Putra Anda terlihat kurang menyukai putri." Starla menjelaskan hati-hati, bukan karena dia tidak menyukai pria itu mengatakan hal demikian. Tapi dari apa yang dilihat Amaris adalah orang yang harus diawasi agar tidak dekat pada Stella. Perasaannya buruk akan hal itu.

"Omong kosong. Amaris anak yang baik. Mana mungkin dia seperti itu."

"Sudahlah, mungkin kamu lelah. Besok Sky akan menyiapkan kereta kuda untuk mengantarmu ke Pusat Kedokteran." Ilios segera bangkit kembali menunju meja kerja, tidak mengindahkan peringatan yang diajukan dokter.

"Yang Mulia, tolong ingat saran saya."

Sebelum pergi, dengan wajah serius dokter kembali mengingatkan Ilios yang hanya mengangguk menanggapi ucapan dokter wanita tersebut. Dan mengantar wanita itu hingga ke pintu. "Dasar wanita. Selalu saja mengikuti perasaan." Ilios bergumam sendiri setelah dokter keluar ruangan.

Ilios mengalihkan perhatiannya. Kini matanya terpaku pada lukisan yang dia pajang di dinding ruangan. Lukisan Azura Scheinen hasil karya sang putri. "Bukan benar begitu, Istriku?"

Bersambung...

28/06/2021

Edit: 05/04/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro