Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Not an Brother

Langit sudah menjingga ketika kereta sudah sampai di depan mansion keluarga dari pihak Putri Ariel. Pria dengan surai perak yang berkilau di bawah mentari senja mengulurkan tangan dari arah luar kereta, memasang senyum sopan.

"Terima kasih, Tuan Muda Scheinen." Ariel meraih tangan mantan tunangannya yang kini tersenyum tipis. "Anggap saja ini sebagai salah salam perpisahan dariku. Selamat tinggal, Putri." Kecupan ringan tersampaikan dari tangan mungil putri yang perlahan lepas dari genggamannya.

Dalam waktu lama mereka bertatapan sebelum pria itu memberi hormat, berbalik pergi. Meninggalkan mantan tunangan politiknya tersebut. Sementara dengan ekspresi sendu putri menatap punggung tangannya menjawab salam terakhir pria yang pernah dia cintai yang kini berbalik pergi.

"Selamat tinggal, Amaris," gumamnya berbisik lirih, angin berhembus mengibarkan surai merahnya yang mulai berombak. "Cinta pertama yang sampai akhir tidak pernah kumiliki." Salam perpisahan itu berakhir dengannya kini berbalik, membelakangi pria yang kini semakin menjauh.

Gadis itu menetapkan langkah dengan mantap. Dia tidak akan menyesali pilihannya itu. Kini dia berjalan menuju kediaman keluarga sang ibu. Di antara kerumunan yang menyambut, di sana hadir pria dengan surai merah muda tersenyum manis. Ya, pria yang mengajari makna cinta sebenarnya dan berani mengambil langkah pertama dalam hidupnya.

Archer Anaan, putra kedua dari Marquiss Anaan. Dia berada tersembunyi di kerumunan. Tatapan keduanya bertautan, saling terhubung dengan kata-kata tidak tersampaikan. Perasaan hangat menjalar, memenuhi keduanya. Menciptakan dunia seakan mereka sendiri yang tinggal.

Sedangkan Amaris dengan raut wajah tidak baik menghampiri sahabatnya yang menarik kuda untuk diikat ke tiang. Pria itu tampak ceria menyambutnya dengan hangat. Dia terlihat cerita seperti mentari yang menyinari hari.

Namun, melihat ekspresi kurang baik dari sahabatnya. Senyum cerahnya langsung luntur digantikan ekspresi bingung. Apa ada sesuatu yang buruk? Pikirnya begitu. "Apa yang terjadi ?" tanya Leo mendekati sahabatnya yang berjalan tanpa arah melewatinya.

"Kita kembali sekarang juga." Tanpa melirik dia tidak menjawab. Melainkan memberikan perintah yang membuat kebingungan pria surai biru tua itu kebingungan

"Ekspresi kamu tidak baik. Aku pikir Kamu harus menenangkan diri terlebih dahulu." Leo memberi nasihat dengan menepuk pundak pemuda tersebut yang kini tersenyum picik menatap tidak suka padanya.

"Kenapa? Apa kamu mengkhawatirkan putri manja itu? Tenanglah, dia bersama selingkuhannya pasti akan menghabiskan malam sempurna di mansion indah ini. Selingkuhannya mana mungkin tidak menjaganya bukan?"

Leo yang mendengarnya semakin kebingungan dengan percakapan satu arah yang sahabatnya lontarkan. "Apa maksudmu?"

Amaris tertawa kecil, menarik pemuda berstatus kesatria untuk berdiri di sampingnya. Tangannya menunjuk salah seorang pria dengan jubah serta surai merah muda di antara kerumunan.

"Sialan. Bajing*n Archer itu selingkuh dengan tunanganmu?!" Leo menatap Amaris tidak percaya, baru mengerti dengan perilaku aneh yang baru dilakukan komandannya.

Amaris hanya membalas dengan senyuman sangsi. "Kamu tahu, aku awalnya tidak mengira perkiraan ku dulu menjadi nyata. Ternyata si brengs*k itu benar-benar menyimpan rasa terhadap Ariel."

Leo menepuk kembali bahu Amaris, berusaha menyemangati dia mengambil sisi positif yang masih bisa diambil dari kejadian tersebut. "Tapi, tetap saja dia masih tunanganmu. Tidak ada alasan untuk mereka bisa bersama, 'kan?"

Amaris berdecak sinis sembari mengalihkan pandangan. "Oh, tentu. Kamu bisa katakan itu pada waktu kamu memaksaku satu kereta kuda dengannya."

"Hah? Jangan bilang...," dengan mulut menganga pemuda itu menatap Amaris. Jangan bilang karena ulahnya tadi untuk mendekatkan pasangan itu mereka jadi bermasalah.

"Ya, kami baru saja putus."

Amaris mengatakan hal tersebut dibarengi putri yang kini tengah memeluk pria surai merah muda yang berada di tengah kerumunan. Leo yang menatapnya merasa miris, apalagi pria di sampingnya.

"Sadis." Leo berujar tanpa sadar lantas menarik Amaris menuju kuda. "Ada benarnya juga. Aku rindu perkotaan dan Camp Kesatria. Kita kembali sekarang saja." Dia segera menaiki kuda bersamaan dengan pria yang kini mengangguk dengan lesu.

Amaris hanya bisa terdiam dengan pandangan dingin. Mulai memecut kudanya melesat pergi. Angin dingin kini berhembus menerpa dedaunan yang berguguran jatuh. Tampaknya musim gugur kali ini adalah yang terburuk sepanjang hidup.

.

.

.

Ilios tengah sibuk mengurus dokumen hingga tiba-tiba ketua pelayan hadir memberitahu jadwal dia menemui putrinya lagi.

Dengan senang dia mengangguk, langsung menyiapkan diri. Sudah tiga hari dia menemui putrinya. Setiap dua jam empat puluh lima menit sehari semenjak hari itu. Seakan rutinitas. Dia meminum formula suara serta pengubah gender lantas berganti pakaian dengan gaun.

Namun yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini tiba-tiba Amaris yang tengah dalam kondisi perasaan buruk datang melihat perubahan drastis sang ayah secara langsung.

"Maaf, Nyonya. SepertinyabAnda salah tempat berada di ruangan ini. Atau saya yang salah lihat? Melihat Archduke berubah menjadi wanita saat ini?"

"Ini aku. Ayahmu, 'Nak." Juliet tidak terlalu menanggapi atas keterkejutan sang putra. Dia mengangkat bahu santai tersenyum. Amaris yang merasa hal buruk mulai berdatangan semenjak beberapa waktu terakhir hanya bisa tersenyum miris. Sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Apa dia stress dan mulai berhalusinasi?

"Yang Mulia." Ketua pelayan menepuk bahu pemuda tersebut yang menggeleng tidak percaya. Dia masih terdiam dengan wajah penuh tekanan, tidak bisa mencerna hal tersebut di otaknya. "Hahaha, Sky. Katakan ini hanya mimpi! Tidak mungkin ayah berubah gender dalam waktu sesaat 'kan?"

Ketua pelayan hanya bisa menghampiri Amaris dan menenangkan pemuda tersebut dengan menepuk punggungnya. "Sebenarnya ini adalah kenyataan. Tenanglah, Yang Mulia."

"Benar, tenanglah. Aku hanya berubah jenis kelamin dalam kurun waktu tiga jam. Bukan selamanya," timpal Juliet yang mulai menggelung rambutnya sembari berkaca. Lagi-lagi Amaris terkejut, matanya mengerjap masih tidak percaya.

"Ayah menggunakan suara Ibu?" Juliet yang mendengarnya mengangguk. "Benar, kamu harus terbiasa. Bukankah suaranya adalah suara terindah yang pernah ada?" Juliet tersenyum, lantas berjalan menuju pintu diikuti ketua pelayan.

Sementara Amaris tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya terdiam membatu dengan pikiran kosong. "Kenapa? Kenapa Ayah mau melakukan hal seperti ini?" Amaris menatap Juliet tidak percaya dengan suara serak.

"Tentu saja karena adikmu. Siapa lagi? Dia butuh seseorang untuk membantunya bangkit. Tidak mungkin 'kan kamu yang melakukannya? Padahal hanya aku dan kamu yang bisa dipercaya." Juliet yang pergi menghentikan langkahnya, menjelaskan tanpa basa-basi

Amaris yang mendengar hal tersebut mengepalkan tangan. Pikirannya mulai kacau. Stella lagi, lagi, dan lagi. Apakah di kepala sang Ayah hanya ada Stella saat ini?

"Oh ya, katanya kamu putus dengan putri manja itu? Baguslah, aku tidak mau memiliki besan seperti ayahnya." Juliet tertawa kecil mengingat fakta baru yang baru terdengar olehnya tadi pagi.

"Apa itu bukan berita besar untuk Ayah?" Amaris bertanya, dia benar-benar merasa tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting seperti ayahnya memperlakukan Stella.

"Untuk apa? Kamu harus memilih hidupmu sendiri. Aku percaya Kamu lebih dari cukup bisa menanganinya." Juliet menjawab lugas lantas melambaikan tangan dan benar-benar keluar dari ruangan.

Amaris terdiam dengan sorot mata tidak terbaca. Sebenarnya dia itu dianggap seperti apa dalam benak ayahnya? Apa pun yang dia lakukan selalu tidak berarti apa-apa. Seakan dia hanya angin yang singgah tanpa menyisakan kesan.

Amaris tertawa sumbang. Jangan bilang kini dia memiliki perasaan dalam hubungan keluarga yang dia jalani saat ini. Jika saja itu benar. Bukankah ini berarti dia cemburu kepada sang adik yang mendapat perhatian lebih?

Amaris berjalan keluar ruangan. Dia menatap lantai dengan kosong. Berjalan tanpa arah hingga sampai di Camp Kesatria Aencas yang berada dekat dengan Kediaman Scheinen.

Amaris tidak mengerti. Sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya saat ini?
Padahal dia sudah terlatih tidak memasukkan perasaan apa pun pada suatu hubungan agar tidak merasa kecewa lagi. Dia sudah membuat hatinya sekeras batu untuk tidak merasakan perasaan apa pun.

Kini langkahnya membawa dia menuju ruang kerja. Dia mengambil satu bingkai foto yang selalu dia pajang di sana. Wanita dengan rambut emas bergelombang serta iris merah sepekat darah tersenyum anggun. Menurut Amaris wanita itu adalah wanita paling cantik yang pernah ada di muka bumi.

Azura Scheinen. Ibu dari Amaris dan Stella. Seorang malaikat tanpa sayap yang selalu berada di sisinya hingga akhir hayatnya. Memori Amaris kini seakan ditarik waktu untuk mundur. Kembali mengingat kondisi keluarga sebelum sang ibu dijemput malaikat maut.

Dulu keluarganya adalah keluarga normal seperti orang pada umumnya. Bahagia dan sejahtera. Terkadang piknik di atas bukit atau menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga. Bercerita hari yang mereka jalani bersama-sama. Penuh canda dan tawa.

Amaris tertawa kecil mengingat masa-masa itu. Hingga akhirnya memori membawa dia menuju waktu kematian sang ibu. Sang ayah yang dulu normal, 'seingatnya'. Menjadi dingin dengan menyibukkan diri dengan pekerjaa dan tidak pernah peduli kepada anak-anaknya lagi.

Waktu berlalu. Tidak pernah ada perhatian yang ditunjukkan untuk keduanya. Mereka tumbuh besar saling tidak mempedulikan satu sama lain. Amaris pikir itu adalah hal yang tidak akan bisa berubah. Jalan yang ditempuh bukan sesuatu yang bisa kembali menyatukan keluarga mereka lagi bersama.

Hingga kejadian itu terjadi pada Stella. Ayahnya mulai berubah. Dia mulai mendekati dan sangat memperhatikan Stella. Tapi tidak dengannya. Dia seperti orang asing yang masuk dalam kisah seorang ayah yang bertobat dengan putrinya yang gila.

Benar. Mungkin karena keegoisan yang dimiliki Amaris. Dia tidak terima akan perhatian sang ayah pada Stella. Walaupun itu adalah hal yang wajar, seharusnya. Benar, seharusnya dia tidak cemburu dengan hal itu. Seharusnya.

Dia merasa tidak adil. Cemburu, iri, dan benci. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara mendeskripsikan perasaannya saat ini. Saat itu pula mulai hadir setitik benci di hatinya pada Stella.

Salahkah bagi Amaris ingin merasakan perhatian yang sama seperti sang adik?

Ataukah itu hanya sekedar pembenaran untuk ego yang menguasai diri?

Bersambung...

25/06/2021

Edit: 22/03/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro