10. Older Brother
Semua orang dalam Kediaman Scheinen tampak berbisik satu sama lain. Yang pasti itu bukan hal yang baik karena mereka menemukan hal menarik untuk digunjingkan.
"Siapa dia?"
"Entahlah, bisa saja dia adalah anak haram yang disembunyikan Archduke."
"Hah, benarkah? Mungkin saja itu benar. Lihatlah dia yang begitu mirip dengan Nona Stella."
"Atau saja dia benar-benar kembaran Nona Stella yang disembunyikan. Itu semua untuk memperkecil persaingan penerus keluarga Scheinen."
"Ah.., itu masuk akal."
Ilios yang mendengar bisik-bisik para pelayan berdecak sebal. "Berani sekali kamu menggosipkan Stella. Apa kamu mau tahu rasanya lidah dipotong." Ilios mendekati para pelayan yang langsung memberikan tatapan dingin padanya.
Sky merasa tidak tenang saat melihat Ilios pergi menghampiri pelayan. Kekhawatiran itu terbuktikan dengan Ilios yang langsung menyulut pertengkaran dengan melupakan statusnya yang kini bukan lagi tuan rumah.
"Memangnya Anda siapa?" Salah satu pelayan menatap remeh tidak peduli, ya, itu bisa dipastikan karena orang itu sangat layak dicurigai sebagai orang asing yang memiliki asal-usul buruk.
Ilios hampir saja meninju pelayan tersebut sebelum ketua pelayan menghentikannya. "Kalian bertingkah tidak sopan pada tamu Nona Stella. Cepat minta maaf." Sky menenangkan suasana yang panas hingga para pelayan dengan setengah hati memintaku maaf dan kembali bergunjing di belakang.
"Setelah ini pastikan kamu memecat sampah-sampah itu. Aku muak melihatnya." Ilios yang sudah menenangkan diri kembali berjalan menuju arah kamar Stella. Lagi pula sekarang dia harus fokus pada tujuan utamanya berubah menjadi wanita.
Sky yang menatap kepergian Ilios langsung menyusul dan berjalan berdampingan. "Yang Mulia, tolong perhatikan sikap Anda. Saat ini Anda tengah menjadi Juliet. Tamu khusus untuk Nona Stella. Bukan seorang Archduke dingin dengan hasrat membunuh." Ketua pelayan berbisik di telinga majikannya yang dibalas dengan malas olehnya. "Iya, Pak Tua."
Kini Ilios sudah sampai di depan pintu kamar putrinya. Sekarang sudah waktunya. Ilios menarik nafas, mengetuk pintu perlahan. Dia menunggu dengan debaran jantung tidak tenang, takut-takut mendapatkan penolakan lagi seperti sebelumnya.
Setelah beberapa lama. Pintu terbuka, di sana Dokter Starla berdiri dengan wajah masam. Sebelum akhirnya dia tersadar dengan keberadaannya dan tersenyum ramah. "Ada keperluan apa Anda kemari Nyonya?" tanya Starla sopan.
Ilios dengan wajah dingin menjawab datar. "Saya Juliet. Orang yang diutus oleh Archduke untuk menjenguk putri." Dalam hati Ilios tidak percaya dengan diskriminasi yang diberikan wanita di hadapannya. Ketika dia menjadi Ilios, dia selalu diperlakukan layaknya sampah. Tapi ketika dia menjadi versi wanitanya, wanita ini begitu sopan dan ramah.
Setelah mendengarkan jawaban Ilios. Starla dengan ramah mengangguk dengan mata berbinar, lantas mempersilahkan Ilios masuk. Dia merasa tenang sekarang, karena dokter berpikir sepertinya Ilios sudah menyerah dengan egonya itu dan mengirimkan orang lain. Sungguh kemajuan besar bagi riwayat pengobatan pasiennya kali ini.
Setelah mengucapkan salam formal dan berbasa-basi sebentar. Dokter lantas menutup pintu kamar, membiarkan ketua pelayan berdiri di luar. Dan menuntun Ilios, maaf, maksudnya Juliet untuk menunjukkan kondisi Stella.
"Maafkan saya Nyonya Juliet. Saya tidak bersikap sopan pada Anda sebelumnya. Padahal Anda tidak salah apa-apa." Starla berujar merasa bersalah, dengan sungguh-sungguh. Karena pada awalnya dia mengira itu Ilios yang mau berulah. Tanpa mengetahui kalau wanita di hadapannya adalah Ilios dalam versi wanita.
Juliet hanya mengangguk, mendengarnya. Fokusnya sedari tadi memperhatikan Stella yang tengah terduduk di kursi, menatap kosong jendela. Dengan perlahan dia mendekati putrinya. "Stella, Kamu sehat?" tanyanya lembut.
"Maaf, Nyonya Juliet. Putri memang begini pasca kecelakaan. Beliau sering melamun. Tubuhnya tidak merespon apa pun. Kesadaran putri belum kunjung kembali." Dokter menjelaskan dengan prihatin.
Sementara Juliet dengan miris mengusap lembut wajah dengan ekspresi kosong sang putri. "Kenapa? Kenapa kesadarannya belum kembali?"
"Ada sesuatu yang menghambat kesadaran beliau." Dokter tanpa sadar kembali memasang wajah masam seperti pertama kali bertemu Juliet.
"Apa?"
"Ah, seorang pria bodoh tidak punya otak selalu datang setiap hari. Padahal putri mengidap Androphobia yang membuat dia takut pada pria. Hah.., sepertinya sekarang orang itu sudah sadar hingga tidak kemari lagi."
Juliet terlihat sebal mendengar ucapan dokter yang jelas-jelas ditunjukkan untuknya. Coba saja bayangkan kalian dibicarakan tepat di depan kalian sendiri? Sangat menyebalkan bukan? "Tenang saja, selain aku. Tidak akan ada yang menjenguk putri. Itu perintah langsung dari Archduke," ucap Juliet tersenyum sinis, menyindir dokter yang malah disalah artikan dengan ekspresi lega dan bahagia sang dokter, bahkan dia sampai-sampai memuji Tuhan. Betapa baik Tuhan padanya telah membalikan hati pria bodoh itu.
Juliet memalingkan wajah dari dokter dan kembali mendekati Stella. "Stella, Aku di sini. Jangan khawatir, Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri lagi," ucap Juliet sungguh-sungguh, berusaha mengambil hati yang sudah terlanjur jatuh dalam jurang keputusasaan.
.
.
.
Istana sudah di depan mata. Para kesatria yang dipimpin langsung oleh Amaris Scheinen memasuki gerbang. Berniat menjemput putri kerajaan dan mengawalnya menuju tempat tujuan sang putri.
Rombongan itu berhenti ketika tepat di depan istana. Amaris dan Leo turun dari kuda, menghampiri sang putri yang tengah menuruni anak tangga. Tampaknya putri kerajaan sudah menunggu kedatangan mereka sedari tadi.
"Salam, Yang Mulia Putri Ariel." Keduanya menunduk, memberi salam. Secara khusus Amaris sebagai tunangan putri Ariel mengecup tangannya sebagai tata krama.
Putri Ariel Damarion mengangguk dengan senyuman hangat. Beliau adalah anak ketiga dari Yang Mulia Raja Blitz Damarion. Sedangkan anak pertama adalah Pangeran Apollo Damarion dan kedua Putri Andromeda Damarion.
"Senang bertemu dengan Anda Tuan Muda Scheinen. Begitu pula dengan Anda Tuan Ksatria." Putri Ariel membalas salam keduanya dengan anggun.
Amaris kembali mengulurkan tangan, ketika mereka turun dari anak tangga. Dengan hati-hati dia membantu Ariel memasuki kereta kuda. Sedangkan putri yang mendapat perhatian tersebut tersenyum manis. Langsung membalas uluran tangan Amaris dengan senang hati.
"Tuan Scheinen. Apa Anda akan bersama saya di kereta kuda?" tanya Ariel berharap ketika dia sudah di dalam kereta kuda.
Leo yang melihat keduanya bergantian langsung menginjak kaki Amaris untuk mengiyakan. Sebagai sahabat dia harus menolong kisah percintaan sahabatnya tersebut bukan? "Yang Mulia, Saya sebenarnya akan berjaga di depan bersama para ksatria lain."
Leo berdecak gemas ketika Amaris tidak peka dengan sinyal yang diberikannya. Sedangkan putri yang mendengarnya terlihat kecewa dan hanya tersenyum sopan. "Begitukah? Kalau begitu tidak apa-apa. Maafkan saya bertanya."
Leo kembali mencari cara untuk menyatukan kembali pasangan tunangan di hadapannya. Sahabatnya berhati dingin itu sangat sulit bertindak romantis. "Yang Mulia Putri. Saya yang akan berjaga di depan. Lebih baik Komandan Aencas bersama dengan Yang Mulia. Itu memungkinkan agar Anda dalam posisi yang lebih aman." Kali ini Leo berinisiatif maju. Dia harus memastikan sahabatnya yang tidak peka tersebut memperlakukan calon istrinya dengan baik.
Putri Ariel terlihat sangat senang mendengar hal tersebut. Sedangkan Amaris menahan kesal pada Leo yang bertindak tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Dengan helaan napas panjang dia tersenyum. "Tentu saja Putri. Senang bisa satu kereta dengan Anda." Amaris tersenyum, lantas menaiki kereta kuda, berhadapan dengan tunangannya.
Sementara itu Leo mengedipkan sebelah matanya pada Amaris. Yang dibalas tatapan tajam andalannya. Setelahnya dia lalu pamit pergi untuk mengawal kereta dari samping kereta.
Rombongan kerajaan itu berjalan, meninggalkan istana menuju Kota Saros. Kota tempat keluarga dari pihak ibu putri tinggal. "Tuan Muda Scheinen. Sebenarnya ada hal yang harus saya katakan." Ariel membuka pembicaraan dengan hati-hati, menatap prianya serius
"Iya, Putri. Katakan saja apa yang membuat Anda gundah."
"Sebenarnya saya merasa pertunangan kita tidak berjalan semestinya. Saya merasa sangat tidak diakui oleh Anda," ucap Ariel dengan wajah menunduk dengan perasaan campur aduk.
Amaris mengernyit, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud sang putri. "Apa maksud Anda? Saya tidak mengerti. Saya merasa telah memperlakukan Anda seperti semestinya. Saya telah mengikuti prosedur seperti yang telah ada. Apa yang salah?"
"Tuan Muda Scheinen. Kita tidak saling mencintai. Kita hanya berhubungan karena stempel pertunangan yang telah diberikan semenjak kita lahir. Hubungan bukan sekedar nama tanpa rasa di dalamnya. Jika begitu hubungan kita hanya sekedar orang yang saling mengenal dan menghargai. Saya tidak ingin begitu. Saya mohon tolong batalkan pertunangan kita." Ariel mencurahkan segala isi hatinya dengan berusaha bersikap jujur pada tuanangannya.
Amaris mengepalkan tangan dengan erat. Raut wajah ramahnya hilang di telan bumi. Digantikan ekspresi dingin dengan aura intimidasi. "Hubungan kita adalah diplomasi. Jika Anda ingin ada rasa di dalamnya. Saya akan mencoba belajar." Amaris mencoba membujuk putri yang masih bersikeras dengan pilihannya.
Putri Ariel menggigit bibir, matanya mulai berkaca-kaca. Dia meremas gaunnya dengan erat. "Maafkan saya. Tapi alasan saya ingin membatalkan pertunangan ini karena saya telah mencintai pria lain," ucap Ariel dengan suara bergetar ragu.
Amaris menahan senyuman sarkas. Ingin sekali dia menyadarkan putri manja tersebut. Bahwa semua tidak bisa mengikuti perasaannya. Karena tidak ada di dunia ini yang bisa sesuai perasaan yang hanya bersifat sementara.
"Baiklah, jika itu yang Anda mau." Amaris mengangkat bahu memilih tidak akan berurusan dengan gadis di hadapannya. "Tapi mulai sekarang hubungan diplomasi kita putus. Jangan terkejut jika suatu hari nanti Anda mendapat masalah saya tidak akan membantu sedikit pun."
Putri Ariel mengangguk cepat dengan keringat dingin. Setidaknya orang ini masih mau menerima keputusannya. Dan ini adalah resiko yang harus dia tanggung. "Saya berjanji tidak akan pernah meminta bantuan Anda."
Amaris tidak lagi menanggapi perkataan putri. Dia hanya terdiam menatap jendela, aura suram sangat jelas melingkupi keduanya ditambah ketidaknyamanan yang membuat dada putri sesak.
Sementara Amaris masih dalam diam, berpikir tentang konyolnya hidup dengan perasaan yang hanya membawa pada kehancuran logika yang akan membuat menyesal di masa yang akan datang.
Bersambung...
24/06/2021
Edit: 21/03/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro