Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Father

Pria gagah penuh karisma itu berjalan tegap. Wajah menawannya begitu memikat bagi siapa saja yang menatap. Aroma mint yang melekat pada tubuhnya tercium menenangkan. Membuat pesonanya semakin bertambah. Jika saja orang tidak tahu siapa pria tersebut. Mungkin mereka akan mengira dia adalah seorang pemuda berkepala tiga yang penuh pesona.

Namun nyatanya dia sudah mau menginjak umur empat puluh. Dengan memiliki dua anak yang sudah menginjak usia dewasa. Pria itu bernama Ilios Scheinen. Satu-satunya Archduke di kerajaan Bhav-bhooti.

Kini Ilios tengah menuduk hormat, menghadap pemimpin negeri Bhav-bhooti. Yang Mulia Raja Blitz Damarion. "Salam, Yang Mulia." Ilios memberikan salam formal pada pria yang tengah duduk di atas singgasana.

Sang Raja yang mendengar salam tersebut tersenyum ramah. "Apa kabarmu Ilios? Lama tidak jumpa. Aku pikir kamu sangat sibuk belakangan ini." Blitz membalas hangat pada teman lamanya itu, mereka memiliki usia yang sama, mendekati usia paruh baya. Jadi bagi sang Raja tidak masalah bersikap ramah pada temannya itu.

"Saya pikir kita tidak sedekat itu. Hingga Anda bisa memanggil nama saya sesuka hati." Ilios menjawab kaku dengan serius membuat Raja terlihat kurang senang. Raja melambaikan tangan. "Kamu terlalu kaku. Membosankan. Oh ya, bagaimana kabar anak-anakmu? Terakhir kali aku melihat putrimu saat debutnya di pergaulan kelas atas dua tahun lalu." Pria berdarah kerajaan itu kembali melontarkan pertanyaan akrab.

"Mereka hidup dengan baik. Anda tidak perlu khawatir." Lagi-lagi, dengan formal Ilios menjawab. Pria berdarah dingin itu merasa tidak perlu berbasa-basi dalam urusan pekerjaan karena dirinya adalah orang yang sang profesional.

Tampak sebal sang Raja menghembuskan nafas panjang. "Ya, ya, ya. Kamu tidak berubah sama sekali. Selalu kaku dan lurus. Aku pikir kita teman akrab. Hay, kita bahkan sudah menjalin hubungan sedari dalam kandungan. Tapi sedikit pun kamu tidak berubah." Geleng-geleng kepala raja tertawa dengan ucapannya sendiri. Lantas melihat respons datar Ilios dia berdehem sebelum kembali serius.

"Baiklah, bagaimana dengan wilayah perbatasan Ilios? Aku dengar beberapa pemberontak mulai mengacau. Apalagi di bagian Utara. Apa kamu sudah menyelesaikan mereka?"

Ilios yang mendengar pertanyaan itu menegakkan tubuh dan menjawab. "Kami sudah memantau gerakan mereka semenjak tiga bulan yang lalu. Para pemberontak yang mulai bergejolak di wilayah utara sudah kami selesaikan. Namun masih ada beberapa pemberontak yang masih belum ditemukan. Mereka melarikan diri."

"Saat kami melakukan pengejaran. Kami menemukan di sebagian wilayah kerajaan ternyata para pemberontak tersebar dan mengusulkan propaganda sesat. Masyarakat yang sudah mulai terhasut. Membuat kelompok untuk menentang faksi kekaisaran dan bangsawan."

"Namun dengan cepat kami sudah menangkap para pemimpin kelompok dan menginterogasinya. Dari informasi yang didapat. Mereka melakukannya karena dibayar seseorang.

"Sekarang kami masih menyelidiki. Siapa yang bergerak di balik pemberontakan yang ada. Namun kami masih belum menemukan titik terang. Karena bawahan dari sang pemimpin langsung membunuh dirinya sendiri sebelum dapat kami interogasi. Itu saja untuk saat ini yang bisa saya sampaikan." Ilios mengakhiri laporannya.

Blitz mengangguk pelan, menegakkah tubuh. "Bagus, terus selidiki kasus ini. Jangan sampai mereka melakukan kerusakan yang lain," perintahnya.

Ilios mengangguk paham. Kasus ini cukup penting, jika terus berlangsung bisa meresahkan masyarakat luas. Setidaknya sebelum akhir tahun kasus ini harus berakhir sebelum pemberontakan menyebar luas.

"Oh ya, berhati-hatilah dengan wilayah selatan. Kamu punya rumah peristirahatan di sana bukan? Aku hanya ingin memperingatimu. Baru saja kemarin Marquiss Anaan mengatakan para bandit di sana mulai bertingkah. Karena itu untuk sementara lebih baik kamu tidak pergi ke sana," ujarnya menasihati.

Ilios terdiam sesaat seakan melupakan hal yang begitu penting sebelum menjawab. "Saya akan mengingat nasehat Baginda."

"Oh ya, ngomong-ngomong-"

Tok, tok, tok.

Suara pintu diketuk, memotong ucapan raja. Dengan mengizinkan siapa yang akan masuk. Pintu terbuka, menghadirkan prajurit Aencas berwajah pucat menggenggam gulungan kertas. "Yang Mulia! Archduke! Gawat! Rombongan Nona Scheinen yang menuju selatan diserang sekelompok bandit." Prajurit itu tampak berteriak panik.

"Apa maksudmu?" Wajah Ilios menjadi begitu dingin. Suaranya bahkan terdengar begitu rendah. Benar, sesuatu yang dia lupakan adalah putrinya yang dua hari lalu baru saja pergi menuju perbukitan selatan.

"Para prajurit penjaga wilayah selatan menemukan kereta kuda kosong dan tumpukan mayat di jalur jalan menuju rumah peristirahatan Keluarga Scheinen. Tidak ada yang selamat. Kecuali putri yang kini mengalami masa kritis. Putri sudah dibawa menuju kediaman untuk dirawat oleh-" ucapan prajurit itu terpotong. Secara cepat pedang sudah menebas kepala pria malang itu terpisah dari tubuhnya.

Aura membunuh menguar jelas dari tubuh Ilios. Bahkan tanpa mengucap salam pada Raja. Dia sudah berjalan cepat meninggalkan tempat mewah tersebut. Perasaannya bergejolak tidak karuan, emosinya membuncah dengan fakta bahwa putrinya hampir mati karena kelalaiannya sebagai seorang ayah.

Raja yang baru saja ditinggalkan tanpa salam oleh bawahannya menghembuskan nafas pelan, sembari memijat kepala. "Bereskan mayatnya. Jangan sampai kabar ini tersebar di antara bangsawan." Dia melirik dingin pada kesatria di sampingnya.

Suasana ruangan luas menjadi begitu gelap. Aura yang begitu dingin menyelimuti dirinya serta ruangan yang baru saja terjadi pembunuhan. Raja menghela napas panjang. "Ilios, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" ucapnya pada ruangan sepi dan sunyi.

.

.

.

Suara derap kaki kuda berlari begitu cepat. Pria surai perak dengan iris ungu itu memecut kuda begitu kencang. Wajah yang datar kini dipenuhi amarah yang memuncak. Ilios yang mendengar kabar tersebut seakan disambar petir di tengah siang bolong.

Padahal dia masih ingat. Tiga hari yang lalu dia bertemu putrinya dengan sikap acuh. Bahkan saat putri meminta izin untuk pergi ke rumah peristirahatan. Dia tidak begitu peduli, dan mengizinkannya begitu saja dengan tidak peduli. Untuk pertama kali di hidup Ilios. Setelah bertahun-tahun dia merasakan kembali yang namanya penyesalan.

Sesampainya di kediaman Scheinen dia berjalan terburu-buru tidak memedulikan peringatan ketua pelayan yang berseru. Bergegas dia menuju kamar sang putri. Secara menjengkelkan dia menemukan orang-orang yang berkumpul di luar kamar putrinya tersebut menjadikan tempat itu seperti tontonan.

"AAKKKHHH!"

Dari dalam kamar, terdengar suara putrinya yang berteriak histeris. Ilios yang mendengarnya tanpa banyak pikir segera masuk menyingkirkan orang-orang di hadapannya. Terlihat di depan matannya sang putri dengan tubuh penuh luka lebam. Bibir pecah dengan ekspresi ketakutan meringkuk di ujung kamar bergumam cepat.

Bahkan dokter yang yang ingin mendekatinya pun segera dia todongkan pecahan kaca untuk tidak mendekat. "MENYINGKIR! PERGI KALIAN SEMUA! PERGI!" seru gadis malang itu ketakutan. Para dokter yang hadir menenangkannya. Namun tidak ada yang berhasil. Ilios bahkan terdiam kaku tidak berekspresi.

"KELUAR! Atau aku akan menyakiti diriku sendiri!" Gadis itu kini mengarahkan pecahan tersebut ke pergelangan tangan. Mata gadis malang itu menyorot tajam. Tidak menghiraukan, peringatan. Salah satu dokter mendekat tanpa persetujuan membuat gadis itu langsung mengiris pergelangan tangannya tanpa ragu.

Sreet!

"Jangan mendekat bajing*n, hahaha... Atau kamu mau mati juga? Hahaha..," Gadis itu meracau dengan darah yang mulai menetes membasahi lantai tempat dia berdiri. Dengan kacau dia malah tertawa, terbahak-bahak. Bahkan dia lebih terlihat seperti kehilangan akal. Tubuhnya mulai lemas kehilangan banyak darah.

Hingga dari arah belakang. Seorang wanita mendekap mulutnya dengan obat penenang. Tubuh gadis itu langsung ambruk, membuat suasana semakin riuh. Para tenaga medis berhamburan segera bertindak cepat. Mengobati luka di tubuh sang nona. Tidak ragu-ragu mengusir siapa saja yang tidak membantu. Bahkan sang ayah dari pasien itu sendiri.

Ilios yang melihat semua itu terdiam membatu tanpa ekspresi. Pikirannya sudah kosong. hingga dia sudah tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan saat ini. Dia benar-benar ayah yang tidak berguna, bagaimana mungkin satu-satunya putri yang dia miliki terluka begitu parah dengan mental tidak stabil berteriak penuh ketakutan dan yang dia lakukan hanyalah menonton dan diam seperti batu.

Bagaimana mungkin, putrinya yang masih dia abaikan selama ini dan tumbuh menjadi wanita bangsawan sempurna berakhir seperti ini? Jika bukan karena sikap acuhnya pada sang putri dengan tidak mengizinkan putrinya pergi mungkin ini tidak akan terjadi. "Ayah!"

Ilios berbalik menuju arah suara. Di sana, putra tertuanya berdiri. "Saya telah memanggil Ayah sedari tadi. Saya ingin memberi tahu. Pemimpin bandit telah saya temukan beserta seluruh anak buahnya," lapor sang putra tanpa basa-basi.

Pikiran kosong tadi langsung lenyap. Digantikan amarah yang mulai bergejolak. "Antar aku menemuinya," bisik Ilios dingin. Putra tertua Scheinen, bernama Amaris tersebut mengangguk. Mengarahkan sang ayah pada pelaku kejahatan yang membuat tragedi ini terjadi.

Amaris mengarahkan sang ayah langsung menuju penjara bawah tanah kediaman Scheinen, tempat para pendosa dihukum atas kejahatannya. Di salah satu bangsal. Sebagai pemberhentian mereka. Terdapat pemimpin bandit tersenyum tanpa dosa. Matanya menatap tajam penuh gejolak amarah pada penjahat yang telah menyakiti putrinya.

Tanpa rasa takut dia menatap remeh pada keduanya. "Jadi ini dia seorang Ayah serta Kakak pria dari gadis manis itu?" Dia melirik dari atas sampai bawah. "Oh, tidak. Aku salah. Bukankah dia sudah tidak gadis lagi," tambahnya mengejek dengan senyuman keji.

Buk!

Prang!

Satu tinju mendarat tepat di wajah pemimpin bandit. Ilios menarik kerah pria bodoh tersebut hingga membentur jeruji besi. Sedangkan pedang panjangnya mengacung, tepat di dada pria tersebut. Emosinya semakin tidak terkendali mengetahui fakta yang membuatnya merasa kembali gagal seperti seorang ayah. "Katakan, apa yang kamu lakukan pada putriku, brengsek." Amarah Ilios sudah tidak bisa dikendalikan lagi, suara rendahnya berbisik dengan ancaman penuh tekanan.

"Hm, Entah. Tuan Archduke terhormat. Tanyakan saja itu pada enam pria yang tidak kalah brengseknya dibandingkan aku. Putrimu membuat kami puas sekaligus, layaknya pelacur," ucapnya dengan nada santai tanpa rasa bersalah.

Saat itu juga tanpa perhitungan pedang Ilios sudah menancap sepenuhnya pada tubuh pria jahat tersebut. Dia sudah tidak bisa mengendalikan amarahnya yang semakin terbakar. Dengan akal yang tidak lagi sebagai tolak ukur kemanusiaan. Dalam waktu kurang dari lima menit. Tujuh mayat dengan tubuh terpisah dari kepala sudah tergeletak dengan genangan darah.

Tidak ada yang pernah tahu. Seberapa besar kemarahan seorang Ayah. Pada seseorang yang menyakiti putrinya.

Bersambung...

19/06/2021

Edit: 28/02/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro