24 - Pengakuan Rasa
”Sean, aku boleh tanya?”
”Silakan, Kai.”
Sembari menunggu pertanyaan Kai, Sean membuka segel botol mineral yang ia beli tadi. Namun, pertanyaan Kai berikutnya membuat tangan Sean berhenti bergerak.
”Kenapa kamu baik sama aku selama ini?”
Sean memandang ke arah Kai dengan dahi yang mengerut. ”Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu, Kai?”
”Aku ngerasa sedikit aneh aja. Kita belum lama kenal, tapi kamu selalu baik sama aku. Kamu yang mau dengarin cerita aku tentang keluarga aku, kamu yang selalu ada untuk ngehibur aku waktu papa pergi. Bukannya aku nggak suka kamu baik, tapi rasanya ini semua terlalu tiba-tiba. Semua kebaikan itu bikin aku nggak bisa untuk nggak berpikir berlebihan,” jelas Kai panjang lebar.
Sean meneguk ludahnya. ”Memangnya, apa yang kamu pikirkan, Kai?”
Keduanya saling bertatapan. Cukup lama hingga Kai kembali bersuara.
”Kamu baik bukan karena kamu suka sama aku, kan?” tanya Kai. Sesaat kemudian, gadis itu tersadar dengan pertanyaan yang baru saja ia ajukan. Pertanyaan itu sungguh tidak pantas. ”Sean, maaf, kayaknya aku terlalu kepedean. Lagi pula, nggak ada yang salah dengan berbuat baik kepada sesama teman, kan?”
Menanggapi itu, Sean tersenyum kecil. ”Kai, gimana kalau aku bilang kalimat kamu yang tadi itu benar?”
”Ma-maksudnya? Kalimat yang mana?”
”Kamu benar. Nggak ada yang salah dengan berbuat baik kepada sesama teman.”
Kai menghela napas lega. Ternyata, kalimat yang dibenarkan oleh Sean ialah tentang pernyataannya satu itu. Sebab, jika Sean membenarkan dugaannya tentang perasaan Sean, Kai tidak tahu harus menanggapi seperti apa.
”Tapi, sikap baik aku sama kamu nggak cuma sekadar baik ke teman, Kai,” lanjut Sean.
Seketika, udara di sekitar terasa menipis. Hawa panas mengudara di antara keduanya yang kini terjebak dalam pembahasan ini.
”Dugaan kamu benar. Aku suka sama kamu, Kai.”
Napas Kai tercekat. Gadis itu ... benar-benar tidak berani menatap wajah Sean.
”Tapi, kamu salah kalau kamu bilang kita baru kenal. Mungkin, kamu baru kenal aku nggak lama, Kai. Sedangkan aku ... aku udah lama kenal sama kamu,” Sean menggantungkan kalimatnya, ”Kamu ingat waktu kamu olimpiade matematika tingkat provinsi di SMP Karunia?”
Kai mengangguk ragu.
”Itu kali pertama aku kenal sama kamu. Ralat. Itu kali pertama aku tahu nama Kaianna Victoria,” jawab Sean.
Hari itu merupakan perlombaan final olimpiade matematika tingkat provinsi yang diadakan di auditorium SMP Karunia. Dari puluhan sekolah yang telah lolos di tingkat kota, tersisa 3 sekolah unggulan yang akan bersaing untuk mendapatkan peringkat pertama. SMP Karunia, SMP Pertiwi, dan terakhir SMP Pelita yang merupakan sekolah Sean.
Tentu, itu adalah ajang yang menegangkan. Ketiga tim terdiri dari 3 peserta terbaik dari setiap sekolah. Maka dari itu, pihak olimpiade memberikan kesempatan bagi guru atau wali murid yang hendak menonton anak-anak hebat mereka di auditorium besar yang mampu menampung sekitar 700 peserta itu.
Sean adalah satu-satunya orang yang merasa dirinya tersesat ketika berada di dalam sana. Ia datang saat itu untuk memenuhi ajakan dari temannya yang merupakan perwakilan SMP Pelita. Tapi, yang ada di pikirannya adalah semoga ini semua cepat selesai.
Sean yang sebelumnya tidak tertarik melihat kepada para peserta, saat itu merasa kedua matanya seperti tersedot hanya untuk fokus memandangi peserta perempuan dari tim SMP Karunia. Gadis itu tidak hanya cepat dalam menjawab, melainkan juga tegas dalam memberikan jawaban yang tepat. Mata Sean tidak henti menaruh fokus bahkan hingga olimpiade selesai dan semua tim dipersilakan untuk mendapatkan piala serta medali.
Pintar dan cantik, begitu gumam Sean dalam hati.
Rasanya, itu kali pertama Sean merasa jatuh hati pada seorang gadis. Yang kemudian Sean kenali sebagai Kaianna Victoria.
”Yang nggak aku sangka adalah aku bisa berada di satu sekolah yang sama dengan kamu, Kai.”
Hati Sean seketika terasa lega karena berhasil mengungkapkan hal yang sudah lama ia pendam.
Sejak hari di mana ia mengetahui bahwa ia berada di sekolah yang sama dengan Kai saat SMA, Sean senang bukan main. Lelaki itu bahkan memikirkan bagaimana bahagia dirinya jika bisa berbincang dengan Kai.
Sayangnya, selama satu tahun bersekolah, Sean menganggap dirinya begitu cupu karena tidak berani untuk mendekati Kai.
Hingga akhirnya, Sean menemukan waktu yang pas untuk mengajak Kai berkenalan secara resmi pertama kalinya. Dan, tanpa Sean sadari, semesta terus membantunya untuk masuk ke dalam kehidupan Kai.
Yang mengejutkannya lagi ketika ia mengetahui bahwa bunda bersahabat baik dengan orang tua Kai. Entah takdir baik apa yang menghampiri Sean bertubi-tubi.
Berbanding terbalik dengan Sean yang tersenyum lega, Kai menundukkan kepala. Jauh di dalam pikiran gadis itu, ada ketakutan yang luar biasa ketika mengetahui bahwa Sean menyukainya.
Barangkali, perasaan nyaman di dekat Sean telah berhasil Kai rasakan. Tidak bisa dipungkiri, Sean adalah orang pertama yang mampu mendobrak hati Kai, merasakan beberapa hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya pada laki-laki mana pun. Seperti, rasa senang ketika bertemu, rasa aman dan nyaman ketika bercerita, serta perasaan lain yang sulit Kai deskripsikan dengan kata-kata.
Kai meremas ujung cardigan. Merasa sedikit sulit untuk mengeluarkan kalimat dari bibirnya.
"Kai?" Sean ikut menurunkan kepala untuk melihat Kai yang tengah tertunduk. "Kamu baik-baik aja?"
Kai segera mengangguk. "Iya, aku baik-baik aja."
Setelah berhasil menghilangkan keraguan dalam pikiran, Kai kemudian mengangkat kepala, memandang Sean yang sepertinya sedari tadi melihat ke arahnya.
"Sean, jujur aku nggak tahu aku mau bilang apa. Aku sangat berterima kasih karena kamu suka sama aku, tapi ... harusnya kamu jangan suka sama aku."
"Kenapa?"
"Aku ... aku takut gagal membalas perasaan kamu," ujar Kai dalam satu tarikan.
"Bukannya seorang Kaianna Victoria nggak pernah kenal kata gagal?"
Mendengar itu, Kai terdiam. Rasa bersalah seketika menyeruak memenuhi rongga hatinya.
Meskipun Kai tidak menyuarakan isi hatinya, Sean tetap bisa mengetahui. Sean tahu, gadis itu pasti tengah merasa bersalah karena jawabannya yang seakan-akan menolak Sean tadi. Maka dari itu, Sean kembali bersuara, enggan membiarkan Kai tenggelam dalam perasaan bersalahnya begitu lama.
"Kai, kamu nggak perlu khawatir. Aku cuma ngungkapin perasaan aku aja. Lagi pula, aku juga masih merasa belum ada di posisi yang pas untuk meminta lebih untuk hubungan kita. Jadi, kamu nggak perlu terlalu mikirin soal itu tadi," ujar Sean berusaha menghilangkan semua keraguan dalam hati Kai.
"Anggap aja, aku lagi akting ngungkapin perasaan aku ke kamu. Yang versi seriusnya kapan-kapan. Tapi, bukan berarti aku nggak serius. Oke?"
Mau tak mau, Kai menganggukkan kepala sebagai jawaban terhadap Sean.
"Ngomong-ngomong, ini udah malam. Mau pulang sekarang?"
Kai kembali mengangguk, membuat Sean gemas melihat gadis itu yang seketika membisu. Tanpa sadar, tangan Sean menepuk ringan kepala Kai, lantas berjalan terlebih dahulu.
Tepukan ringan di kepala yang berhasil membuat Kai membeku sesaat.
"Sean!"
Sean yang sudah berjalan beberapa langkah memutar balik tubuhnya ketika mendengar panggilan Kai.
"Aku janji, aku pasti bakal balas perasaan kamu suatu hari nanti."
Kalimat yang keluar dari lisan Kai berhasil menerbitkan senyum di wajah Sean.
Malam itu, di bawah terang rembulan, Kai bertekad akan menepati janji yang ia ucapkan pada Sean. Tentang perasaan yang akan berbalas, suatu hari nanti.
🌟
Author's Note:
Siapa yang ikuttt baperr pas Sean nyatain perasaannya? ☝🏻☝🏻
Gaisss, 1 bab lagiii selesai!
Izinkan aku tarik napas dulu, karena sebentar lagi cerita ini akan tamat.
Antara senang atau sedih sih. Senang karena ini akan menjadi cerita berikutnya yang tamat (setelah hiatus beberapa waktu). Sedihnya karena sebentar lagi akan pisah dengan Kai dan Sean, huhu.
Kalian tim mana? Happy ending atau sad ending btw?
Aku sih tim ... KABURR.
See you next chapterrrr!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro