23 - Mari Ciptakan Kenangan Baru
Ada yang bilang bahwa waktu adalah penyembuh luka paling ampuh. Kita tidak sedang dalam perlombaan untuk membuktikan siapa yang paling cepat sembuh dan pulih. Barangkali, Kai sudah membuktikan kebenaran tersebut.
Dulu ketika Mariam pergi meninggalkan dirinya, Kai berusaha menekan semua luka itu agar ia dapat sepenuhnya berdamai. Siapa sangka, bila usahanya malah membuat Kai semakin terjebak dalam rasa sakit akan kehilangan.
Sekarang, ketika Marcel juga ikut meninggalkannya, Kai memilih untuk menikmati semua rasa kehilangan yang ada. Hingga perlahan, Kai mampu untuk ikhlas dan berdamai dengan kepergian itu.
Hari ini, terhitung satu bulan sejak kepergian Marcel. Selama rentang waktu itu pula, Kai terus berusaha untuk melanjutkan hidupnya dengan baik.
Kai selalu teringat dengan perkataan Sean hari itu, bahwa mereka yang telah hidup damai di atas sana tidak pernah sekalipun benar-benar meninggalkan mereka yang ada di bumi.
Barangkali benar. Papa dan mamanya tidak pernah meninggalkan Kai. Mereka hanya tinggal di dunia yang berbeda, yang jauh lebih damai, sembari memperhatikan Kai dari atas sana. Maka, Kai tidak boleh membuat kedua orang tuanya khawatir. Kai harus tetap hidup dengan baik. Apa pun yang terjadi.
Satu minggu sejak kepergian Marcel, para pemegang saham telah melakukan rapat besar dan secara resmi menunjuk Kai sebagai pewaris dari Victoria Group seperti yang diamanahkan oleh Marcel semasa hidup. Namun, karena Kai masih duduk di bangku sekolah, segala urusan perusahaan akan diserahkan terlebih dahulu kepada Steven, selalu tangan kanan dari Marcel.
Meski begitu, Kai juga sesekali pergi ke perusahaan untuk mempelajari seluk-beluk perusahaan dari Steven atau pengawas perusahaan lain sebagai bentuk tanggung jawab kepada perusahaan.
Sean, Si Agen Cokelat
Kai, jangan lupa nanti malam, ya.
Jam 6 aku jemput.
Kai membalas pesan dari Sean dengan sebuah stiker lucu bertuliskan OK seraya tersenyum kecil.
Malam ini, Sean mengajak Kai untuk pergi ke pasar malam yang sudah buka dari seminggu lalu. Rencananya, mereka akan menghabiskan waktu untuk merilekskan otak dari minggu- hectic selepas penilaian akhir semester.
Sekarang, masih jam setengah lima sore. Masih ada waktu sekitar satu setengah jam untuk Kai mempersiapkan diri. Sebelum mandi, gadis itu mengeluarkan setumpuk pakaian, kemudian memilah pakaian yang cocok untuk dikenakan nanti ke pasar malam.
Butuh waktu sekitar sepuluh menit bagi Kai hingga menemukan pakaian yang pas. Sebuah kaus berwarna putih polos dipadukan dengan cargo skirt berwarna cokelat muda. Untuk luaran, Kai menambahkan cardigan rajut berwarna senada dengan bawahannya.
Tanpa sadar, tercetak senyum kecil di wajah Kai. Rasanya ia begitu antusias untuk malam ini.
🌟
Entah suatu kebetulan atau bukan, Sean mengenakan pakaian dengan warna yang senada dengan Kai. Hoodie berwarna cokelat muda dipadukan dengan celana chino berwarna putih gading. Orang-orang yang tidak mengetahui ketidaksengajaan ini tentunya akan mengira bahwa Kai dan Sean selayaknya pasangan muda lain yang suka menyamakan warna pakaian satu sama lain.
"Kayaknya kita berjodoh banget, ya, Kai. Nggak perlu janjian, tapi pakaian kita bisa samaan gini warnanya," ujar Sean berkelakar.
Perjalanan dari rumah Kai ke pasar malam terasa begitu singkat. Barangkali, karena sepanjang jalan, Kai dan Sean terus berbincang. Membicarakan semua hal yang bisa dijadikan topik. Seperti perasaan setelah menyelesaikan penilaian akhir semester, soal-soal sulit di ujian matematika, dan beragam hal lainnya.
"Udah lama rasanya aku nggak ke pasar malam," ujar Kai yang kini berdiri tegak di depan pintu masuk. "Dulu waktu mama masih ada, rasanya pasar malam jadi destinasi yang nggak akan pernah kami lewatkan. Setiap ada pasar malam, papa selalu ngajakin kami ke sana."
Sean yang mendengar itu memilih diam, membiarkan Kai terjebak dalam nostalgia masa lalunya yang barangkali hanya bisa dikenang sekarang.
"Sejak mama meninggal, semua berubah. Papa udah nggak pernah ngajakin ke pasar malam. Mungkin, karena aku dianggap udah bukan anak kecil lagi pada masa itu. Anehnya, sekarang aku malah ke sini lagi. Padahal, udah tua," ujar Kai diakhiri kekehan kecil.
Kai lantas memandang ke arah Sean dengan memasang senyum tipis. "Makasih karena udah ngajakin aku ke sini, ya. Aku jadi bisa ingat bersama kenangan papa dan mama di sini."
"Kita baru sampai, Kai. Kalau mau terima kasih, di akhir aja. Sekarang, aku akan bawa kamu untuk mereka ulang semua kenangan kamu di sini. Mungkin, semua ini nggak akan bisa menggantikan kenangan kamu dengan orang tua kamu, tapi mari kita ciptakan kenangan baru dengan tetap mengabadikan kenangan lama di dalamnya. Kamu mau?"
Kai dengan cepat mengangguk. "Iya, aku mau."
"So, let's go!"
Keduanya lantas berlari masuk seperti anak kecil yang baru bebas dari kurungan di rumah. Tujuan pertama mereka adalah bianglala. Setelah mengantre cukup lama, keduanya mendapat giliran.
"Dulu aku nggak pernah mau diajak naik bianglala sama papa," kata Kai setelah bianglala mulai berjalan.
"Kenapa gitu? Padahal, bianglala seru, loh," ucap Sean.
Kai mengedikkan bahu. "Nggak tahu, bawaannya serem aja."
"Kalau gitu, kenapa tadi kamu yang paling semangat naik bianglala?"
Jika dipikir-pikir, pertanyaan Sean barusan ada benarnya. Ketika Sean menunjuk ke arah bianglala, Kai dengan semangat berlari untuk mengantre.
"Mungkin, karena aku pengen menciptakan kenangan baru di sini," jawab Kai. "Jadi, aku bakal cobain semua permainan yang belum aku main di kenangan yang lalu."
Sean tertawa kecil mendengar kalimat Kai. Gadis itu benar-benar terlihat antusias. Baik dari intonasi bicara, maupun dari binar yang terpancar di kedua bola mata Kai.
Gerbang yang mereka duduki berputar perlahan hingga keduanya berada di puncak tertinggi. Dari ketinggian ini, Kai dapat melihat ke bawah dan mendapati warna-warni lampu di area pasar malam yang tampak begitu indah.
"Setelah naik bianglala, aku baru sadar. Kehidupan itu kayak bianglala, ya. Kadang kita terlalu senang berada di atas, tanpa kita sadar bahwa semua itu cuma sesaat. Karena, bianglala selalu berputar dan kita bisa aja di bawah."
Untuk malam ini, sepertinya Sean akan lebih banyak diam sambil mendengarkan Kai berbicara.
"Kamu mau tau, nggak? Ada banyak orang yang bilang sama aku, kalau hidup aku itu sempurna. Aku bisa hidup dengan kehidupan yang layak, aku bisa menangin banyak olimpiade, aku bisa menyerap ilmu dengan cepat, dan masih banyak lagi. Tapi, siapa sangka, yang orang bilang kesempurnaan itu yang justru secara perlahan merenggut sumber kebahagiaan yang aku punya."
Seandainya Kai bisa memilih. Barangkali, ia akan memilih hidup di keluarga biasa sehingga ia tidak perlu kehilangan Mariam karena upaya Marcel mempertahankan perusahaan. Barangkali, ia akan memilih hidup sebagai anak dengan kepintaran pas-pasan dan meninggalkan semua ambisi untuk olimpiade sehingga ia tidak perlu kehilangan semua kenangan yang seharusnya ia ciptakan bersama Marcel.
"Tapi, untuk saat ini, aku nggak akan menyesali kehidupan yang udah aku jalani. Karena, mungkin ini udah takdirnya semesta. Rasanya, sia-sia juga kalau aku mau menyesal. Karena, semuanya udah terjadi. Menyesal pun udah nggak bisa mengembalikan papa dan mama ke kehidupan aku. Iya, kan?"
Sean yang diajak berbicara hanya membalas dengan sebuah anggukan dan senyuman. Lidahnya begitu kelu untuk sekadar membalas kata-kata Kai.
Setelahnya, Kai tidak lagi bersuara hingga waktu mereka di bianglala selesai.
"Gimana pengalaman naik bianglalanya, Kai?" tanya Sean setelah mereka turun dari bianglala.
"Seru banget. Kalau tahu gini, aku bakal naik bianglala dari dulu," balas Kai.
"Kalau kamu mau, aku janji bakal sering ajakin kamu ke pasar malam nanti, supaya kamu bisa puas main bianglalanya," ucap Sean.
"Oke. Aku pegang janji kamu. Sekarang, ayo kita naik itu." Kai menunjuk ke arah komedi putar.
"Ayo!"
Seperti rencana Kai, keduanya benar-benar mencoba semua jenis permainan yang belum pernah Kai coba. Hingga pada permainan terakhir, wajah Kai terlihat lelah.
"Kamu tunggu dulu di sini. Jangan ke mana-mana, ya," ujar Sean lalu meninggalkan Kai.
Sambil menunggu Sean, Kai memilih duduk di sebuah kursi panjang dekat trampolin. Tidak lama kemudian, Sean kembali dengan dua buah botol air mineral di tangan.
"Ini minum dulu. Kamu pasti haus."
"Makasih."
Kai menerima botol dari tangan Sean, kemudian meneguk air hingga tersisa sepertiga. Kai menggenggam botol mineral itu dengan pikiran yang sedang bertanya-tanya. Lantas, pada malam itu, Kai memilih menyuarakan pertanyaan yang sejatinya sudah lama bersarang di pikiran.
"Sean, aku boleh tanya?"
"Kenapa kamu baik sama aku selama ini?"
"Kamu baik bukan karena kamu suka sama aku, kan?"
🌟
Author's Note:
2 chapters left.
Hola, Guys. Bagaimana dengan bab ini?
Ini adalah bab ketiga terakhir yang ada di cerita ini. Yaps, benar sekali, total bab Flawed Perfection adalah 25 bab. Jadi, sisa 2 bab lagi nih untuk bertemu dengan ending.
Nantikan bab berikutnya ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro