22 - Rumah yang Kehilangan Definisinya
Kelahiran dan kematian. Dua hal yang berada di luar kontrol manusia. Kedua peristiwa itu saling bertolak belakang. Jika kelahiran menjadi awal dari kehidupan bagi seseorang, maka kematian mengakhiri kehidupan itu.
Selain rumah sakit, suasana pemakaman merupakan tempat yang Kai benci. Sebab, di tempat ini, ia pertama kali melihat bagaimana tanah menimbun habis peti berwarna cokelat jati yang menyimpan mamanya di dalam sana.
Kai bahkan masih ingat, bagaimana hancurnya ia pada saat itu. Terlebih, Mariam memilih mengakhiri hidupnya sendiri, tanpa persetujuan dari semesta.
Luka-luka di hati Kai belum sepenuhnya mengering, meski Kai sudah berusaha untuk berdamai dengan kepergian Mariam.
Dan, sekarang, Kai harus kembali mereka ulang suasana hari itu. Bersama sekumpulan orang berpakaian gelap berkerumun di atas tanah pemakaman, menyaksikan peti milik Marcel perlahan diletakkan di lahan kosong di sebelah makam Mariam.
Sejak detik di mana dokter mengumumkan waktu kematian Marcel, sejak itu pula air mata Kai tidak berhenti mengalir. Kulit di bagian bawah matanya bahkan mulai membengkak.
Rasanya, dunia Kai benar-benar hancur. Tidak puas semesta mengambil pergi mamanya. Kini, semesta juga harus mengambil pergi satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Bahkan jahatnya lagi, Kai belum sempat menikmati hari-hari bersama Marcel setelah keduanya berdamai dengan keadaan. Seolah Kai tidak diberikan kesempatan untuk menebus semua rasa rindu yang ada di hati.
Dada Kai terasa sesak ketika orang-orang di sana mulai membacakan doa agar yang baru saja meninggalkan dunia bisa pergi dengan tenang.
Kai tidak pernah menyangka bila ini semua akan terjadi dalam sekejap mata. Kai yang baru saja berdamai dengan Marcel, Kai yang mengetahui riwayat penyakit Marcel, Kai yang mendapatkan berita bahwa Marcel kecelakaan, hingga Kai yang harus berdiri di sini. Semua berlalu begitu cepat. Tanpa memberikan sedikit ruang bagi Kai untuk mencerna semua ini.
Acara pemakaman sudah berakhir satu jam yang lalu. Namun, air mata yang membasahi pelupuk mata Kai masih belum mengering.
Saat ini, Kai sudah berada di rumah. Entahlah apakah ini masih bisa disebut sebagai rumah atau tidak. Sebab, ketika Marcel menyusul Mariam, rasanya rumah ini kehilangan definisinya.
Barangkali, Kai hanya bisa menyebutnya sebagai tempat untuk berteduh. Karena, kata 'rumah' terlalu dingin untuk disematkan pada bangunan ini.
"Kai, ini Tante beliin bubur ayam. Kamu belum makan, kan? Sini, makan dulu."
Kai melirik sejenak pada Utari, satu-satunya adik dari mendiang papanya.
"Kai nggak lapar, Tan."
Utari mengerti. Keponakannya itu masih terbawa dalam rasa sedih. Maka dari itu, Utari memilih tidak memaksa Kai untuk makan. "Buburnya Tante taruh ke meja dulu. Kalau kamu mau makan, nanti bilang sama Tante, ya. Biar Tante panaskan ulang."
Melihat Kai yang begitu kacau, rasanya wanita yang usianya 3 tahun lebih muda dari Marcel itu tidak sanggup. Walau bagaimanapun, Utari sudah menganggap Kai sebagai anaknya sendiri. Dulu saat Mariam baru saja meninggal, Utari yang ikut menemani Kai di rumah. Hingga saat Utari hamil anak pertamanya, Utari tidak lagi di sana. Terlebih, Utari harus ikut ke luar kota bersama suaminya berpindah tempat kerja.
Utari meninggalkan Kai di kamar, kemudian berjalan keluar menemui suami dan kerabat lain yang ada di ruang tamu. Namun, pandangan Utari terhenti pada seorang anak laki-laki yang tadi datang bersama wali kelas serta beberapa teman Kai yang lainnya. Ia duduk di teras rumah sendirian. Utari menghampiri anak tersebut.
"Kamu temannya, Kai?"
"Iya, Tan. Saya Sean. Temannya Kai."
Utari mengangguk kecil, lantas tersenyum. "Saya Utari, tantenya Kai. Kamu tadi datang sama teman-teman yang lain, kan? Kenapa belum pulang?" tanya Utari tanpa ada maksud untuk mengusir.
Ia hanya penasaran, kenapa di antara teman-teman Kai yang lain langsung pulang, hanya Sean yang memilih untuk ikut ke rumah. Apa mungkin ada hubungan yang spesial antara Kai dengan Sean?
"Saya cuma mau mastiin keadaan Kai aja, Tan. Setelah itu, saya pulang."
Jawaban Sean membuat Utari semakin yakin bahwa keduanya memiliki kedekatan yang lebih. Akan tetapi, saat ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan perihal itu.
"Kai ada di dalam kamar. Kamu bisa masuk kalau mau ketemu," ujar Utari.
Atas perizinan Utari, kini Sean berada di depan kamar Kai yang terbuka. Dari sini, Sean dapat melihat Kai yang terduduk di tepi ranjang tidurnya sambil melipat kedua lutut untuk tertekuk.
Penampilan Kai jelas menunjukkan bahwa gadis itu tidak baik-baik saja. Mata gadis itu terlihat semakin membengkak dengan sisa-sisa air mata yang masih belum kering. Rambut yang biasanya dicepol naik kini terurai dengan berantakan.
Rasanya, hati Sean mencelos. Senyuman yang biasanya terukur di wajah Kai, kini sama sekali tidak menyisakan sedikitpun pancaran kebahagiaan. Sebaliknya, hanya pancaran kesedihan yang tersisa.
🌟
Setelah dua hari meliburkan diri dari sekolah, Kai memutuskan untuk kembali masuk agar tidak ketinggalan banyak pelajaran.
Sebetulnya, Utari sudah menyiapkan surat izin kepada guru di sekolah agar bisa memberikan Kai waktu lebih lama untuk menenangkan diri. Namun, Kai yang memaksa ingin pergi ke sekolah. Sementara itu, Utari tidak bisa menentang keputusan Kai. Dirinya juga sudah harus kembali ke rumah kemarin sore, karena tidak bisa meninggalkan putra mereka terlalu lama.
Sementara itu, beberapa kerabat lain sempat menawarkan Kai untuk tinggal di rumah mereka. Namun, Kai menolak. Memilih untuk tetap tinggal di rumah bersama bi Tuti.
Ucapan belasungkawa dari teman-teman sekelas memenuhi Kai ketika gadis itu baru saja masuk. Mereka turut berdukacita atas kehilangan yang baru saja dialami oleh Kai. Sebagian dari mereka juga meminta maaf karena tidak bisa menghadiri prosesi pemakaman Marcel, termasuk Sana yang sedang sakit di hari bersamaan.
Lingkaran yang tercipta akibat mengelilingi Kai tersebut baru bubar ketika guru yang mengajar masuk ke dalam kelas.
Sepanjang kelas, Kai terlihat tidak fokus. Saat teman-temannya sibuk mendengarkan arahan dari guru, Kai hanya mencoret-coret halaman paling terakhir bukunya dengan pulpen. Bahkan, Sana harus menyenggol lengan Kai untuk menyadarkan Kai bahwa namanya tengah dipanggil oleh guru di depan.
"Kai, kalau kamu merasa masih kurang bisa fokus, sebaiknya kamu ke UKS saja untuk istirahat, ya. Hari ini, Ibu tidak banyak menjelaskan, hanya meminta mengerjakan beberapa soal di buku. Kamu bisa menyusul untuk mengumpulkan tugasnya."
Bukannya mengikuti sesuai dengan yang disarankan untuk beristirahat ke UKS, Kai malah memilih pergi ke rooftop.
Sean yang kebetulan sedang bebas di lapangan karena guru olahraga kelas mereka tiba-tiba menghilang setelah dipanggil kepala sekolah, memilih untuk mengikuti Kai sampai ke rooftop. Sean berjalan perlahan mendekati Kai, memastikan apakah gadis itu tengah menangis atau tidak. Namun, alih-alih menangis, Kai terlihat begitu tenang dengan kepala yang mendongak ke atas melihat langit. Sepertinya, Kai sudah lebih baik.
Karenanya, Sean sedikit lebih tenang. Lelaki itu berangsur mundur. Namun, baru bergerak satu langkah ke belakang, suara Kai terdengar menyapa indra pendengarannya.
"Kayaknya mulai hari ini, rooftop akan jadi tempat favorit. Karena, di sini aku bisa lebih dekat dengan langit. Itu artinya juga aku bisa lebih dekat sama mama dan papa."
Kai kembali bersuara. Kali ini, dengan mengajukan suatu pertanyaan. "Menurut kamu, apa mama udah maafin papa di sana?"
Sean tidak yakin Kai tengah berbicara dengannya, tetapi mengingat lelaki itu adalah satu-satunya orang yang berada di sana bersama Kai, maka sudah dapat dipastikan Kai sedang berbicara dengannya.
Tanpa ragu, Sean kemudian duduk di samping Kai. "Kamu tenang aja, Kai. Tante Mariam pasti udah maafin om Marcel. Mungkin sekarang, mereka juga lagi berdua di atas sana."
Kai tertawa kecil. "Tapi, mereka jahat. Kenapa berdua aja perginya? Kenapa nggak ngajak-ngajak aku juga? Padahal, papa sama mama tahu, kalau mereka pergi, aku sendirian di rumah," ujar Kai kemudian menatap Sean.
Sean segera meralat kalimatnya yang mengatakan bahwa Kai sudah jauh lebih baik. Sebab, kedua bola mata milik gadis itu masih menyiratkan kekosongan.
Tawa yang tadi Sean dengar pun seketika berubah menjadi tawa yang menyedihkan.
Kai ...
masih tidak baik-baik saja.
🌟
Author's Note:
Kehilangan orang yang tersayang, terlebih orang tua tentu menjadi luka yang teramat dalam. Ada kesedihan yang barangkali tidak bisa diutarakan oleh hati.
Mungkin, begitupula yang dirasakan oleh Kai.
Kai, semoga bisa lekas pulih dari rasa kehilangan itu, ya.
Btw, ini sudah memasuki bab-bab terakhir. Semoga masih pada betah untuk menunggu cerita ini, ya. Terima kasih untuk yang sudah membaca. Love you gais!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro