Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 - Seindah Nama yang Disematkan

Seperti janji Kai waktu itu, setelah ia menyelesaikan beberapa hal dalam hidupnya, Kai akan menemui Sean untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Maka, di sinilah keduanya berada, di rooftop sekolah, tempat pertama kali mereka bertemu. Pagi ini, mereka memang sengaja datang lebih awal supaya memiliki lebih banyak waktu untuk bercerita.

”Sejujurnya, aku bingung mau cerita dari mana,” ujar Kai terkekeh kecil. Rasanya, semua yang terjadi dalam hidupnya beberapa waktu terakhir ini begitu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah mempertimbangkan beberapa hal, seperti bunda Sean yang merupakan teman dari Marcel dan Mariam, Kai memilih menceritakan semuanya kepada Sean. Semua. Tidak ada yang terlepas satu pun. Sebab, kalau kedua orang tuanya bisa berteman baik dengan Kasih, bukannya Kai juga harus bisa berteman dengan anak dari sahabat orang tuanya itu?

”Jadi, bunda dulu berteman baik sama papa dan mama kamu? Ternyata, dunia memang sesempit itu, ya.” Sean berujar. ”Tapi, kenapa rasanya aku nggak pernah kenal sama kamu sebelumnya, ya?”

”Mungkin, karena waktu itu kita masih nggak nyadar aja. Lagi pula, kita juga masih SD waktu itu. Sejak mama meninggal, tante Kasih cerita juga udah jarang ke rumah. Paling hanya komunikasi lewat telepon aja sama papa.”

Sean mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban dari Kai. Lelaki itu kemudian menatap Kai cukup lama, membuat Kai merasa salah tingkah.

”Kamu kenapa lihatin aku kayak gitu?”

”Aku cuma kagum sama kamu, Kai.”

Gawat, kenapa wajah Kai terasa memanas ketika mendengar kalimat Sean barusan?

Segera, Sean kembali melanjutkan kalimatnya. ”Aku kagum karena kamu mampu menaklukkan situasi sulit selama beberapa tahun ini. Tentu, itu bukan hal yang mudah untuk kamu. Harus hidup dalam perasaan penuh amarah sama papa kamu, belum lagi dihadapkan sama hal-hal lain yang mungkin itu nggak mudah. Yang ngebuat aku lebih kagum lagi sama kamu adalah karena akhirnya kamu bisa berdamai dengan semua itu. Kalau aku ada di posisi kamu, mungkin aku nggak bisa dengan mudahnya memaafkan semua situasi yang udah terjadi.”

”Sejujurnya, aku juga ngerasa cukup berat. Tapi, terus-menerus menyalahkan keadaan juga nggak baik, kan? Mungkin, secara nggak langsung memang kejadian dan kesalahpahaman itu membuat aku harus kehilangan mama. Kalau aja, papa nggak menerima tawaran kerjasama itu, mungkin mama masih ada sampai sekarang. Tapi, kembali lagi, aku nggak punya alasan kenapa aku harus tetap marah sama papa, ketika aku tahu bahwa alasan papa menerima tawaran itu ialah untuk aku dan mama.”

”Itu alasan kenapa aku bilang aku kagum sama kamu, Kai. Karena, kamu punya hati yang lapang untuk memaafkan keadaan yang sudah terjadi, yang mungkin nggak semua orang punya itu, Kai.”

Kai tersenyum tipis mendengar ucapan Sean. Gadis itu lantas mendongakkan kepala ke atas, memandang hamparan langit yang begitu luas. ”Sekarang, aku cuma berharap mama dengar percakapan antara aku dan papa waktu itu, supaya mama juga tahu kebenarannya. Bahwa papa nggak pernah berniat untuk menyakiti mama. Meski itu nggak bisa buat mama kembali, setidaknya mama bisa tenang di atas sana.”

”Kai, kamu mau tahu satu hal?”

Kai lantas memindahkan fokus kepada Sean yang berada di sampingnya. Lelaki itu juga ternyata tengah menatap langit sama seperti Kai. ”Apa itu?”

”Aku selalu percaya, mereka yang udah damai di atas sana nggak pernah sekalipun benar-benar ninggalin kita, Kai. Diam-diam mereka selalu merhatiin kita. Sama seperti mama kamu yang selalu merhatiin anak perempuannya.”

”Kamu benar, Sean. Mama nggak pernah benar-benar ninggalin aku. Buktinya, aku nggak pernah ngerasa kesepian. Aku selalu ngerasa mama masih hidup dan selalu ada di samping aku, seperti saat mama lagi ngebacain dongeng sebelum tidur untuk aku.”

Pikiran Kai berkelana jauh ke malam di mana Mariam masih ada. Saat kecil dulu, Kai selalu merengek pada Mariam untuk dibacakan dongeng setiap malam. Dongeng favorit Kai adalah dongeng si kancil. Biasanya, belum selesai dongeng dibacakan, Kai sudah terlelap dalam alam mimpi.

Kai baru berhenti didongengkan ketika duduk di bangku kelas 4. Hal itu karena Kai merasa malu dengan teman-temannya yang terbiasa tidur sendirian ditinggal orang tuanya bekerja ke luar kota.

Kalau dipikir-pikir, masa itu sudah begitu lama berlalu. Namun, Kai masih sangat ingat suara Mariam saat membacakan dongeng untuknya. Ingatan jangka panjang yang barangkali membuat Kai bisa terlelap dengan mudah pada hari-hari yang mendatang.

🌟

Jam pelajaran hari ini berakhir lebih cepat dari biasanya. Guru-guru akan mengadakan rapat untuk persiapan penilaian sumatif akhir tahun ajaran semester ganjil yang akan dilaksanakan sekitar satu bulan kedepan.

Teman-teman Kai, termasuk Sana sudah pulang sedari tadi. Sementara itu, Kai masih tinggal di ruang guru setelah dimintai tolong oleh wali kelasnya merekap daftar hadir masuk 11 IPA 1.

Setelah berkutat cukup lama dengan buku presensi, akhirnya Kai selesai. Awalnya, Kai ingin langsung pulang. Namun, melihat hari yang masih awal untuk mengakhiri proses pembelajaran, Kai memilih untuk membaca buku di perpustakaan. Lagi pula, meski jam pelajaran sudah berakhir, perpustakaan akan tetap buka sesuai jam biasanya.

Keadaan di perpustakaan cukup sepi. Hanya ada beberapa siswa yang masih tinggal di sana, barangkali tengah mencari bahan untuk mengerjakan tugas atau sekadar untuk membaca.

Kai meletakkan tasnya di salah satu meja yang masih kosong, lalu berjalan menyusuri rak khusus buku sains dan mencari salah satu buku yang diincar di sana. Sayangnya, buku tersebut terlalu tinggi hingga Kai kesulitan untuk menggapainya.

Di saat Kai tengah berusaha berjinjit untuk meraih buku, sebuah suara terdengar menyapa indra pendengarannya.

”Perlu bantuan?”

Kai menoleh ke sebelah dan mendapati Sean yang berada di sampingnya.

”Sean?”

Tanpa perlu berjinjit seperti Kai, Sean dengan mudahnya mengambil buku dengan ketebalan dua kali lipat dari buku paket matematika dari atas sana. ”Ini kan yang mau kamu ambil?”

”Iya, makasih, ya.” Kai menerima buku tersebut dan mendekapnya dalam peluk.

”Kamu juga di perpus?” tanya Kai.

”Iya, mau nyari buku buat tugas rangkuman Sejarah.”

Kai mengernyit. ”Sejarah? Bukannya rak buku Sejarah ada di pojok sana, ya?”

”Loh, berarti aku nyesat. Maklum Kai, aku jarang ke perpustakaan soalnya,” ujar Sean diakhiri tawa kecil.

Kai lalu menemani Sean untuk mencari buku Sejarah yang dimaksud. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena Sean sudah mengambilkan buku untuknya. Setelah mendapatkan buku yang Sean mau, keduanya lalu duduk berseberangan di meja yang sama.

”Kamu juga ada tugas, Kai?”

Kai menggelengkan kepala. ”Nggak, cuma mau baca-baca aja.”

”Nggak heran sih, Kai, kamu selalu ikut dalam perwakilan olimpiade. Di saat murid-murid pada senang sekolah balik awal yang artinya terbebas dari jam pelajaran terakhir, kamu malah di sini buat baca buku,” ujar Sean yang bertepuk tangan tanpa suara.

”Biasa aja kali, Sean. Lagian, bukan cuma aku, masih ada beberapa murid lain yang juga ke perpus. Artinya, itu hal yang wajar-wajar aja,” balas Kai.

”Iya, deh.”

Sean manggut-manggut kemudian mulai membuka buku tebal Sejarah Indonesia. Saat hendak mengeluarkan buku tulis dari dalam tas, fokus Sean seketika buyar ketika melihat wajah serius Kai ketika membaca. Tanpa sadar, lelaki itu tersenyum penuh kagum.

Ciptaan Tuhan yang satu ini benar-benar indah. Seketika, Sean merasa cukup beruntung karena bisa melihat keindahan ciptaan Tuhan tanpa perlu berkelana jauh.

Semua keindahan itu bisa ia dapatkan hanya dalam diri seseorang. Kaianna Victoria. Kai indah. Seindah nama yang disematkan.

”Kenapa, Sean?”

Pertanyaan Kai seketika membuat Sean tersadar dari lamunannya.

”Eh, ada apa, Kai?”

”Kamu yang ada apa? Kamu ngelihatin aku sambil sebut nama lengkap aku. Ada apa, Sean?”

Sean seketika merasa linglung. Otaknya bekerja ekstra untuk mencari topik pembahasan agar Kai tidak berpikiran ke mana-mana.

”Oh, iya, aku baru sadar aja. Nama belakang kamu Victoria. Berasal dari kata victory, yang berarti kemenangan. Iya, kan? Pantas aja, kemenangan selalu berpihak sama kamu.”

”Aku pikir, kamu ngapain lihatin aku sampai kayak gitu. Ternyata, lagi mikirin nama belakang aku,” ucap Kai. ”Bagi aku, nama Victoria itu bermakna luas. Victoria itu nama perusahaan papa. ’Victor’ diambil dari nama belakang papa, dan ’Ia’ diambil dari nama panggilan papa ke mama, ’Iam’. Kemudian, papa sama mama ngasi aku nama belakang yang sama dengan nama perusahaan. Tapi, ya juga bisa diambil dari kata victory.”

Sean mengangguk antusias. ”Orang tua kamu pasti nggak pernah nyesal udah namain kamu dengan nama sebagus itu.”

”Kalau kamu, gimana? Sean Arka Galileo? Galileo itu diambil dari nama Galileo Galilei?” tanya Kai balik.

”Iya, biasalah. Papa berharap anak-anaknya jadi ahli Fisika kayak Galileo. Tapi sayang, anak pertamanya malah melenceng ke sosial. Jadinya mah bukan Galileo, tapi Auguste Comte biar mengikuti jejak si founding father-nya Sosiologi,” ujar Sean berkelakar.

Dan, pembicaraan mereka terus berlanjut. Seolah, buku-buku yang ada di hadapan mereka menjadi tidak ada artinya lagi.

🌟

Author's Note:

Disuruh baca buku di perpus, malah bahas asal-usul nama. Ada-ada aja Sean dan Kai.

Berbicara perihal nama, apa arti dari nama kalian?

Di bab ini, harapannya kita semua disadarkan bahwa nama sesederhana apa pun yang disematkan orang tua kepada kita mempunyai maknanya tersendiri. Tentunya, juga diselipkan doa baik untuk anak-anaknya.

Buat yang belum tahu arti dari namanya, buruan cari tahu! Hihi.

See you next chapter!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro