Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - Ucapan Selamat untuk Kemenangan

Sepulang dari pemakaman Mariam, Sean kembali membawa Kai pulang ke rumahnya. Gadis itu masih tidak ingin pulang ke rumah. Rasanya, pertemuan Kai dengan Anisa tadi di acara ulang tahun perusahaan kembali membangkitkan rasa sesak yang sudah lama hilang terpendam.

Awalnya Kai berencana menginap di rumah Sana, sebab tidak enak jika harus kembali merepotkan keluarga Sean. Akan tetapi, Sean terus membujuknya untuk tetap tinggal di rumah lelaki itu, dengan membawa-bawa nama Sella ke hadapan Kai. Memang benar, adik perempuan satu-satunya dari Sean itu tadi pagi terus meminta Kai untuk kembali menginap satu hari lagi di rumah mereka.

Maka, malam itu—setelah kembali sebentar ke rumah untuk mengambil beberapa keperluan untuk besok—, Kai kembali beristirahat di kediaman Sean. Sama seperti malam sebelumnya saat Kai tidak bisa tidur, hari ini juga begitu.

Meski rasa lelah menguasai tubuhnya, tetapi matanya enggan untuk terpejam. Beruntung, Sean juga masih terjaga sehingga Kai memiliki teman untuk bicara lagi malam ini.

"Kayaknya aku belum ngucapin selamat sama kamu, ya, tadi. Selamat untuk kemenangan kamu hari ini."

"Bukan kemenangan aku, tapi kemenangan tim sekolah. Karena kali ini aku bertandingnya dengan tim."

Sean terkekeh kecil. "Mau sendiri, mau berdua, bertiga, kamu selalu keren, Kai. Meskipun aku nggak ikut hadir di sana, tapi aku yakin, kamu pasti keren banget."

Harusnya, ucapan selamat itu sudah biasa Kai dengar dari teman-temannya. Tapi, entah kenapa, rasanya ucapan yang ia dengar malam ini dari Sean terasa begitu tulus.

"Terima kasih sebanyak-banyaknya, Sean. Aku nggak tahu, gimana jadinya aku kalau nggak ada kamu yang bantuin aku."

🌟

"Kai, congrats lagi, ya. Gila, kayaknya aku udah sering banget ngucapin selamat ke aku. Tapi, serius, kamu benar-benar keren."

Belum sempat Kai menarik napas ketika tiba di kelas, Sana sudah terlebih dahulu menodongnya dengan ucapan selamat. Sepertinya, temannya satu ini memang benar-benar begitu antusias dengan kata selamat.

"Tapi Kai, aku dengar-dengar kemarin begitu olim selesai kamu langsung dijemput pulang?  Gak biasa-biasanya kamu kayak gitu, Kai. Ada apa?"

"Kemarin ada acara keluarga, Sana. Jadi, papa suruh orang buat jemput aku," bohong Kai.

"Oh gitu, pantasan aja kamu dijemput tiba-tiba gitu," Sana ber oh ria, kemudian mengeluarkan buku catatan yang disampul rapi dengan kertas manila berwarna biru muda, lantas memberikannya kepada Kai.

"Kemarin waktu kamu nggak masuk, pak Sugi ngasi banyak banget catatan, Kai. Ini udah aku catat dengan rapi, supaya bisa kamu salin ulang ke catatan kamu. Oh iya, satu lagi, hari Kamis depan, kemungkinan bakal ada kuis Fisika. Cukup pelajari bab 2 dan soal-soal latihan aja."

Kai menatap Sana cukup lama, memikirkan apakah dirinya sudah berlaku jahat kepada Sana. Jika dipikir-pikir, Sana begitu baik dan tulus kepada Kai. Bahkan, ketika Kai tidak masuk sekolah karena satu dan lain hal, Sana selalu meminjamkan catatannya keesokan hari kepada Kai. Seolah gadis itu tahu bahwa sejujurnya Kai tidak pernah rela ketinggalan pelajaran satu hari pun, kecuali karena olimpiade.

Sedangkan Kai, ia selalu membohongi Sana ketika Sana bertanya tentang keadaannya. Kai tidak pernah sekalipun bercerita kepada Sana mengenai masalah yang ia hadapi.

Terkadang, rasanya Kai ingin bercerita. Namun, lagi-lagi Kai memilih bungkam. Sebab, bagi Kai, masih tidak ada orang yang bisa ia percayai. Bahkan, ungkapan musuh dalam selimut pun bisa jadi benar adanya.

Terkecuali, Sean seorang. Laki-laki itu seolah menghipnotis Kai untuk percaya begitu saja, padahal Kai baru mengenal Sean. Anehnya, tidak ada sedikit pun keraguan yang disimpan Kai untuk Sean.

"Kai? Kok bengong?" Sana melambai-lambaikan tangan ke hadapan Kai, membuat gadis itu segera tersadar dari lamunannya.

"Eh, nggak pa-pa, Sana. Makasih banyak, ya buat catatannya. Nanti aku kembalikan secepatnya."

"Siap, Kai. Tapi, ingat, di dunia ini nggak ada yang gratis, loh. Minimal traktir seblak gak sih?" ujar Sana yang sebetulnya tidak betul-betul meminta bayaran akan kebaikannya.

Meski begitu, Kai tetap mengiyakan permintaan tersebut.

"Oke, catatan Sejarah ditukar dengan semangkuk seblak. Deal?"

"DEAL!"

🌟

"Kai, kamu tahu gak? Setiap kali aku jalan berdua sama kamu, aku berasa lagi jalan sama artis tahu. Diperhatiin terus. Banyak orang bilang aku beruntung sih bisa berteman baik sama kamu. Aku juga ngerasa gitu. Terus, kamu ingat gak? Pas awal-awal MOS dulu, banyak yang ngasi kamu cokelat di laci meja. Alhasil kamu risih dan nggak ada yang berani lagi ngelakuin itu."

Sepanjang berjalan, Sana terus berceloteh mengenai Kai. Sementara yang dibahas hanya tertawa kecil menanggapi kalimat-kalimat Sana yang cenderung melebihkan dirinya. 

Keduany baru keluar dari kelas setelah melaksanakan jadwal piket mingguan mereka. Rencananya, mereka akan mampir ke warung seblak yang berada tak jauh dari sekolah. Sesuai kesepakatan, Kai yang akan mentraktir Sana.

Akan tetapi, saat akan tiba di gerbang sekolah, Marcel berada di depan sana dengan setelan jas formalnya.

"Kai, itu papa kamu bukan, sih?"

Melihat keberadaan Marcel, Kai seketika merasa suasana hati yang tadinya baik, kini merosot turun. Daripada menimbulkan pertanyaan di benak Sana, Kai berhenti melangkah, lalu membatalkan janji dengan Sana.

"Aku lupa, hari ini papa mau ajakin aku makan siang bareng. Jadi, seblaknya kita tunda dulu nggak pa-pa, kan, San?"

"Ih, nggak pa-pa, Kai. Ingat, papa kamu itu nomor satu. Lagian, papa kamu pasti sibuk, jadi jarang-jarang kalian bisa makan siang bareng. Kamu nikmati aja waktu sama papa kamu."

Kai tersenyum menanggapi kalimat Sana. "Kalau gitu, kamu hati-hati pulangnya, ya."

"Iya, Kai. Aku duluan. Dadah."

Setelah Sana pergi, Kai melangkah menuju Marcel yang sepertinya sedari tadi sudah menyadari keberadaan Kai.

"Kai-"

"Kenapa Papa ke sekolah aku?"

"Kai, kita bicarakan di dalam mobil, ya. Di sini mataharinya terik."

Kai menarik napas panjang, memilih mengikuti permintaan Marcel. Yang perlu dilakukan sekarang hanyalah mendengarkan apa yang dicari Marcel hingga ke sekolah dan keluar dari mobil. Lagi pula, Kai memang berencana untuk pulang ke rumah hari ini, sehingga Marcel tidak perlu repot-repot untuk membujuknya pulang.

Di dalam mobil, Kai merasa begitu canggung. Barangkali, begitu pula yang dirasakan oleh Marcel.

"Kamu dua hari ini nggak pulang tidur di mana?"

"Rumah Sana," jawab Kai. Tidak mungkin jika Kai mengatakan yang sejujurnya bahwa ia tinggal di rumah Sean yang notabenenya seorang laki-laki, kan?

"Oh, teman kamu yang waktu itu datang ke rumah?"

Kai hanya mengangguk. "Papa ngapain ke sini?"

"Mau jemput kamu. Kayaknya udah lama kita nggak makan siang bareng. Habis makan siang, nanti Papa antarin kamu pulang, lalu kembali ke kantor."

Apa yang dikatakan Marcel memang benar. Sepertinya, sejak Mariam meninggal, keduanya tidak pernah lagi makan siang bersama. Sebab, biasanya, Mariam yang akan menelepon dan meminta Marcel menjemput Kai sekaligus pulang ke rumah untuk makan siang. Lagi pula, Marcel ialah bos. Tidak ada masalah yang begitu berarti jika ia pulang ke rumah untuk sekadar makan siang.

Namun, itu dulu. Sekarang, bahkan Marcel lebih memilih makan siang di kantornya sehari-hari.

"Nggak perlu, Kai udah makan pas istirahat tadi. Masih kenyang."

Sayangnya, cacing-cacing di perut Kai tidak bisa diajak bekerjasama. Sebab, kalimat Kai diakhiri dengan suara yang tak lain berasal dari dalam perut.

"Udah nggak ada yang perlu dibicarakan lagi kan, Pa? Kai ada kerja kelompok habis ini." Lagi-lagi, Kai membohongi Marcel. Kai tidak punya pilihan lain, selain cepat-cepat mengakhiri situasi canggung seperti ini.

"Kamu beneran mau kerja kelompok atau cuma mau menghindar dari Papa?"

"Kerja kelompok. Sana dan yang lain udah nungguin dari tadi."

"Papa tahu, kamu masih belum bisa memaafkan tante Anisa untuk apa yang sudah terjadi."

Kalimat Marcel membuat pergerakan Kai untuk membuka pintu mobil terhenti.

"Papa paham, kamu masih butuh banyak waktu untuk bisa berdamai dengan kepergian mama. Tapi, terus-terusan menghindar juga bukan jalan yang tepat, Kai. Papa cuma nggak mau kamu terus-menerus hidup dalam perasaan yang nggak bisa damai seperti itu."

"Lalu, menurut Papa, apa yang mesti Kai lakukan supaya Kai bisa berdamai dengan semua itu? Memaafkan wanita itu? Bahkan, ngelihat wajahnya aja Kai sakit, Pa," ujar Kai lirih.

"Kai, maafin Papa kalau kamu harus hidup dengan rasa sakit seperti ini. Tapi, Papa rasa, sudah saatnya sekarang kamu tahu kebenarannya."

Kai memandangi Marcel dengan penuh tanda tanya besar di kepalanya. "Kebenaran apa, Pa?"

Marcel tidak menjawab, hanya memberikan sebuah lipatan kertas kepada Kai.

🌟

Author's Note:

Waduh, kira-kira kebenaran apa yang dimaksud Marcel? Terus, apa isi lipatan kertas itu, ya?

Sebentar lagi, semuanya akan terkuak nih. Jadi, jangan sampai ketinggalan untuk bab berikut, hehe.

Oh iya, sama mau ingatin, jangan lupa follow akun Wattpad ini, yaa, jangan lupa berikan jejak kalian ketika membaca. Satu jejak yang kalian tinggalkan benar-benar membangkitkan semangat aku untuk menulis. Thank you.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro