11 - Sebuah Keyakinan
Setelah hampir setengah jam Sella terus mengajak Kai berbincang—membahas benda-benda di kamar hingga pertanyaan random seperti bagaimana kelakuan Sean di sekolah—, akhirnya gadis yang kini duduk di bangku SMP tingkat dua itu tertidur. Meninggalkan Kai yang justru berbanding sebaliknya dengan Sella. Gadis itu tidak bisa tidur.
Setelah beberapa kali berusaha memejamkan mata, Kai menyerah. Kai memilih bangun dari ranjang, takut bila ia membuat gerakan yang dapat membangunkan Sella.
Di saat itu, Kai merasa tenggorokannya sedikit kering. Kai menimbang apakah dirinya harus mengirimkan pesan kepada Sean bahwa ia haus atau diam-diam turun ke dapur untuk mengambil minum. Namun, bukankah opsi kedua terkesan tidak sopan?
Belum sampai mendapatkan jawaban, suara ketukan pintu kamar membuat Kai menoleh ke sumber suara. Ketika Kai membuka pintu, wajah Sean muncul dari balik pintu.
"Kai, maaf aku ganggu. Kamu tadi belum tidur, kan?" tanya Sean. "Ini aku bawakan handuk sama sikat gigi baru untuk kamu."
Kai menerima kedua benda tersebut dan berterima kasih kepada Sean.
"Kamu kenapa belum tidur, Kai? Ini udah larut malam. Bukannya besok kamu mesti olimpiade?"
"Ehm, itu, aku ngerasa haus. Jadi kebangun," ujar Kai setengah berbohong. Sebab nyatanya, sedari tadi ia belum terlelap sama sekali.
"Oh, kalau gitu ayo turun ke dapur. Kebetulan aku juga mau minum."
Kai buru-buru mengangguk, meletakkan handuk dan sikat gigi ke atas rak di dekat pintu, kemudian mengekori Sean dari belakang.
"Mau aku buatin susu? Biar tidur kamu lebih nyenyak," tanya Sean menawarkan. "Biasanya kalau aku susah tidur karena besoknya ada pertandingan, bunda selalu buatin aku susu."
Mendengar cerita singkat dari Sean, sekaligus merasakan kehangatan Kasih saat menyambut kehadirannya tadi membuat Kai merasa teringat akan mendiang mamanya, Mariam.
Seandainya mamanya masih hidup, apakah hidupnya akan bahagia? Seandainya Mariam dulu tidak memutuskan untuk bunuh diri karena Marcel berselingkuh dengan wanita lain, apakah jalan hidupnya akan berubah? Barangkali, dia tidak perlu berjuang keras seperti ini untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang psikolog tanpa bantuan papanya. Sebab, dirinya sangat tahu, Marcel tidak akan pernah berhenti menentang impiannya.
"Kai?" panggil Sean sekali lagi, menyadarkan Kai dari lamunannya.
"Eh, nggak usah, minum air putih aja cukup, Sean."
Sean lantas menuangkan segelas air putih untuk Kai. Kai langsung meneguk air tersebut hingga tersisa seperempat gelas.
"Kamu mau langsung tidur? Atau, mau aku temenin ngobrol dulu?"
Kai menimbang sejenak opsi yang diberikan Sean. Sebetulnya, ia sendiri ragu bisa langsung tidur saat kembali ke kamar. Maka, ia memilih opsi kedua. Sepertinya, berbincang-bincang sejenak bisa membuatnya lebih cepat tertidur nantinya karena lelah.
"Tapi kamu belum tidur memangnya?" tanya Kai yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Sean.
"Belum ngantuk."
Karena itulah, kini keduanya berada di taman belakang rumah Sean. Duduk santai di kursi yang terbuat dari rotan, ditemani oleh angin malam yang terasa begitu dingin.
"Gimana persiapan untuk olim besok, Kai? Aman?" tanya Sean membuka suara setelah keduanya sama-sama hening untuk beberapa saat.
"Udah aman, Sean."
"Aku penasaran, Kai. Kira-kira, kamu pernah ngerasa deg-degan atau grogi satu hari sebelum olim nggak?"
"Ya, pernah, Sean. Aku rasa, semua orang pasti ngerasa deg-degan kalau bertemu dengan hari seperti itu," jawab Kai.
"Iya, betul juga. Aku juga selalu ngerasain hal yang sama kalau udah dekat sama pertandingan basket."
"Oh ya?"
"Iya. Ngomong-ngomong, aku baru pertama kali ngelihat kamu dengan rambut diurai kayak gitu. Biasanya, kan, kamu selalu ikat rambut," ujar Sean yang baru menyadari bahwa malam ini rambut panjang milik Kai itu dibiarkan lepas tanpa karet yang mengikatnya.
"Aneh, ya kalau diurai gini?" Kai buru-buru menyentuh rambutnya dan hendak menguncirnya kembali.
Namun, tangan Sean dengan segera memberhentikan pergerakan Kai. "Nggak, kok. Cuma ngerasa sedikit baru aja ngelihatnya."
"Beneran nggak aneh?"
Sean mengangguk tanpa ragu. "Nggak, cantik malah."
Pujian Sean membuat Kai segera memalingkan wajah. Harusnya, itu pujian yang biasa. Namun, kenapa seperti ada yang berbeda, ya?
Menyadari perubahan pada Kai, Sean buru-buru mencari topik lain agar Kai tidak merasa canggung. Perbincangan keduanya pun terus berlanjut hingga Sean tersadar waktu sudah hampir menunjukkan pukul 12 malam.
Keduanya berjalan beriringan. Sebelum kembali ke kamarnya, terlebih dahulu Sean mengantar Kai ke depan kamar Sella.
"Selamat malam, Kai. Istirahat yang nyenyak, ya supaya punya tenaga untuk ngebantai semua pertanyaan pas olim besok," ujar Sean diakhiri dengan kekehan kecil di akhir kalimatnya.
Sean tahu, olimpiade besok akan menjadi hari yang cukup berat bagi Kai. Sebab, malam sebelumnya, Kai harus berdebat dengan ayahnya, ditambah harus kabur dari rumah dan menginap semalam di rumah Sean. Tentu, tidak ada perasaan paling tenang saat berada di luar, selain di rumah sendiri.
"Selamat malam juga, Sean."
🌟
Hari yang baru sudah dimulai. Tentu ini menjadi hari yang berbeda dari hari lainnya. Sebab, untuk pertama kali, Kai bangun tidak dari kasur tidur yang biasanya.
Setelah bergantian menggunakan kamar mandi dengan Sella, Kai keluar dengan seragam putih abu yang melekat di tubuhnya.
"Kak Kai cantik banget. Aku jadi nggak sabar mau pakai baju putih abu kayak Kak Kai dan bang Sean," ujar Sella dengan nada bicara antusias, persis seperti semalam gadis itu mengetahui Kai akan tidur di kamarnya.
"Memangnya kamu udah bosan pakai seragam kamu?" tanya Kai sambil menyisir rambutnya.
"Iya nih, Kak. Soalnya, bang Sean suka ngolok aku, katanya aku masih bocah. Mentang-mentang bang Sean udah SMA, jadi sembarang ngatain aku."
Mendengar pengaduan Sella, Kai tertawa kecil. Memikirkan bagaimana tingkah Sean dan Sella di rumah sehari-hari.
Selesai menyisir rambut, Kai dan Sella turun ke ruang makan. Di sana sudah ada Sean tengah membantu Kasih mengoleskan selai ke atas lembaran roti.
"Sella, Kai, sini duduk dulu sarapan roti," panggil Kasih.
"Pagi, Tante, Sean," sapa Kai. Kai lalu menarik kursi di sebelah Sella, seraya melampirkan tas sekolahnya di bahu kursi jati.
"Kai suka rasa apa? Biar Tante oleskan."
"Cokelat aja, Tan," ujar Kai.
"Wah, selera kamu sama Sean sama, ya berarti. Sama-sama suka cokelat," kata Kasih sambil mengambilkan lembaran roti yang baru untuk Kai. "Ini, dihabisin, ya."
"Terima kasih, Tan."
Selama di meja makan, tidak ada yang bersuara. Semuanya menikmati sarapan mereka masing-masing dengan baik. Setelah sarapan, Kai membantu Kasih untuk membereskan piring kecil dan beberapa kaleng selai di atas meja.
Kali ini, Kai berangkat bersama Sean, mengingat arah sekolah dengan tempat olimpiade berada di arah yang sama. Sebelumnya, Kai bersama dua rekan dan bu Agatha selaku pendamping sudah sepakat untuk langsung bertemu di tempat olimpiade.
Terlebih dahulu, Kai berpamitan kepada Kasih dan Sella, sekaligus mengucapkan terima kasih karena sudah mengizinkan Kai tinggal untuk semalam.
"Sean sama Kai pergi dulu, Bun."
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dengan setelah tangan mengendalikan stir, sebelah tangannya lagi bergerak menyetel podcast di pagi hari agar suasana di dalam mobil tidak begitu hening. Tapi sepertinya, suara sang pengisi podcast hanya berlalu bagaikan angin. Sebab, Kai maupun Sean tampak fokus dalam pikiran masing-masing.
"Kai, papa kamu nggak nyariin kamu dari semalam?" tanya Sean.
Kai yang tadi melihat keluar jendela, kini beralih memandang Sean, lalu menggeleng kecil. "Aku matiin hape dari semalam, Sean."
Atas jawaban Kai, Sean tidak lagi berniat untuk bertanya. Laki-laki itu takut bila pertanyaannya malah mengganggu suasana hati Kai dan berefek terhadap olimpiade Kai pagi ini.
Mobil Sean kini berhenti di parkiran SMA Negeri 18, sekolah tempat olimpiade kali ini diadakan. Kai melepas seatbelt sambil mengucapkan terima kasih kepada Sean, lantas hendak keluar dari dalam mobil. Namun, Sean mencegat gadis itu terlebih dahulu.
"Kai, apa pun yang terjadi sama kamu semalam, hilangkan dulu untuk sementara. Yang terpenting, kamu harus fokus sama olimpiade kamu. Aku yakin kamu pasti bisa."
Kai tersenyum tipis mendengar kalimat dari Sean. "Makasih banyak, Sean. Kalau gitu, aku masuk dulu. Kamu juga buru ke sekolah, nanti terlambat. Hati-hati di jalan."
🌟
Olimpiade berakhir dan lagi-lagi tim dari sekolah Kai meraih peringkat pertama. Meskipun Kai sempat kehilangan fokus selama olimpiade, tetapi itu tidak mengurangi sedikit pun poin bagi tim.
Sepertinya, kemenangan olimpiade kali ini tidak berdampak apa pun bagi suasana hati Kai. Sebab, seperti ucapan Marcel kemarin—sebelum Kai kabur dari rumah—, pria itu benar-benar menyuruh salah satu pekerjanya untuk menjemput Kai di sekolah.
"Non Kai, pak Marcel meminta saya untuk menjemput Non di sini."
Sejujurnya, Kai tidak ingin mengikuti pria di hadapannya ini. Namun, Kai tidak ada pilihan lain. Karena, jika Kai menolak, sama saja ia menciptakan keributan. Dan, ini bukan saat dan tempat yang tepat untuk keributan itu.
Maka, setelah berpamitan dengan bu Agatha, Kai mengikuti pria tersebut ke dalam mobil milik Marcel.
"Sebelum ke tempat acara, kita pergi ke butik langganan keluarga dulu ya, Non. Pak Marcel sudah menyiapkan pakaian ganti untuk Non."
Kai menarik napasnya pasrah. Tidak ada yang bisa diambil sebagai jawaban, selain mengiyakan perkataan tersebut.
🌟
Author's Note:
Nggak terasa, udah sampai bab 11 aja kita nih.
Bagaimana cerita ini? Membosankan kah? Semoga saja tidak, ya.
Sebab, masih ada kejutan-kejutan menarik yang menanti di bab-bab berikutnya. Nantikan terus yaa!
See you, Love!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro