Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05 - Agen Cokelat

Suara ketukan pintu terdengar menggema di seisi kelas 11 IPA 1. Pak Seno yang tengah menerangkan pelajaran terpaksa berhenti sejenak.

"Permisi, Pak."

"Kaianna, dari mana saja kamu?"

"Saya habis dari UKS, Pak. Tadi sedikit tidak enak badan," jawab Kai yang jelas berbohong. Tidak mungkin bila ia mengatakan yang sejujurnya perihal keterlambatannya masuk ke dalam kelas.

"Oh, baik silakan masuk ke kelas."

Beruntung, Pak Seno memercayainya dan memberikan izin agar Kai bisa langsung masuk mengikuti pelajaran yang tengah berlangsung.

"Kai, kamu sakit?" Sana melemparkan kekhawatirannya kepada Kai. "Pasti kepala kamu hampir meledak karena ikut tes penyisihan, makanya badan kamu ikut sakit," ujar Sana sembarang menduga.

"Ngaco kamu, San. Aku udah enggak pa-pa. Tadi cuma ngerasa lemas sedikit, tapi setelah minum obat dan istirahat bentar, udah enakan kok," balas Kai.

Sepertinya, juga bukan ide yang bagus untuk memberitahu Sana kejadian yang sebenarnya. Jika gadis itu tahu, ia akan melemparkan begitu banyak pertanyaan untuk Kai. Jadi, untuk kali ini, biarkan Kai berbohong kepada Sana.

"Oke lah kalau begitu. Pak Seno tadi ngasi cukup banyak catatan, nanti aku pinjamin kamu buku catatan aku."

Kai menganggukkan kepala, lantas berterimakasih kepada Sana yang kini kembali fokus mendengarkan penjelasan Pak Seno. Sementara itu, Kai memundurkan tubuh menempel pada kursi, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.

Cokelat dari Sean.

Sebelum mereka resmi berpisah untuk menuju kelas masing-masing, Sean memberikan beberapa cokelat untuk Kai.

Kai tersenyum kecil memandangi cokelat di tangan, lalu kembali memasukkan ke sakunya. Kai menegakkan bahu, ikut fokus mendengarkan penjelasan Pak Seno yang sudah maju beberapa langkah akibat ketertinggalannya.

🌟

Siang itu, Kai tidak langsung pulang ke rumah. Sana mengajaknya pergi ke toko buku terlebih dahulu untuk membeli novel keluaran terbaru dari penulis favorit gadis itu. Mau tak mau, Kai menemaninya.

Dari toko buku, keduanya memilih untuk menikmati kopi di kafe dekat sana. Kai baru menginjakkan kaki di rumah pukul setengah lima sore.

Sebelum masuk ke dalam rumah, Kai terlebih dahulu melihat mobil berwarna silver milik Marcel yang sudah bertengger di halaman. Sepertinya beberapa hari ini, Marcel sering pulang lebih awal.

Kai menghela napas. Mengingat perdebatannya dengan Marcel tadi malam dan namanya yang tidak terpilih sebagai perwakilan olimpiade, Kai merasa tidak senang. Entah hingga kapan masalah tentang Kai yang tidak mau berkutat di perusahaan dan Kai yang ingin menjadi psikolog terus menjadi bahan perdebatan mereka.

Kai mengabaikan itu, memilih untuk segera masuk ke dalam rumah. Hari ini terasa begitu gerah, Kai tidak sabar untuk segera mengalirkan air ke tubuhnya agar mendapatkan kesegaran.

Saat hendak masuk ke kamar, Kai berhenti tepat di depan kamar Marcel. Memandangi pintu jati berwarna cokelat tersebut cukup lama, hingga pemilik kamar menyembulkan wajahnya saat pintu terbuka.

"Kai."

Kai yang segera sadar akan tindakannya barusan, mengalihkan pandangan dari Marcel, lalu berjalan lurus menuju kamar. Tanpa berniat membalas panggilan Marcel pada dirinya tadi.

Kai mendaratkan tubuhnya di kursi belajar, mendinginkan tubuhnya sejenak dari matahari yang menemani sejak ia di luar, sebelum bergegas mandi.

Kai keluar dari kamar mandi setelah cukup lama berendam di sana hingga tanpa ia sadari, langit biru secara perlahan sudah berubah menjadi jingga.

Dengan sebelah tangan yang mengeringkan rambut dengan handuk kecil, Kai mencari ponselnya yang hilang. Gadis itu merogoh semua kantong yang ada di seragam. Bukannya menemukan ponsel, justru cokelat yang sedari tadi mengendap di saku bajunya yang ia temukan.

Seutas senyum kembali hadir di wajah Kai ketika mengingat si pemberi cokelat. Namun, seketika suatu pertanyaan terlintas di benaknya.

Kenapa hari ini ia dengan luwes bercerita kepada Sean terkait masalahnya?

Padahal, selama ini, Kai selalu berusaha menutup rapat-rapat sisi lain dari hidupnya. Tapi, untuk pertama kalinya, Kai membiarkan seseorang masuk, menerobos ke bagian yang berusaha ia sembunyikan.

Sean.

Entah bagaimana caranya, akan tetapi Kai merasa Sean begitu ajaib. Dengan beberapa cokelat pemberiannya, Kai seolah-olah terhipnotis untuk mengalunkan cerita.

Kai terkekeh kecil ketika mempertanyakan hal itu kepada pikirannya sendiri.

Seketika, notifikasi terdengar memecah isi pikiran Kai. Kai menoleh dan baru menyadari bila benda yang ia cari sedari tadi ada di atas kasurnya.

Kai segera meraih ponsel dengan case biru muda miliknya.

Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

+ 62 8xx xxxx xxxx
Permisi, ada yang memesan cokelat?

Melihat isi pesan itu, Kai dapat segera mengetahui siapa si pengirim pesan. Kai buru-buru mengetikkan balasan.

Kaianna
Sepertinya, tidak ada.

Kai tersenyum. Jemarinya bergerak menambahkan nomor tersebut ke dalam daftar kontak.

'Sean, Si Agen Cokelat'

Kai baru saja hendak mematikan ponselnya, tapi notifikasi kembali terdengar, membuat Kai tetap aktif.

Sean, Si Agen Cokelat
Masa sih? Perasaan nomornya sudah betul
Kalau begitu, apa benar ini dengan Mbak Kaianna Victoria?

Kaianna
Iya, kalau itu benar

Sean, Si Agen Cokelat
Baiklah. Jangan lupa ditambahkan ke kontak, Mbak Kaianna 😉
Bila sewaktu-waktu Mbak membutuhkan cokelat, silakan hubungi nomor ini

Hari itu, Kai merasa malamnya sedikit berbeda. Biasanya, Kai hanya akan menghabiskan waktu untuk belajar atau sekadar menghafalkan rumus. Namun, malam itu, ada satu aktivitas baru yang sepertinya mulai Kai tekuni. Saling bertukar pesan dengan si agen cokelat.

🌟

Sejak hari di mana mereka bertemu di rooftop, Kai merasa dirinya semakin sering bertemu dengan Sean. Entah di perpustakaan, berpapasan di koridor, atau saat mengantarkan buku ke kantor guru. Padahal, sebelumnya, tidak pernah. Atau, memang dirinya yang tidak pernah menyadari itu?

Seperti saat ini, Kai dan Sana berada di salah satu meja di kantin untuk menikmati makan siang. Lantas, entah datang dari mana, tiba-tiba Sean hadir dengan membawa semangkuk bakso di tangan.

"Boleh gabung ke sini?" tanya Sean melihat Kai.

"Boleh banget!"

Bukan Kai yang menjawab, melainkan Sana yang duduk di seberang Kai yang menjawab dengan antusias. Kai melihat Sana segera menggeser sedikit tubuhnya, seperti memberi ruang untuk Sean duduk. Namun, Sean malah duduk di sebelah Kai.

Meski begitu, Sana tetap pada senyuman lebarnya, mengulurkan tangan ke hadapan Sean. "Halo, Sean. Kenalin, aku Sana."

"Hai juga Sana." Sean membalas dengan ramah.

"Yang duduk di samping kamu, namanya Kaianna. Cukup dipanggil Kai," sambung Sana memperkenalkan Kai.

Sementara itu, Sean melirik ke sebelah. "Hai, Kai. Salam kenal," sapanya seolah-olah itu perkenalan pertama mereka.

Meja yang biasanya diisi keheningan karena baik Kai dan Sana fokus menghabiskan makanan masing-masing kini tampak begitu asyik. Berulang kali, Sana inisiatif membuka perbincangan dengan Sean yang juga ditanggapi oleh lelaki itu.

"Kamu juga suka baca novel, Kai?" tanya Sean yang ditanggapi dengan cepat oleh Sana.

"Kai mah nggak suka novel, sukanya buku pelajaran."

Kai hanya tertawa kecil menyetujui jawaban dari Sana.

"Berarti, pertemanan kalian ini unik, menyatukan dua perbedaan dalam hal selera baca buku," ujar Sean berkomentar.

Dan, entah mengapa, Kai merasa Sean berulang kali mencuri pandang kepada dirinya.

Bunyi lonceng berbunyi, pertanda waktu istirahat telah habis. Kai, Sana, dan Sean yang tadi berjalan beriringan keluar dari kantin, kini berpisah jalan. Kai dan Sana ke koridor IPA, sementara Sean ke koridor IPS.

"Kai, kamu kenal sama Sean?" tanya Sana yang merasa bahwa keduanya sudah saling kenal sebelumnya.

"Cuma sebatas tahu aja, sih," jawab Kai agar tidak menimbulkan pertanyaan lebih lanjut pada diri Sana. "Kalau kamu, kenal sama Sean?"

"Siapa yang nggak kenal Sean, sih? Nih, ya, yang pertama dia itu terkenal karena wajahnya yang kayak oppa-oppa Korea. Kedua, dia itu anak tim basket sekolah yang udah dua kali mewakili sekolah ke turnamen gitu. Ketiga, eh pokoknya masih banyak lagi, deh!"

"Anak basket?" Kai mengernyit.

"Iya. Makanya, kamu jangan olimpiade aja yang dipikirkan, sampai enggak tahu siapa-siapa aja tim basket sekolah," kelakar Sana.

Kai sama sekali tidak tersinggung akan itu. Sebab, yang dikatakan Sana memang benar. Mungkin, Kai terlalu fokus dengan olimpiade sehingga melupakan lingkungan sekitar.

🌟

Author's Note :

Asyik, ada yang udah mulai chattingan nih! Kalau kayak judul lagu Armada, Awas jatuh cinta!

Ngomong-ngomong, aku mau sampaikan sesuatu. Cerita ini masih berlatarkan di kurikulum 13 yang masih menggunakan penjurusan IPA dan IPS, ya, Teman-teman. Karena, sejujurnya, aku masih aneh aja gitu kalau lihat kurikulum merdeka yang sekarang (tanpa penjurusan). Soalnya, jurusan IPA dan IPS masih kental di diriku yang alumni anak KTSP ini, hehehe. Jadi, jangan heran ya kalau masih ada label anak IPA dan IPS nya hehe.

Udah segitu aja ya.

See you next chapter yaaa, luv!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro