Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 - Terima Kasih

"Sean?"

"Perempuan cantik enggak boleh nangis, nanti cantiknya hilang," ujar Sean.

Kai berulang kali mendengar kalimat yang serupa, tetapi ketika Sean melontarkannya, entah kenapa rasanya Sean berujar dengan tulus. Bukan dengan niat untuk menggoda perempuan, seperti pekerjaan kaum Adam pada umumnya.

Kai menerima tisu tersebut, lantas menempelkan pada permukaan wajahnya yang basah akibat air mata. "Terima kasih," balas Kai seraya tersenyum.

"Nggak perlu sungkan." Sean ikut menampilkan senyum.

Untuk beberapa saat, suasana hening. Keduanya sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing yang tengah berusaha mencari topik obrolan. Beruntung, Sean segera angkat suara.

"Kayaknya, ini pertama kalinya aku ngelihat kamu nangis. Biasanya, seorang Kaianna Victoria bakalan tersenyum di depan semua orang sambil menerima piala penghargaan."

Mendengar itu, Kai menundukkan kepala. "Maaf, ya, kamu harus lihat aku nangis."

"Untuk apa kata maaf? Aku rasa, itu bukan suatu kesalahan yang buat kamu harus meminta maaf," sahut Sean yang membuat Kai menoleh kepadanya.

"Nggak apa, semua orang punya titik lemahnya masing-masing. Seseorang yang setiap hari terlihat kuat juga bakal menunjukkan sisi lemahnya," sambung Sean.

"Kamu kenapa? Lagi ada masalah?" tanya Sean.

Kai mengangguk ragu. Entah masalahnya sekarang dapat disebut sebagai masalah atau itu semua hanya karena pikiran yang terlalu kacau.

"Kamu boleh cerita sama aku kalau kamu mau."

Kai menatap dalam kedua bola mata Sean, sebelum mengalihkan pandangan.

Tiba-tiba tangan Sean kembali terulur di hadapannya. Kali ini, bukan menawarkan tisu, melainkan cokelat yang dikemas seperti sebuah koin.

"Katanya, makan cokelat bisa memperbaiki suasana hati," kata Sean, "Aku nggak tahu apakah itu manjur di kamu atau nggak, tapi aku udah sering membuktikannya. Dulu waktu kecil, bunda selalu ngasi cokelat ini kalau aku lagi nangis. Makanya, aku selalu bawa cokelat ini kemana-mana sampai sekarang."

Kai melihat Sean takjub. Bukan karena cokelat di tangannya. Namun, karena lelaki ini berbicara begitu banyak memberi penjelasan, padahal Kai tidak bertanya lebih lanjut. Unik.

"Jangan dilihatin aja, nih ambil."

Kai menerima cokelat tersebut dengan senang hati. Dengan hati-hati, Kai membuka lapisan berwarna emas pembungkus cokelat, lalu memasukkan cokelat tersebut ke mulutnya.

"Gimana? Jauh lebih baik?"

Kai mengangguk. "Iya, terima kasih lagi, Sean."

"Baguslah kalau gitu."

Suasana kembali hening untuk sesaat. Sean tengah memandangi langit, sementara Kai mempertimbangkan apakah ia harus bercerita kepada Sean atau tidak. Namun, sepertinya opsi yang paling baik saat ini ialah berbagi cerita kepada Sean. Sebab, pikirannya benar-benar begitu penuh.

"Aku gagal masuk perwakilan olimpiade kali ini."

Pandangan Sean yang tadi menatap langit kini beralih kepada Kai. Sean bahkan memperbaiki posisi duduknya agar bisa lebih leluasa mendengarkan Kai yang barangkali akan bercerita lebih panjang setelah ini.

"Seperti biasanya, peserta yang akan mewakili sekolah mengikuti olimpiade harus melalui tes penyisihan. Untuk olimpiade kali ini, diambil 3 pemegang skor teratas untuk ikut. Tapi, skor aku nggak mampu mencapai ketiga besar itu."

Sean masih setia bergeming, membiarkan Kai melanjutkan ceritanya.

"Semalam, aku berdebat sama papa. Alhasil, aku nggak sempat belajar untuk persiapan, sekaligus kurang fokus saat tes tadi."

Melihat Sean yang tidak bersuara sedari tadi, Kai merasa aneh. "Kenapa kamu diam aja? Aku alay ya cerita kayak gini? Seharusnya, aku nggak—"

"Nggak, siapa yang bilang kamu alay? Bahkan, menurut aku kamu hebat karena mau berbagi cerita kamu ke orang lain," sahut Sean cepat. "Aku memang sengaja diam dari tadi, supaya kamu bisa meluapkan semua cerita kamu sampai habis tanpa gangguan."

"Oh, gitu."

"Udah selesai ceritanya?"

Kai menganggukkan kepalanya.

"Oke, jadi aku bisa menarik kesimpulan kamu sedih kayak gini karena mungkin ini kegagalan pertama kamu. Iya?"

Kai kembali mengangguk.

"Itu hal yang oke, kok. Pernah dengar gak? Gagal bukan berarti kalah. Barangkali, ini juga suatu petunjuk untuk kamu istirahat dulu dari olimpiade. Bukannya, minggu lalu kamu baru menyelesaikan olimpiade matematika?"

"Iya, tapi olimpiade itu penting untuk aku. Aku ...." Kai menghentikan kalimatnya. Kepalanya didongakkan ke atas guna menahan agar cairan bening tidak kembali turun dari matanya.

"Kalau aku boleh tahu, kenapa olimpiade itu penting untuk kamu? Bukannya, kamu udah sering menjuarai olimpiade?"

"Aku butuh menambah pengalaman aku sebanyak mungkin supaya aku bisa kuliah di jurusan yang aku inginkan sekaligus dapat beasiswa. Karena, cuma beasiswa yang bisa aku harapkan untuk membiayai kuliah aku, di saat papa terang-terangan melarang impian aku."

"Dan, impian itu adalah ...?"

"Menjadi psikolog."

Sean tersenyum. "Kai, aku punya satu kalimat yang selalu aku pegang teguh. Apa yang ditakdirkan untuk menjadi milik kita, enggak akan tertukar. Kalau sekarang kamu nggak kepilih, barangkali kamu lagi diberikan jeda untuk mempersiapkan lomba lain yang lebih tinggi tingkatannya."

Cukup lama Kai meresapi kalimat panjang Sean, sebelum akhirnya ikut merasa perkataan itu benar. "Iya, kamu benar juga. Mungkin, aku terlalu berambisi untuk ikut semua olimpiade, makanya aku sampai kepikiran kayak gini."

"Nggak apa-apa. Aku paham, kok. Kadang, kita terlalu berambisi sampai kita lupa, kita ini juga manusia yang butuh jeda untuk beristirahat."

Kai tersenyum tulus menatap Sean. "Sekali lagi, terima kasih banyak, ya.

Sean mengangguk. "Kalau aku hitung-hitung, kayaknya ini ucapan terima kasih kamu yang ketiga dalam kurun waktu nggak nyampe lima belas menit ini. Betul nggak?"

Kai tertawa kecil, seraya mengangguk menyetujui.

"Nah, gitu dong, ketawa. Jangan sedih-sedih," ujar Sean. "Ngomong-ngomong, kamu tahu rooftop dari mana?"

"Udah lama tahu sih, cuma tadi aku iseng aja ke sini. Kalau kamu?"

"Ini basecamp aku kalau lagi bosan belajar di kelas," jawab Sean.

"Oh iya, ini kan jam pelajaran. Kamu bolos?"

"Kalau aku bolos, terus kamu apa?"

Pertanyaan sederhana dari Sean, tapi berhasil membuat keduanya sama-sama larut dalam tawa.

"Sekali lagi, terima kasih, ya. Untuk tisu, cokelat, dengarkan aku cerita, dan udah buat aku ketawa. Setidaknya, aku bisa lupain kekhawatiran ini sejenak."

"Iya, sama-sama, Kai. Nggak perlu terima kasih sebenarnya. Karena, aku senang bisa lihat kamu nggak sedih lagi."

Pernyataan Sean membuat hati Kai menghangat. Kai menundukkan kepala, menyembunyikan senyum yang tidak bisa ia tahan.

"Mau balik ke kelas?" Sean menawarkan.

Kai melirik jam tangannya. Tersisa 20 menit lagi sebelum kelas selesai. "Tanggung sebenarnya kalau kita masuk jam segini. Udah mau istirahat."

"Ya, aku sih nggak masalah kalau nggak masuk kelas. Aku cuma khawatir kamu ketinggalan pelajaran aja."

"Iya juga. Mana lagi pelajaran kimia. Ya udah, ayo masuk."

"Eh, Kai. Sebelumnya, aku boleh minta nomor kamu?"

Kai membulatkan mata. "Nomor?"

"Iya, nomor hp kamu."

Melihat Sean yang mengeluarkan ponsel dari kantong celananya, Kai baru mengangguk paham. "Oh, boleh."

Kai menerima ponsel Sean, mengetikkan 13 digit nomornya, lalu mengembalikannya kepada Sean.

"Nih tinggal kamu simpan aja."

"Makasih, Kai! Nanti aku chat, ya."

Kai mengernyitkan keningnya. Melihat perubahan raut wajah Kai, Sean buru-buru menyambung. "Maksud aku, kalau ada materi yang nggak aku pahami. Soalnya, kamu kan pintar."

"Tapi, kita beda, Sean. Aku IPA, kamu IPS."

"I-iya, maksudku, matematika kita kan sama."

Kai sedikit heran dengan nada bicara Sean yang terdengar gugup. Namun, Kai mengabaikan hal itu, mengacungkan jempol sebagai tanda "oke".

Kai lantas berjalan di depan Sean yang saat ini tengah menyorakkan sesuatu dalam hatinya. "Yes! Dapat juga nomor Kai."

🌟

Author's Note :

Cie cie Sean, udah dapat aja nih nomor Kai. Jangan di-chat aneh-aneh ya, Sean. Ingat juga typing gantengnya! Biar Kai makin kepincut hehehe.

See you next chapter, Guys!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro