03 - Perdebatan yang Berujung Tidak Baik
"Yang tadi itu teman sekolah kamu? Siapa namanya tadi? Sana, ya?"
"Pa, bisa langsung ke topik intinya? Enggak perlu basa-basi. Papa mau ngomong apa?"
Jika ada sebagian orang yang beranggapan cara bicara Kai terlalu tidak sopan kepada orangtua, maka jawabannya ialah hubungan antara Marcel dan Kai tidak sedekat itu untuk sekadar berbasa-basi. Marcel hanya akan berbicara kepadanya jika ada sesuatu hal yang penting. Dan, salah satunya itu berkaitan dengan ...
"Seperti yang kamu tahu, bulan depan PT. Victoria Group akan merayakan hari jadi perusahaan."
... perusahaan.
"Papa sudah memikirkan ini cukup lama dan keputusannya adalah pada hari ulang tahun perusahaan kali ini Papa ingin memperkenalkan kamu sebagai penerus Papa nantinya."
Kai tersenyum tipis. "Pa, bukannya udah berulang kali Kai bilang, Kai enggak mau melanjutkan perusahaan. Apa itu kurang jelas?"
"Kenapa kamu selalu menolak, Kaianna? Papa lakuin ini semua demi—"
"Demi kebaikan Kai," potong Kai segera, "Iya, kan? Kalau memang ini semua demi kebaikan Kai, Papa enggak bakalan maksain kehendak Papa sama Kai."
Kai menghela napasnya. "Pa, tanpa mengurangi rasa hormat Kai kepada Papa, sekali lagi Kai pengen bilang, Kai enggak pernah ada ketertarikan melanjutkan perusahaan."
"Kenapa? Kamu masih tertarik dengan impian kamu untuk menjadi psikolog?"
"Ada yang salah dengan itu, Pa?"
"Papa enggak akan biayain kamu untuk kuliah psikologi."
"Papa tenang aja, Kai bakal nyari beasiswa sendiri dan enggak bakal membuat Papa ngeluarin sepeser pun untuk biaya pendidikan Kai."
"Kai! Papa udah ngomong berapa kali, jadi psikolog itu enggak semudah dan seenak yang kamu bayangkan."
"Papa pikir Kai enggak sanggup?"
"Bukan begitu, Kai. Kamu sadar gak, ada berapa banyak orang yang ingin ada di posisi kamu, tinggal melanjutkan perusahaan tanpa harus bersusah payah merintis impian dari nol nantinya? Kamu nggak pernah ngerti kebaikan Papa sama kamu."
"Oh ya? Papa sadar nggak? Setiap Papa ngajak aku ngobrol, itu gak jauh-jauh dari masalah perusahaan, ngatain mimpi aku terlalu susah, dan masih banyak lagi. Jadi, aku yang nggak ngertiin Papa atau Papa yang nggak pernah bisa ngertiin kemauan aku?"
Marcel mengusap wajahnya kasar. "Kamu mirip sama mama kamu, sama-sama keras kepala."
"Nggak usah bawa-bawa mama, Pa!" Napas Kai tidak beraturan. Bagian yang paling tidak Kai sukai dari berbincang dengan Marcel ialah karena pria itu suka membawa-bawa perihal mamanya. "Terserah Papa mau ngomong apa, tapi nggak usah bawa-bawa mama. Itu nggak akan buat Kai nurut. Malah Kai semakin lost respect sama Papa."
"Kai—"
Tanpa membiarkan Marcel melanjutkan kalimatnya, Kai memundurkan langkah kakinya dan berpamitan. "Kai mau tidur, capek habis belajar sama Sana."
"Kai, Papa belum selesai bicara!"
Kai melangkahkan kaki menuju kamar, meninggalkan Marcel yang masih setia memanggil namanya. Kai mengunci pintu kamar dengan baik, lantas meluruhkan dirinya ke lantai. Matanya terpejam, berusaha menahan air mata yang hendak menetes.
Setiap kali Kai berbicara dengan Marcel, ia selalu berujung mengunci diri di kamar dan menangis. Karena, perbincangan akan perusahaan, impiannya melanjutkan studi psikologi, dan Marcel yang selalu mengungkit mendiang mamanya selalu berhasil membuat Kai terlihat kacau.
Malam itu, Kai melewatkan agendanya untuk belajar. Padahal, besok dirinya harus mengikuti tes penyisihan olimpiade. Dan, sepertinya Kai melupakan hal itu.
🌟
Dengan tangan yang terus bergerak mengetikkan jawaban pada keyboard komputer, tatapan Kai sibuk menyisir namanya pada layar yang berada di depan. Biasanya, Kai tidak perlu pusing bolak-balik melihat namanya, sebab namanya selalu berada di peringkat pertama tes penyisihan. Namun, kali ini Kai tidak bisa tenang.
Perdebatannya dengan Marcel tadi malam membuat Kai kurang fokus. Belum lagi, persiapannya yang dibilang kurang matang untuk bisa mengisi soal-soal.
Hari ini, perwakilan dari setiap kelas 10 IPA 1 hingga 11 IPA 5 mengikuti tes penyisihan. Tes tersebut berguna untuk menentukan perwakilan murid untuk mengikuti olimpiade Sains yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 bulan depan. Masing-masing kelas mengirimkan 2 perwakilan. Seperti biasa, Kai selalu menjadi salah seorang perwakilan kelas 11 IPA 1, bersama dengan rekannya, Wilson.
Tes penyisihan dilakukan pada jam pertama dan kedua. Sistemnya menggunakan pemeringkatan online yang ditampilkan menggunakan layar proyektor, sehingga setiap peserta yang mengikuti tes dapat melihat langsung perubahan nilai mereka dari waktu ke waktu.
Kini, waktu tersisa 15 menit, namun nama Kai masih tetap berada di urutan ke-5 dari 20 peserta yang mengikuti tes penyisihan. Tidak naik, juga tidak turun. Ini jelas posisi yang tidak menguntungkan. Sebab, sekolah hanya akan memilih 3 murid dengan nilai tertinggi untuk maju sebagai perwakilan.
"Waktu tersisa 10 menit. Manfaatkan waktu yang ada dengan baik." Kalimat Bu Agatha, guru biologi mereka seakan-akan menjadi pengingat waktu.
Kai mengusap keringat yang membasahi pelipis. Gadis itu mengangkat kedua tangannya dari keyboard, melakukan sedikit peregangan. Matanya terpejam, sementara itu bibirnya bergerak merapatkan sebaris kalimat. "Tenang, Kai. Kamu harus tenang."
Setelah merasa lebih tenang, Kai kembali melanjutkan membaca soal.
"Waktu tersisa 5 menit."
"Waktu tersisa 1 menit."
Klik. Kai berhasil menyelesaikan soal terakhir.
"Waktu selesai. Silakan angkat kedua tangan kalian."
Kai menoleh ke sekitar. Beberapa di antara teman-temannya menghela napas berat. Sepertinya, bukan cuma dirinya yang mengalami kesulitan di tes penyisihan ini. Apakah Kai boleh berharap namanya masuk ke tahap tiga besar?
Layar proyektor yang tadi menghitam sejenak, kini telah menampilkan pemeringkatan dari 1 hingga 20 lengkap dengan total skor. Kai dengan segera melihat namanya, sebelum kedua bahu tegapnya mengendur.
1. Abel Evelyn, 430
2. Keiko Mozara, 427
3. Elisa, 425
4. Kaianna Victoria, 410
...
"Baiklah, setelah melihat hasil pemeringkatan ini, maka yang akan mewakili sekolah dalam olimpiade sains adalah Abel Evelyn, Keiko Mozara, dan Elisa. Beri tepuk tangan untuk ketiganya."
Semua orang di sana memberikan tepuk tangan, kecuali Kai. Namun, melihat situasi itu, Kai buru-buru ikut tepuk tangan. Setidaknya bila ia gagal, ia tidak boleh lupa untuk memberikan apresiasi kepada orang lain.
"Silakan semuanya kembali ke kelas. Untuk Abel, Keiko, dan Elisa silakan temui saya pada waktu istirahat."
"Baik, Bu."
Satu per satu murid meninggalkan ruangan.
"Kai, aku duluan, ya," ujar Wilson menepuk bahu Kai. Kai hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.
Kai menjadi orang nomor dua terakhir yang keluar dari ruangan, selain Bu Agatha.
"Kai, ini pertama kalinya skor kamu serendah itu. Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Bu Agatha.
Sebagai wali kelas, Bu Agatha tentu sangat memahami anak didiknya satu ini. Dalam setiap tes penyisihan, skor Kai selalu berada di urutan nomor satu, sehingga Kai selalu terpilih menjadi perwakilan sekolah.
"Nggak apa-apa, Bu. Saya cuma kurang tidur aja semalam sehingga kurang fokus ngerjakan soal," jawab Kai.
"Ya sudah, Ibu ke kantor dulu. Kamu segera kembali ke kelas, ya."
Kai mengangguk dan tersenyum. Setelah Bu Agatha hilang dari pandangan, Kai lantas membelokkan langkahnya, berlawanan arah dengan jalan menuju kelas.
Di situasi seperti ini, Kai tidak bisa masuk ke dalam kelas. Pikirannya benar-benar kacau. Ia butuh menenangkan pikiran.
Langkah kaki Kai berhenti di depan tangga yang jarang dilewati oleh murid lainnya. Tangga paling ujung, di sebelah gudang. Tangga yang setahu Kai terhubung ke rooftop sekolah.
Selama ini, Kai tidak pernah berniat bermain-main ke sana. Tapi, kali ini pengecualian. Untuk pertama kalinya, Kai menginjakkan kakinya ke rooftop sekolah.
Tidak ada yang spesial di atas sana, selain beberapa kursi dan meja yang ditumpuk menjadi satu, menempel pada dinding dekat pintu.
Berdiri di atas sini, Kai merasa angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Matahari pada pukul 9 tidak terlalu terik. Pada beberapa titik masih terlihat genangan air. Barangkali, bekas hujan tadi subuh.
Kai memilih untuk duduk di salah satu kursi. Meluruhkan semua pikiran kacaunya di sana. Bagaimana jika ini adalah awal dari kehancurannya? Bagaimana jika ia tidak berhasil mendapatkan beasiswa full untuk masuk ke jurusan yang ia inginkan? Bagaimana jika semua rencana masa depannya hancur?
Apa yang dikatakan oleh Marcel malam kemarin itu benar. Kuliah jurusan psikologi itu tidak mudah. Tidak mudah masuk, juga tidak mudah keluarnya. Ada banyak orang seperti Kai yang juga mengincar jurusan di universitas impiannya. Kai tidak boleh gagal sedikitpun. Jika ia gagal, maka laun ia hanya bisa sadar diri bahwa impiannya akan menjadi sebatas impian.
Tanpa Kai sadari, setetes air mata mulai membasahi pipinya. Semua perasaan takut gagal selalu berhasil membuat Kai menjadi selemah dan sesensitif ini.
Kai hendak mengusap air yang turun tadi. Namun, sebuah tangan terulur dengan selembar tisu di sana.
Kai mendongakkan kepala melihat siapa pemilik tangan itu.
"Sean?"
🌟
Author's Note :
Halo Guys. Tiga bab pertama sudah berhasil kutulis dengan baik. Bagaimana dengan bab ini?
Apa kalian pernah mengalami kekhawatiran akan impian seperti yang dirasakan oleh Kai? Kalau ada, barangkali boleh diceritain di sini, yaa!
See you next chapter.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro