“Jangan mencari tahu tentangku, atau kau akan mati.”

Pesan singkat itu masuk ke ponselku, membuatku menggertakkan gigi karena kesal. Bagaimana mungkin aku tidak mencari tahu tentangnya sementara ia terus menerus mengirim pesan cabul kepadaku?

“Gil, ayo pulang!” Aku menoleh pada Gillian—teman sebangkuku yang juga merupakan tetanggaku—sembari menyampirkan tas di salah satu pundak. Lelaki itu mengangguk, lalu kami berjalan menuju ke luar kelas melewati lorong kursi yang berbeda, untuk kemudian bertemu di pintu kelas.

Tidak seperti biasanya, hari itu aku dan Gillian mengobrol sembari mengetik di ponsel kami masing-masing. Aku kesal dengan orang yang terus menerus mengirimkan pesan cabul sekaligus mengancam akan membunuhku, tetapi aku tidak bisa mengabaikannya.

“Gil, sedang apa?” tanyaku kemudian.

Gillian mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arahku. Saat itu kami sudah sampai di pinggir jalan, hanya perlu menyeberang sebentar untuk sampai di halte bus.

“Membalas pesan anonim,” sahutnya.

“Kau juga dikirimi pesan?” Kali ini aku sepenuhnya mengabaikan ponselku.
Sembari menyeberang, benakku bertanya-tanya. Apakah kami diteror oleh satu orang yang sama? Tapi Gillian laki-laki, atau, apakah orang yang mengirimi kami pesan itu adalah dua orang yang berbeda?

“Tidak,” katanya. Saat itu, kami telah tiba di halte yang kebetulan masih sepi, dan aku kembali mendapat pesan dari orang cabul itu.

“Aku berdiri di sebelahmu sekarang.”

- Tamat -