Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter {(5+5)÷5}


Apakah ini sebuah kutukan?

Aku menganggapnya demikian karena hal ini membuat masa SMA-ku menjadi neraka dunia bagiku. Aku adalah korban penindasan saat itu. Penyebabnya adalah OCD-ku ini. Meskipun yang kudapati hanya penindasan secara verbal ataupun berupa pesan-pesan yang berisi betapa anehnya diriku.

Sebagian orang ada yang bertahan melewati penindasan dan label buruk selama masa SMA. Dan sebagian lagi tidak. Sedangkan aku sendiri termasuk orang yang melarikan diri, aku memutuskan untuk mengikuti homescholing di tahun keduaku. Kejadian itu terlalu membekas bagiku.

Sebenarnya, aku berusaha untuk menyingkirkan anggapanku mengenai OCD yang menjadi kutukan bagiku. Karena sebagian lagi diriku yang lain percaya bahwa ini adalah caraku mengingat seseorang.

Lima adalah angka yang sempurna untukku. Lima sesuai dengan jumlah anggota keluargaku.

Satu untuk Ayah.
Dua untuk ibu.
Tiga untuk Daryl, kakak lelakiku.
Empat untuk diriku sendiri.
Dan angka lima untuk Rachel, adik perempuanku.

Ya, Rachel. Aku tak boleh melupakannya. Rachel yang menghilang sepuluh tahun yang lalu, tepat di hari ulang tahunku. Polisi mengatakan jika ini adalah kasus penculikan dan mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan Rachel. Namun, sampai sekarang tak ada kabar sedikit pun mengenai adikku.

Pada saat itu, aku yang berumur delapan tahun sangat memahami jika aku tak memiliki kuasa untuk menemukan atau hanya sekedar mencari Rachel. Tapi aku tahu, bahwa aku hanya perlu mengingatnya dan yakin jika Rachel masih hidup di luar sana. Dan sejak saat itu aku mulai terobsesi dengan angka lima.

Suara langkah seseorang yang menuruni tangga seakan menarik kesadaranku kembali. Aku masih berdiri di sini menatapi anak tangga terakhir.

Aku tak bisa melakukan ini!

Akhirnya kuputuskan untuk berbalik dan menuruni tangga, kembali ke lantai pertama tempatku sebelumnya. Sesampainya aku pada lantai pertama, dengan sedikit berlari aku menuju lobi elevator dan dengan cepat masuk ke dalam elevator ketika pintunya terbuka.

Aku memilih berdiri tepat di samping tombol-tombol elevator. Aku menekan tombol menuju angka dua sebanyak lima kali. Beberapa orang turut masuk ke dalam ruang sempit ini, di antara mereka memintaku untuk menekan tombol lantai tujuan mereka.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Dan tentunya aku kembali menekan tombol-tombol itu sebanyak lima kali. Aku tahu ini akan terlihat sangat aneh. Namun, aku tak dapat menghentikannya.

Hanya dalam beberapa detik, aku telah berada di lantai kedua, tempat tujuanku. Pintu elevator pun terbuka. Tanpa menunggu waktu lama aku melangkah keluar. Sekilas kutatap tangga tempatku sebelumnya terdiam diri di sana.

Jangan melewati tangga ketika berada di gedung ini, anak tangganya tidak berkelipatan lima!

Beberapa kali aku mengulang-ngulang kalimat itu di kepalaku. Mencoba menanamkannya secara permanen di otak.

Setelah menolehkan pandanganku dari tangga, tatapanku pun menjelajah tempat yang cukup luas ini. Student Lounge yang salah satu sisinya terdapat beberapa pintu yang salah satunya adalah pintu kelasku beberapa puluh menit ke depan. Dan sisi satunya terdapat railling kaca membatasi void space bangunan ini, jika aku melongok ke bawahnya, aku dapat melihat lantai pertama dengan jelas. Sofa-sofa berwarna marlin, greenery dan jingga seakan menambah cerah tempat ini. Kuputuskan untuk menunggu di tempat ini dan duduk pada sofa ke lima dari dekat pintu kelasku. Kutengok ponselku, masih tersisa empat puluh tujuh menit sebelum kelas dimulai.

Kuperhatikan orang-orang yang berada di tempat ini terlihat fokus dengan laptop atau buku catatannya, beberapa di antaranya sibuk berdiskusi dengan rekan-rekannya. Sisanya hanya lalu lalang dan sibuk dengan diri mereka masing-masing. Seakan tak peduli dengan kehadiranku.  Tak ada sekelompok drama queen ataupun penindas di tempat ini.

Aku tersenyum. Tak ada yang perlu kutakutkan!

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Kuketuk-ketukkan perlahan ujung telunjukku pada meja kopi bundar yang ada di hadapanku. Dan aku terus mengulanginya untuk membunuh waktu.

"Apa tempat ini kosong?" tanya seorang lelaki sembari menyentuh backrest dari sebuah sofa one seater berwarna greenery yang berada di dekat railling. Lelaki itu mengenakan hoodie kampus serta celana denim. Aku tak begitu jelas melihat wajahnya karena sedikit tertutup hood. Aku hanya dapat melihat rahang tegas, bibir tipis serta hidung yang tinggi.

"Ya," jawabku singkat.

Pria itu lalu sedikit menggeser sofanya lebih dekat ke railling lalu mendudukinya dan sedikit bersandar.   Napasnya sedikit terdengar olehku. Namun setelah kupastikan kembali, itu adalah suara dengkuran. Ia tertidur dan terlihat sangat lelap. Bagaimana bisa? Bukankah ia baru saja duduk di sini? Ia bahkantak terganggu oleh suara ketukan jemariku pada meja.

Kemudian ia sedikit menggeser posisi kepalanya sehingga membuat hood-nya terjatuh. Dengan cepat kualihkan pandanganku dari lelaki itu, aku tak ingin ia terbangun dan mengetahui jika aku memperhatikannya sedari tadi. Aku kembali sibuk mengetuk-ngetukan jemariku.

Namun tak sampai satu menit, aku kembali menatapnya. Entah mengapa aku begitu tertarik memperhatikan lelaki ini, mungkin karena aku begitu penasaran karena ia bisa tidur secepat itu. Atau mungkin saja karena aku terlalu bosan menunggu hingga kelasku dimulai.

Hood-nya yang terjatuh itu membuat wajah lelaki itu terlihat jelas olehku. Ia memiliki alis dan bulu mata yang lebat. Bahkan aku sendiri sebagai wanita sedikit iri melihatnya. Terlebih lagi, ia...

Tampan. Sangat tampan.

Aku terkesima sepersekian detik. Jemariku memang masih mengetuk-ngetukan meja, namun ini pertama kalinya aku lupa untuk berhitung sampai lima.

***
Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro