Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter {(5+5+5)÷5}


"Apa kau melihat Heidi ketika makan siang? Astaga, ia membagi bekalnya menjadi lima. Dan ia berhitung ketika memakannya."

"Aku tak ingin Heidi masuk dalam kelompok belajarku, ia sangat aneh."

"Kulihat Heidi memainkan handle pintu dan menghitungnya sampai lima."

"Ia harus masuk rumah sakit jiwa karena tingkah lakunya."

"Heidi adalah seorang pecundang."

Aku duduk bersila diatas tempat tidur. Dahiku mengeryit, kucoba menghiraukan suara-suara yang muncul di kepalaku. Kalimat-kalimat yang sering kudengar ketika SMA. Meskipun sudah berlalu, aku merasa cemoohan-cemoohan itu masih dapat kudengar.

Jangan pikirkan perkataan mereka, Heidi! Aku harus mengalihkan pikiranku! Alihkan pikiran! Alihkan pikiran! Alihkan pikiran! Alihkan pikiran!

Oh! Pikirkan lelaki yang tertidur lelap di student lounge pagi tadi!

Perlahan suara cacian itu menghilang dan tergantikan oleh suara gemericik hujan dari earpods-ku. Begitu tenang.  Mendengarkan suara-suara alam memang terkadang berhasil membuatku sedikit rileks, meskipun ini hanya suara buatan. Ibuku yang menganjurkanku untuk menenangkan diri dengan cara seperti ini, bermeditasi sejenak.

Tenang. Tenang. Tenang. Tenang. Tenang.

Namun ini hanya bertahan sejenak. Suara pintu kamar yang terbuka berhasil mengacaukan pikiranku. Aku mengangkat kedua kelopak mataku dan mengedipkannya selama lima kali.

"Sampai jumpa esok hari," suara itu milik Dayana yang sedang berbicara dengan seseorang yang berada di koridor asrama.

Dayana Erica Cunningham, aku bahkan sudah menghapal nama panjangnya. Ia adalah gadis berkulit gelap dan berambut keriting hitam yang berkilau. Ia sangat pandai merias wajahnya, terlihat dari tampilannya yang sangat berbeda jika tanpa memakai make up. Selain itu, ia pandai memilih pakaian, seperti yang saat ini kulihat. Meskipun ia hanya memakai celana denim dan kaus motif bergaris saja, namun ia terlihat sangat modis.

Berbeda denganku yang hanya memakai kaus longgar dan celana pendek, sangat tidak menarik.

Kemudian Dayana menutup pintu dan melemparkan tubuhnya pada kursi belajarnya sembari menghela napas panjang.

Kulepaskan kedua earpods yang menempel di telingaku. "Se... sepertinya, ini adalah hari yang melelahkan untukmu?" meskipun sedikit ragu, aku mencoba membuka obrolan dengannya.

Dayana meletakan tas yang tergantung di bahunya ke lantai, dan merogoh ponsel dari dalamnya. "Mm-hmm," ia hanya menjawab tanpa menggunakan kata dan sibuk mengetikan sesuatu pada ponselnya.

Ia tak menggubrisku. Aku sedikit menyesal karena mencoba menyapanya. Seharusnya aku diam saja dan berpura-pura melanjutkan meditasiku. Aku memang tak pandai bersosialisasi.

"Bagaimana denganmu?" tanya Dayana tepat sebelum aku kembali memasang earpod-ku.

Aku menyembunyikan senyuman kecilku dengan cara sedikit menunduk. Aku sedikit senang ketika ia menanyaiku.

"Tidak terlalu," aku mencoba bersikap biasa saja ketika menjawab pertanyaannya itu. Aku tak ingin terlihat menjadi seseorang yang sangat berusaha untuk 'berteman'.

Kemudian Dayana meletakan ponsel pada mejanya. "Kau tahu? Kafetaria yang terdapat di gedung barat memiliki muffin yang lezat."

Aku sedikit terkejut ketika kali ini Dayana dengan ramahnya mengajakku berbicara. Dan pada menit-menit berikutnya, entah bagaimana caranya kami berdua mengobrol seakan seperti teman yang sudah sangat lama saling mengenal.

Mungkin karena kami memiliki sebuah persamaan; menjadi korban penindasan verbal pada masa sekolah. Dayana bercerita bahwa ia dahulu dianggap buruk rupa oleh sekelompok penindas.

"Aku bahkan sampai tak berani menatap wajahku pada cermin waktu itu," ucapnya sembari terkekeh.

Bagiku Dayana sangat menyenangkan ketika diajak berbicara. Meskipun terkadang di tengah pembicaraan ia selalu mengeluh mengenai anggota tubuhnya yang 'tak sempurna', seperti lengannya yang menurutnya besar, ataupun mengenai wajahnya yang berminyak. Sesaat, hal-hal yang ia keluhkan itu membuatku membandingkan dirinya dengan diriku sendiri, dan tentunya aku jauh lebih tak menarik. Aku tak pandai berdandan ataupun memilih pakaian.

Namun, itu tak begitu penting bagiku. Yang lebih penting adalah Dayana tahu mengenaiku OCD-ku dan ia tak sedikitpun menganggapku gadis yang aneh.

Berhasil masuk ke Universitas ini, bertemu dengan lelaki tampan pada hari pertama dan memiliki teman sekamar yang menyenangkan. Aku merasa ini adalah sebuah pertanda baik bahwa kehidupanku akan berubah jauh lebih menyenangkan.

Kuharap, tak ada lagi yang memanggilku Heidi si aneh.

***

Dayana berhasil memaksaku untuk ikut dengannya pergi ke bioskop. Ia mengatakan jika aku harus menemaninya dalam group datingBahkan ia memilihkan pakaian dan mencoba mendandaniku, tentunya aku menolaknya.  Semua itu bermula sejak beberapa minggu yang lalu, Dayana mulai berkencan dengan salah seorang senior dari universitas kami. Namanya Benjamin Crayton. Dan karena lelaki itu,  aku sedikit kekurangan tidur karena setiap malam aku harus mendengarkan cerita antara dirinya dan Benjamin.

Rasanya aku ingin menertawakan diri sendiri. Bagaimana bisa aku datang pada sebuah group dating? Sedangkan aku sendiri tak memiliki teman kencan. Jika bukan karena Dayana, aku sangat tidak mungkin mendatangai acara sejenis ini.

Sedari tadi mataku menatap ke arah poster-poster film yang tertempel di salah satu sisi dinding tempat ini. Mencoba menghilangkan rasa bosanku dengan membaca semua tulisan yang ada di poster-poster itu. Dan tentunya kuulangi sampai lima kali. Namun, rasa bosanku tentu tak semudah itu menghilang.

Sampai satu persatu orang yang mengikuti group dating ini pun muncul, termasuk salah satunya adalah Benjamin. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Benjamin. Dari kesimpulan instanku ketika melihat sosok itu adalah; Dayana terlalu berlebihan memujinya. Badannya memang atletis, namun lelaki itu tak cukup tampan  jika dibandingkan dengan si lelaki tertidur yang pernah kutemui itu.

Dayana langsung menempel pada Benjamin seketika, meskipun terkadang ia mengajakku untuk mengobrol dengan dua orang yang lainnya—Henry dan Tina. Tanpa perlu kutebak, tentu saja kedua orang ini adalah sepasang kekasih.

Sama seperti Benjamin, Tina adalah salah seorang senior kami. Gadis itu jauh terlihat dewasa dari penampilannya, rambut berwarna merah dengan potongan bob serta lipstik berwarna gelap. Sedangkan Henry adalah seorang pegawai magang di salah satu koran elektronik di kota ini. Dari bagaimana caranya bicara, sepertinya umurnya sepantar denganku dan yang lainnya.

Ketika mereka mengobrol mengenai pertemuan pertama mereka sebelum menjadi kekasih, Dayana dengan mudah menangkap kebosananku yang kembali menatap ke arah lain. Aku tahu ini sedikit berlebihan, namun sesekali aku mengasihani diriku di sini tanpa memiliki pasangan.

"Tenang saja, ada seorang senior tampan yang akan datang. Dan sebagai informasi penting untukmu; he is available," bisik Dayana. Ia memang pandai membuatku tiba-tiba bersemangat.

Tak sampai satu menit setelah Dayana berkata demikian, seseorang muncul dari kejauhan. Pria itu bertubuh sangat tinggi dan memiliki rambut berwarna pirang—sama sepertiku. Ia datang menghampiri kami seorang diri. Tentunya bisa kutebak jika ia adalah senior yang diceritakan Dayana.

Kami pun berkenalan. Aku mencoba untuk meninggalkan kesan baik untuknya. Namun, ia terkesan tak begitu ramah, dan cara bicaranya cukup menyebalkan. Kepribadiannya sama sekali bukan tipeku.

Namun, apa salahnya jika aku mencoba mengenalnya? Bisa saja, ia lebih baik dari perkiraanku.

"Dimana Natasha?" dengan santainya Tina bertanya padanya, sepertinya mereka sudah sangat mengenal sejak lama.

Dan siapa Natasha?

"Ia tak bisa datang karena harus pergi menjaga neneknya di rumah sakit," jawabnya.

"Kau tak menemaninya ke sana?" Tina menanyakannya kembali.

"Tentu saja tidak, di sana pasti sangat membosankan. Dan aku tak begitu menyukai neneknya," balas Alex.

"Oh, sialan! Kau bukanlah pacar yang baik!" sambar Henry.

Baiklah, aku tahu siapa Natasha. Kekasih Alex. Dan aku langsung meralat pikiranku sebelumnya. Mencoba 'mengenal' kekasih orang lain bukanlah ide yang baik.

Saat ini hanya tinggal beberapa menit sebelum film yang akan kami tonton dimulai. Dan siapapun lelaki available yang dikatakan Dayana, ia masih belum menunjukkan dirinya. Ia tak datang.

Kulemparkan pandanganku kembali ke tempat lain. Mencoba mengasingkan diri dari obrolan-obrolan mereka mengenai pasangannya satu sama lain. Namun, situasi sekitar tak terlalu mendukungku. Begitu banyak pasangan berlalu lalang di tempat ini, bahkan aku baru menyadari jika sebagian besar poster-poster yang tertempel di dinding adalah mengenai film percintaan. Seakan semua itu mengejek kesendirianku secara bersamaan. Akhirnya kuputuskan menghitung lampu-lampu yang ada di langit-langit, setidaknya pikiranku mulai sedikit teralihkan.

"Pop corn?" tiba-tiba seseorang menyodorkah sebuah bucket berisi penuh pop corn dihadapanku.

Ketika aku menoleh ke sumber suara itu, aku menangkap wajah seseorang yang cukup familiar bagiku.

"Halo, Heidi. Senang bertemu denganmu," ia menarik tanganku, sedikit memaksa ketika mengajakku bersalaman. "Namaku Sam."

Ia tersenyum memperlihatkan giginya. Bersamaan dengan itu aku menyadari bahwa ia memiliki lesung pipit di sebelah kiri pipinya. Aku teringat pada saat pertama kali aku menatap wajahnya, aku sedikit mengahumi ketampanannya. Ia adalah si lelaki tertidur yang kutemui di hari pertamaku. Mungkin ia sama sekali tak mengingatku. Tapi itu tak jadi masalah besar. Setidaknya, kali ini aku mengetahui namanya.

Namanya adalah Sam. Sam. Sam. Sam. Sam.

***
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro