6. My Memories
"Sepertinya..., aku mulai tertarik padamu,"
Perkataan Furukawa san masih tergiang di benak ku. Malam itu, seminggu telah berlalu. Aku terus berusaha mengenyahkan kata-kata itu, tetapi tetap saja tidak bisa.
Aku menunduk dan menyembunyikan wajahku di tengah usahaku berkonsentrasi untuk belajar di Perpustakaan kampus.
Ya, belakangan ini aku terus mencari kesibukan untuk mengalihkan perhatian dari semua pikiran itu. Lantaran kata-kata Furukawa san masih membekas di hati hingga sekarang. Aku belum menceritakan apa pun pada Shira. Karena aku tahu dia akan bereksi berlebihan lagi seperti biasa dan menagih janji taruhan diantara kami saat itu juga, taruhan kalau Furukawa san benar-benar tertarik padaku, padahal itu belum dipastikan benar adanya.
Aku mendesah, "Astaga, aku tidak bertanya lagi apa maksud perkataan Furukawa san saat itu!" gerutuku pelan sembari memangku dagu di kedua tanganku.
Aku teringat malam itu saat Furukawa san mengatakan hal yang bagiku tak terduga, untungnya Shira dan Kaito kun datang dan membuyarkan rasa gugup ku pada saat itu juga. Hingga akhirnya Furukawa san tidak membahas hal itu lagi padaku.
Setelah itu Furukawa san bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa diantara aku dan dia di tengah makan malam, bahkan hingga ketika kedua laki-laki itu mengantar ku dan Shira sampai di Apartemen dengan selamat.
Di saat itu juga, Furukawa san tidak menghubungi ku lagi sampai sekarang.
Aku menarik nafas gusar, hingga aku meraih botol berisi air untuk diminum. Berharap bisa membasahi tenggorokan ku, sekaligus agar bisa mengenyahkan pikiran tentang semua hal mengenai Furukawa san sejenak.
Tiba-tiba ponsel bergetar di meja belajar. Aku menutup dan menaruh kembali botol airku di meja lalu mengambil ponsel. Tertera ada sebuah pesan dari Ayato di layar ponsel. Aku membuka pesannya dan mulai membacanya,
"(Y/n) chan, kau dimana? Aku menelpon Cafe tempatmu bekerja tapi kau sedang ambil cuti."
Aku melayangkan jemariku dan mengetik untuk membalas pesan,
"Aku di Perpustakaan Kampus. Kamu bisa datang kemari kalau mau,"
Aku menaruh ponselku di tempat semula. Berselang beberapa menit, Ayato muncul sembari menaruh ranselnya di atas meja.
Ayato meminta minumanku di hadapannya dan aku memperbolehkannya. Lalu ia dengan asal mengambil botol ku dan meminum sisa air di dalamnya hingga habis. Aku melototi pada Ayato sebelum laki-laki itu tertawa kecil padaku.
"Maaf. Nanti aku ganti minumanmu yang habis," ujar Ayato yang mengerti arti reaksiku.
Aku menghela nafas, "Tumben kamu belum di jemput Manajer mu?"
Ayato menggaruk kepala sejenak, "Ya, aku sudah mengatakan padanya bahwa aku harus cuti 1 minggu untuk fokus belajar menjelang ujian tengah semester,"
"Oh, sama halnya denganku. Untung Ryo-san mengerti dan mengizinkanku cuti dari pekerjaanku,"
"Tentu saja Ryo-san akan memperbolehlan mu! Ngomong-ngomong, dimana Shira?" tanya Ayato.
"Aku disini..."
Suara kecil perempuan terdengar dari belakang Ayato hingga pemuda itu menoleh ke asal suara. Shira muncul dari belakang lemari buku sambil membawa beberapa buku mata kuliah untuk di pelajari bersama. Shira menaruhnya diatas meja dan duduk di sebelahku.
Ayato mengerjap menatap heran pada Shira, "Padahal tadi aku tidak melihatmu sama sekali disini,"
"Mungkin hawa keberadaan ku akan menipis jika aku sedang serius membaca," jawab Shira asal tanpa memandang si lawan bicara.
Ayato mengerut dahi sambil terkekeh, "Kebiasaan mu tidak pernah hilang setiap kali kamu serius membaca buku,"
"Kenapa? Bukan kah itu keren?" tantang Shira.
"Ssshhh....." terdengar suara desisan yang kuyakini dari pengawas tempat ini. Kami bertiga menoleh ke asal suara yang ternyata wanita berkacamata itu berdiri di belakang ku dan Shira.
"Ini Perpustakan, jadi jangan berisik!" desis wanita itu dengan tegas.
Kami bertiga terdiam sebentar sebelum membungkuk sedikit untuk meminta maaf karena telah membuat kebisingan.
Setelah wanita itu pergi, kami bertiga menahan tawa dalam diam sejenak sebelum kami mengalihkan fokus pada buku untuk dipelajari bersama.
*
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur setelah aku membersihkan diri dan bersiap-bersiap untuk tidur. Sejenak aku memejamkan mata saat rasa kantuk mulai menguasaiku karena lelah.
"(Y/n) chan, kau belum berhubungan lagi dengan Furukawa san? Atau setidaknya bertukar pesan dengannya?" tanya Shira penasaran.
Aku membuka mataku lagi, "Tidak. Kau? Apa kau ada bertukar pesan dengan Sho-san? Kalau tidak salah kalian sudah bertukar kontak, bukan?" tanyaku lagi setelah menjawab.
"T-Tadi dia menelponku dan meminta bertemu denganku," ujar Shira yang terdengar tersipu.
Aku menoleh pada Shira hingga aku bangkit dan terduduk diatas kasur. Kini rasa lelah berganti dengan rasa antusias, "Benarkah?!"
"I-Iya," jawab Shira gugup.
Aku menyipitkan kedua mataku, "Ja-Jadi, apa itu kencan??" tanyaku menggoda.
Shira memelotiku dan menggeleng cepat, "Itu tidak akan mungkin! Sho-san tidak mungkin tertarik padaku!"
Aku tertawa kecil melihat Shira yang salah tingkah, "Lalu, itu apa selain kencan?"
Shira menyisir rambutnya setelah mandi dan berpakaian dengan piyama menjelang tidur, sembari wajahnya tengah berpikir dan menggeleng cepat untuk mengelak pertanyaanku.
"Sudah hentikan! Daripada itu, bagaimana denganmu dan Furukawa san?? Ada perkembangan?" Giliran Shira yang bertanya hingga aku terdiam sejenak.
Menimbang-nimbang untuk menceritakannya atau tidak, aku menggeleng cepat dan merebahkan tubuhku lagi di kasur.
Shira yang baru selesai menyisir rambutnya segera menaruh sisir di meja rias dan menghampiriku yang berpura-pura tidur.
"(Y/n) chan, jawab pertanyaanku! Pasti ada kan?!" tanya Shira penasaran sambil menarik selimut yang kini ku pakai.
Saat selimut yang kupakai berhasil ditarik Shira, aku mendengus "Shira-chan, kami belum ada komunikasi! Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya," timpalku mencoba tidak begitu peduli.
Shira terdiam dan menatapku meneliti sesuatu sejenak, "Tapi sejak malam itu dari Izakaya.... Seminggu ini aku melihatmu lebih banyak melamun dari biasanya," jelas Shira khawatir, "Belakangan ini aku melihatmu terus muram seperti memikirkan sesuatu,"
Aku bergeming sebentar memikirkan apa yang dikatakan Shira, lalu aku bangkit dan terduduk lagi di kasur, "Shira-chan, maafkan aku karena seminggu ini aku telah membuatmu khawatir." ucapku menyesal.
"(Y/N) chan...," panggilnya lembut sembari meraih tanganku dan mengusapnya dengan lembut.
"Ya, selama ini aku ragu harus mulai dari mana jika aku menceritakannya padamu. Setengah diriku begitu mendebarkan, tapi aku masih terbelenggu oleh masa malu hingga membuatku takut untuk merasakan kesedihan lagi,"
Shira tersenyum muram dan masih mengusap tanganku lembut, "Maafkan aku. Kau tidak perlu cerita jika kamu ragu,"
Aku menggeleng cepat, "Tidak, kamu adalah temanku," kilah ku, "Aku akan cerita,"
"(Y/N) chan, aku bersedia mendengarkan kapan pun.."
Aku tersenyum simpul, merasakan kelegahan di hati. Betapa beruntungnya, aku masih memiliki sosok teman yang mau mendengarkan keluh kesah ku.
Lantas, aku mulai menceritakan malam itu di Restauran Izakaya, ketika Shira dan Kaito kun sedang berada di kamar kecil. Furukawa san mengucapkan kata-kata aneh layaknya ia mampu menebak isi hatiku saat ia melihatku menangis sambil menyaksikan penampilannya di panggung kecil waktu itu, dan berakhir saat pemuda itu mengatakan ia mulai tertarik padaku.
Shira membekap mulutnya dengan kedua tangannya karena terkejut, "Yabai..."
"Ya, dan sampai sekarang kami belum saling berkomunikasi," aku terkekeh, "Rasanya kurang etis jika aku menelponnya lebih dulu di kala Furukawa-san sibuk dengan karirnya. Aku tidak bisa mengganggunya,"
Shira mengerjap sembari memposisikan duduknya yang menurutnya nyaman, "Lalu, apa yang membuatmu muram selama ini? Apa kau bersedia untuk cerita?" tanya nya pelan.
Aku mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Bersiap-siap untuk membuka pengalaman masa laluku yang begitu menyedihkan.
"Dulu saat aku masih SMA, aku pernah menyukai seseorang. Namanya Kent. Dia tampan, pintar dan juga cukup terkenal di kalangan pelajar. Dia merupakan teman dekatku, dan ia bercita-cita menjadi Dokter. Saat aku mengatakan perasaanku, ternyata dia memiliki perasaan yang sama terhadapku.
"Dan akhirnya kami pacaran. Itu adalah masa-masa terindah saat aku dan dia sering bersama hampir setiap hari. Lalu saat ujian menjelang kelulusan, kami putus. Dia berkata ingin fokus pada karir di masa depan, sekaligus ingin mengejar cita-citanya agar bisa disandingkan dengan Ayahnya yang merupakan Dokter spesialis Jantung.
"Egonya mengalahkan segalanya, hingga Kent mau merelakan aku. Disitu aku sadar betapa bodohnya saat aku diam-diam mendaftarkan diri untuk berkuliah di Universitas yang sama dengan Kent dan mengambil jurusan bagian Perawat. Saat itu aku berpikir dengan cara begini, aku bisa akan selalu bersamanya dengan bekerja di Rumah Sakit yang sama kelak.
"Lalu saat pengumuman kelulusan keluar dari Universitas dan aku dinyatakan lulus, aku memutuskan mengundurkan diri dan menyia-nyiakan kesempatan itu. Kau tahu, awalnya orang tuaku tidak tahu kalau aku lulus. Aku berbohong pada mereka bahwa aku tidak diterima di Universitas itu. Hingga selama satu tahun itu aku memutuskan bekerja, sampai mencoba mendafatarkan diri lagi untuk masuk ke Universitas lain di jurusanku sekarang agar sebisa mungkin tidak bertemu dengan Kent lagi."
Aku tertawa dan mencibir diriku sendiri saat aku selesai bercerita, sambil mengingat betapa naifnya diriku yang dulu. Shira hanya menatapku prihatin selama mendengar kisahku.
Lalu Shira menghamburkan pelukan erat padaku dan mengusap kepalaku pelan, "Terima kasih banyak sudah mau cerita padaku. Aku bisa mengerti perasaan mu sekarang. Kau tidak ingin lagi tersakiti dan disia-siakan hanya karena sebuah karir,"
Tak sadar air mataku keluar hingga dadaku terasa sesak, namun berusaha ku tahan sebisanya. Toh, itu sudah masa lalu. Namun rasa cemas dan ketakutan itu terus menghantuiku. Itu lah mengapa aku memutuskan untuk tidak ingin memiliki kekasih. Aku hanya tak ingin hal yang serupa terulang lagi...
Shira melepaskan pelukannya setelah beberapa menit. Gadis itu termangu sejenak, "Maafkan aku karena sempat mendesakmu untuk berpacaran dengan Furukawa san,"
Aku tersenyum tipis dengan perasaan kini yang lebih lega, "Tidak apa-apa,"
Lalu Shira mendesah, "Akhirnya aku sadar betapa naif nya saat berpikir berteman dengan sosok Public Figure dan Seiyuu adalah hal yang menyenangkan. Mereka memiliki pekerjaan di dunia hiburan, bahkan banyak orang mengidolakan mereka. Tapi aku tidak pernah berpikir jika hal itu akan berhasil atau tidak,"
Aku mengerut dahi sejenak, "Maksudmu??"
Shira menatapku sambil memberi isyarat, "Sepertinya aku akan menolak ajakan Sho-san untuk bertemu kali ini."
"E-ehh??" Aku mengerjap heran. Tak mengerti mengapa Shira ingin menolak ajakan Sho san untuk bertemu, "T-Tapi kenapa??"
Shira tersenyum tipis, "Karena belum tentu akan berjalan baik jika aku menerima ajakan Sho san. Memang, di lingkungan dan budaya ini kami menganggap segala pekerjaan apapun adalah setara dan tidak membeda-bedakan. Tapi untuk hal ini, aku merasa...tidak ingin mengambil resiko lebih jauh," ucap Shira sedikit muram.
Lalu ia menghela nafas, "Mulai sekarang, aku memutuskan untuk menjadi seorang fan yang hanya mengagumi dan memberikan dukungan penuh untuk para Seiyuu dari kejauhan," lanjutnya sembari tersenyum lebar.
Aku ikut tersenyum, "Baiklah, jika itu keputusanmu. Aku dukung,"
Kami terdiam dan tertawa kecil bersama, sebelum akhirnya kami bersiap-siap untuk tidur dan menanti hari baru di esok hari.
*
Disisi lain...
Tengah malam, pemuda itu berdiri di dekat jendela. Menatap pemandangan luar di hari gelap sambil merasakan sensasi angin malam yang begitu dingin. Tak banyak yang ia lakukan selain merenung. Memikirkan tentang gadis yang seminggu lalu ia akui ketertarikan padanya.
Lalu ia menghela nafas. Tak bisa menghapus sosok gadis itu di dalam pikirannya.
Ia terus bertanya-tanya, apa kabarnya dia? Mengapa gadis itu tak pernah menghubunginya? Apa gadis itu masih terkejut saat ia berterus terang padanya? Apa ia harus menghubunginya lebih dulu?
"Apa aku terlalu membuatnya terkejut?" tanyanya pelan pada diri sendiri.
Tiba-tiba ponsel berdering, membuat lamunan pemuda itu menjadi buyar. Lalu ia meraihnya dari meja nakas yang ternyata teman seprofesinya menghubunginya. Pemuda itu menghela nafas dan mengangkatnya,
"Halo, Massu-san??"
"Halo Makonyan, apa kau sudah mempersiapkan segalanya untuk acara Goriyaku besok??"
Pemuda itu menghela nafas, "Ya, sudah semuanya. Sekarang aku sedang istirahat sejenak. Nanti aku hafalkan lagi script nya,"
"Ahh, aku sangat menantikannya! Hatano-san terus menghubungiku karena ia begitu gugup untuk tampil sebagai bintang tamu!!"
Pemuda itu terkekeh, "Benarkah? Kalau begitu besok, ayo kita lakukan yang terbaik!"
"Oke, sampai jumpa besok di lokasi acara!"
Saat telepon terputus, pemuda itu menghela nafas panjang. Berpikir sejenak, akhirnya ia putuskan untuk bertemu dengan gadis itu lagi saat ia selesai melakukan pekerjaannya di Kyoto dan kembali lagi ke Tokyo nanti.
*
Sorry, ceritanya agak random kali ini. Hingga tak ada adegan kebersamaan MC dan Makonyan🙏🏼. Di chapter ini penulis menekankan kegalauan tokoh masing" paskah Mako mengucapkan ketertarikan pada MC.
Lalu ada bagian cerita saat Shira memutuskan untuk menolak ajakan Sho Karino. Penulis tidak bermaksud untuk memojokkan profesi Seiyuu, dan ini hanyalah sebuah karya FIKSI.
Terima kasih atas perhatian kalian semua! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro