Chapter 4
"Yuki. Aku pergi dulu. "
Yuki yang sedang menonton spons kuning dilayar televisi menoleh pelan kearah (Name) yang berdiri tak jauh darinya. Kedua alisnya menyatu dengan mulut mengucut.
"Hei, aku hanya pergi sebentar. "
Yuki mendengkus pelan, kembali menatap televisi. Mengabaikan (Name) yang berdiri terdiam dibelakangnya. Kedua tangannya memeluk erat bantal sofa, menenggelamkan setengah wajahnya diempuknya bantal.
(Name) menghela napas pasrah, membenarkan jaket tebal yang dipakainya. Indonesia masih diguyur salju hingga saat ini, terhitung mungkin sudah dua hari sejak salju pertama turun dengan ajaib.
Orang-orang mulai memperbarui gaya berbusana mereka. Dari yang hanya mengenakan bahan tipis kini berganti ke jaket tebal dan sweter hangat yang bisa menghandang dinginnya cuaca diluar sana.
Pemerintah mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan terus mengikuti perkembangan fenomena ini tanpa terserang panik dan berita bohong.
Urusan keluar rumah juga tetap diperbolehkan, namun dengan catatan jika ingin keluar maka dihimbau untuk memakai pakaian tebal dan berlapis, tentu (Name) menuruti anjuran pemerintah. Ia tak ingin membeku dijalanan hanya karena mambangkang dari himbauan.
Lagipula ia juga belum terlalu terbiasa dengan perbedaan suhu yang mencolok dari iklim tropis menjadi sub tropis? Atau hanya salju yang turun dan membuat Indonesia sedikit membeku?
"Baiklah. Aku pergi dulu, tolong jaga rumah ketika aku tak ada, ya? "
Yuki tetap tak menjawab, dengan senyum maklum (Name) berjalan menjauh dari Yuki. Membuka handel pintu lalu menutup rapat pintu rumahnya.
Yuki menoleh perlahan ketika suara pintu tertutup tertangkap oleh indra pendengarannya. Mata senada rambut sebahunya memancarkan binar yang tak menentu.
Yuki sendiri pun tak paham dengan perasaan meledak-ledak yang terasa panas didadanya ini.
'•'
"Eh? Kok gelap? "
(Name) menoleh kekanan dan kekiri setelah memberitahukan kepulangannya kerumah dan mendapati sesisi rumahnya gelap gulita tanpa penerangan sama sekali. Rambutnya yang tertumpuk salju ditepuk-tepuk pelan. Setelah merasa tak ada salju yang menumpuk dikepalanya, (Name) berjalan masuk keruang tamu sambil meraba tembok untuk mencari saklar lampu.
Ketika jemarinya menekan tombol disaklar lampu seketika seluruh ruangan dipenuhi cahaya yang berasal dari lampu yang ia hidupkan.
Kaki (Name) melangkah pelan, mencari seseorang yang biasa ia beri perintah untuk menghidupkan lampu ketika hari sudah petang.
Mata (Name) tak sengaja menangkap objek yang sedang terduduk diam dipojokan dengan pandangan tajam. Hampir saja ia berteriak keras dengan jantung yang kelaur dari mulut saking seramnya tatapan yang dilemparkan obyek itu.
"Yuki? Sedang apa kau disana? "
Yuki membuang muka, tak lagi menatap wajah (Name). Lengannya memeluk erat bantal sofa, mengucutkan bibir dengan dahi terlipat.
(Name) seperti melihat uap tipis imajiner keluar dari kepala Yuki yang terduduk diam dipojok ruang tamu, sepertinya Yuki marah pada dirinya?
"(Name) bohong, katanya hanya pergi sebentar. "
Ah. Ternyata itu sebabnya, Yuki marah karena ia tak menepati janjinya.
(Name) melangkah kembali, menundukkan badan ketika sudah sampai didekat posisi Yuki yang sedang terduduk. Masih membuang muka.
"Maaf. Tadi ada beberapa hal yang harus kuuurus. Lain kali aku berjanji akan menepati ucapanku. "
(Name) tersenyum tipis ketika ada sedikit respon yang diberikan oleh Yuki, kini laki-laki itu melirik dirinya dengan tatapan sedikit bersahabat. Walau belum mau menghadapkan wajahnya langsung pada (Name), yang terpenting Yuki sudah mau memberi respon positif padanya.
"(Name) kenapa ketika kau tak menepati ucapanmu, dadaku terasa meledak-ledak dan panas? Apa ada bom yang akan meledak didalam diriku? "
(Name) menyemburkan sedikit tawa ketika pertanyaan polos dikeluarkan oleh Yuki. Ia berdeham singkat untuk meredakan tawanya yang mungkin sebentar lagi akan keluar tanpa henti.
"Tentu bukan, Yuki. Itu namanya perasaan marah. Yuki marah karena aku tak menepati ucapanku. "
Yuki termenung, menatap kakinya sendiri dengan wajah berpikir. Ia bergumam pelan dengan jemari mengetuk lengannya sendiri.
"...aku juga marah ketika ditinggal (Name) sendirian dirumah. "
Yuki berkata tegas dengan tatapan lurus kemanik (Name). Laki-laki itu memasang wajah super serius dengan alis menukik.
(Name) mengusap wajahnya sendiri, salahkah ia berpikir jika lelaki tampan yang terduduk diam dipojokan sambil memeluk bantal sofa terlihat sangat menggemaskan?
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro