Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#58

Guysss maap banget jadi jarang update 🥺
Lagi berusaha buat lebih rajin lagi nih biar bisa kelarin season 2 dan lanjut season 3 wkwkwkwkk 🥲🥲🥲

Semangat buat bacanya!!!

Horasss!!!

**********

Spontan saja aku melepaskan tangan yang sejak tadi melingkar di tubuhku. Mataku membeliak melihat Yoongi berdiri tak jauh dari pandanganku, lalu menghampiri kami.

"Oh, dia ngambek karena aku tidak mau menemaninya." Aku menunjuk batang hidung cowok di belakangku yang diam saja.

"Ya sudah. Sana pulang. Kan kau yang mengganggu me time-ku. Kok aku yang disalahkan?"

Bocah berengsek. Aku menahan diri tidak memukul Jungkook yang langsung masuk ke studio tanpa memedulikan eksistensiku lagi.

Giliran aku yang mati kutu. Lha... kenapa malah aku yang keki?? Kan aku tidak melakukan kesalahan.... Rasanya seolah aku habis melakukan sesuatu yang salah sampai-sampai enggan membalas pandangan yang sejak tadi menyorotku lekat.

"Ayo kuantar pulang."

"Hah?" Aku mengangkat kepala dan bertanya seperti orang bodoh. "Katanya tadi mau aku temani?"

"Tidak jadi. Aku capek. Aku antar pulang saja."

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Bingung dengan ucapan tak jelasnya. Namun, aku mengangguk dan mengikutinya pergi.

Gedung kantor begitu sepi. Hanya ada beberapa staf yang melembur dan trainee yang sibuk latihan. Keadaan malah makin senyap karena di antara kami, tak ada yang berbicara.

Sepanjang perjalanan, kesenyapan masih mengalir. Aku berdeham. Sepertinya ini waktu yang tepat ya untuk mengatakan bahwa aku sudah memutuskan pilihan untuk S2?

"Hey," sapaku.

"Hm?"

Ia bahkan tak marah kupanggil 'hey'. Padahal, biasanya sangat membenci sapaan seperti itu.

"How's your day?"

"Good. You?"

"Aku berhasil membunuh naga."

Praktis saja cowok di sebelahku ini menoleh dan tertawa. "Hah?"

"Aku berhasil menyelesaikan sebuah permainan," lanjutku. "Skornya tidak jauh beda dengan Taehyung."

Ia tertawa. "Kau mau bilang apa?"

Ia memang paling peka dan tak suka basa-basi.

Aku menyadari bahwa mobilnya melaju ke arah apartemenku sendiri. Aku menyimpan topik pembicaraan soal kuliah dulu.

"Kau beneran mengantarku 'pulang'?"

"Hm... memangnya kau tidak mau pulang? Oh, aku sudah menghubungi pengawalmu untuk mengawasi beberapa malam ini."

"Hey!" Aku memotong ucapannya. "Aku tidak butuh Han Geun. Aku hanya tidak suka kembali ke sana.... Antar aku ke hotel saja."

"Itu cukup riskan. Atau kuantar ke tempat temanmu saja?"

Bola mataku berputar ke atas. "Bilang saja kau sedang tidak mau melihatku."

"Bukan seperti itu...."

"Lantas?" Aku melebarkan mata. "Kalau kau butuh waktu sendirian, tidak apa. Bilang saja."

Ia menghela napas panjang. "Ada wartawan yang sedang memantau di dekat unitku."

Dahiku mengernyit. Aku mendengus. "Fine. Suruh Han Geun pulang dan antar aku ke tempat Naina."

Ia tak membalas lagi sementara aku memasang wajah memberengut. Kulipat tangan di depan dada karena kesal.

"Maaf," katanya. "Aku tidak punya pilihan."

Kau memang selalu bilang begitu.

*

Alih-alih tidur nyenyak, aku malah terjaga sepanjang malam. Naina sibuk dengan tugas makalahnya dan berulang kali mengutuk. Aku hanya memandang langit-langit. Kadang miring ke kanan atau kiri, lalu kembali telentang.

"Ah! Aku bisa gila kalau lama-lama begini!" Naina memberantakkan rambut. "Waktu buat fangirling aja nggak ada! It's unfair. My world is ridiculous." Cewek itu lalu menutup laptop karena malas melanjutkan tugas, seperti biasa. Aku sangat hafal kelakuannya.

Ia lalu merangkak naik ke ranjang dan berbaring di sampingku.

"Heh, kenapa belum tidur?" tanyanya. "Ini udah jam tiga."

"Gue mau absen besok."

"Lha?? Emang kenapa?"

"Males." Aku mengembuskan napas panjang. "I didn't event have time to tell him about my college. Padahal gue udah harus cabut Juni ini."

"Lagi?" Naina mendesah panjang, seolah-olah hal seperti ini sudah sering menimpaku. "Masalah lo ama dia keknya dari dulu komunikasi deh. Harusnya lo belajar di Ilkom, bukan seni."

Aku terkekeh pendek. Pandanganku masih lurus ke atas. "I'm so tired."

"Ya udah, tidur aja."

Aku menoleh ke arahnya. "I'm so tired with this relationship. It's fucked up."

Ia mengedip beberapa kali. "Terus? Lo mau gimana? Setelah semua yang lo perjuangin, gini aja nyerah?"

Aku merasa tidak cocok dengan kehidupan seperti ini. Sangat melelahkan. Setiap hari harus berurusan dengan hal-hal yang tak kusukai. Dibuntuti wartawan, hampir celaka gara-gara sasaeng, tidak bisa leluasa melakukan ini itu, tidak bisa bertemu dan melepas rindu kapan pun yang kumau. Aku lelah sekali.

Aku hanya ingin hidup tenang.

Saat itu juga, ponselku berbunyi tanda pesan masuk.

Hai. Sudah tidur? Aku tidak ingin mengganggu dengan menelepon pagi buta begini, apalagi jika kau sudah tidur.

Aku minta maaf karena malah tidak jadi quality time seperti yang aku minta. Aku memang egois karena memikirkan diriku sendiri. Bahkan alasan apa pun sepertinya tidak pantas aku berikan.

Aku kembali ke studio karena wartawan itu masih belum juga pergi. Aku hanya ingin kau tidak terganggu dengan itu. Maaf sekali lagi....

Aku tidak mau menjanjikan apa-apa karena khawatir tidak bisa kutepati lagi. Aku hanya akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukannya. Aku tahu itu melukaimu.

Maaf dan selamat tidur.

Teks sepanjang itu. Ia jarang sekali mengirimnya. Tandanya ia memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Aku tak membalas dan hanya meninggalkan tanda dibaca untuknya.

"Nggak dibales?" tanya Naina.

"Besok aja." Aku berbaring miring, meletakkan ponsel ke nakas, lalu mencoba memejamkan mata untuk tidur.

*

Suara alarm ponselku berbunyi nyaring sekali. Aku setengah sadar, mengingat kalau itu yang kesekian kalinya karena aku malas mematikan dan bangun. Jadi, kubiarkan saja ponselku merongrong. Tidak ingat kalau aku masih di tempat Naina.

Tak lama kemudian, alarm ponselku mati. Aku hanya menghela napas panjang dan menggumam, masih dengan mata tertutup.

"Maaf ganggu banget suaranya, Na.... Gue males bangun.... I don't have energy to wake up."

Aku merasakn kasur Naina bergetar, seperti ada yang mendudukinya. Lalu, sesuatu yang hangat menyentuh dahiku lembut.

"Kau demam?"

Praktis saja aku membuka mata dan memutar badan. Masih dengan mata menyipit, aku melihat seseorang duduk sambil mengamatiku. Aku mengucek mata untuk memastikan pandanganku tak salah.

"Why are you in here?"

"Memastikan kau baik-baik saja, Bae. Kau hanya membaca pesanku, bahkan tidak mengangkat panggilan. Temanmu sudah berangkat pagi-pagi sekali."

Aku kembali telentang dengan satu tangan terlipat di atas perut. Menutup mata lagi. Padahal, tadinya aku memang niat bolos. Ternyata badanku tiba-tiba terasa sakit.

"Kenapa badanku sakit sekali?" gumamku.

"Kau demam," ia mengulangi lagi. "Aku panggilkan dokter kalau kau izinkan."

Aku menggeleng. "Tidak usah. Aku memang sakit-sakitan. Nanti juga sembuh sendiri." Aku menoleh. "Tidak kerja?"

Yoongi mengangkat tangan dan menatap jam tangannya. "Aku masih ada waktu untuk merawatmu."

"Oh...."

Sepertinya kesadaranku masih belum pulih karena kepalaku sangat pening. Biasanya, Naina akan menawarkan jalan ninja dengan koin dan balsem alias kerokan. Aku tak pernah mau karena malah membuat badanku sakit berkali-kali lipat.

"Bisa bangun?"

Aku sedikit mengangkat badan dibantu olehnya. Punggungku diberi bantal. Kupegang leher dan dahiku. Memang terasa panas.

"Ah, sial," gumamku. "Padahal aku niat bolos, bukan sakit beneran."

"Kenapa kau mau bolos?"

Pertanyaan itu membuatku menoleh ke arahnya. "Malas saja lihat Kyunghee yang belagak ngebos. Dia merebut pekerjaanku." Aku bersungut-sungut.

"Aku merasa bukan cuma itu alasannya."

"Tidak ada alasan lagi."

"Padahal, tadi aku berniat memberikan ini untukmu di kantor." Ia mengeluarkan sesuatu dan menyodorkannya kepadaku. "Aku tidak pernah membayangkan memberikan hadiah ulang tahun saat kau sakit begini."

"Maaf ya. Aku harus memberi tahu kalau aku memang gampang sakit kalau pulang terlalu malam." Sebenarnya sih karena stres.

Kupandang kotak berukuran sedang itu, lalu menerimanya. Aku membukanya dan mendapati sebuah bola kaca yang berisi dua boneka kecil berhadap-hadapan. Di sekitarnya terdapat pepohonan dengan bunga bermekaran. Aku menekan salah satu tombol, membuat serpihan bunga-bunga merah muda di dalamnya bergerak riuh. Bibirku mengembangkan senyum simpul.

"Terima kasih," kataku.

"Kau bisa memandangi itu jika merindukan Seoul."

Aku menoleh.

"Aku sudah tahu kau mengambil tawaran dari Queen Mary."

"Naina yang memberi tahu?"

"JK."

"Ah...." Aku merapatkan bibir. "Maaf karena kau tidak mendengarnya dariku sendiri."

"Tidak apa." Ia meraih kepalaku dan mengusap rambutku perlahan. "Aku bawakan sup rumput laut ke sini. Sebentar."

Aku memandang langkahnya sampai lenyap dari balik pintu, lalu beralih ke bola kaca di tanganku, menekan sekali lagi tombolnya sekadar melihat serpihan bunga itu bergerak ramai menyelubungi sepasang boneka di dalamnya.

Ia kembali lagi dengan senampan makanan, kemudian meletakkannya ke nakas dan menyeret kursi dari meja belajar Naina.

Aku hendak meraih nampan itu, tetapi ia mendahului dan mengarahkan sendoknya ke arahku untuk memberikan suapan.

"Aku tidak mungkin membiarkanmu makan sendiri," katanya.

Aku menyeringai dan menerima suapan darinya.

Bahkan tak sampai di sana. Ia membawakan baskom berisi air hangat dan handuk kecil yang diambil dari lemari penyimpanan—ia menanyakannya dan aku jawab saja tanpa banyak tanya. Lalu, mengusapkan handuk basah itu ke tangan, kaki, leher, dan wajahku.

"Hey," kataku. "Aku tidak sakit parah, tahu. Aku masih bisa jalan ke kamar mandi."

Ia tersenyum. "Aku hanya ingin melakukannya." Ia melanjutkan lagi. "Aku bisa melakukan ini seumur hidupku."

Aku tertawa mengejek. "Alay."

"Alay?" tanyanya bingung.

Aku baru menyadarinya. "Artinya berlebihan. Cringe."

"Ah...." Ia tertawa kecil.

Tangannya yang menggenggam handuk kecil bergerak menepuk-nepuk wajahku. Ia menyingkirkan beberapa helai rambutku yang menempel di wajah. Aku memandanginya dengan saksama. Mata kami bertemu. Senyumnya kembali mengembang. Aku menahan tangannya.

Tolong beri aku alasan kuat untuk tetap bersamamu.

"Kenapa?" tanyanya. "Kau butuh sesuatu?"

Aku sungguh-sungguh tidak ingin melakukannya.

Ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Pandangan matanya begitu hangat. Rasanya, aku bahkan tak sanggup mengatakan semua hal di kepalaku saat ini.

"Aku lelah," kataku.

Ia masih terdiam. Tanganku juga masih ada di genggamannya.

"Aku mau tidur," lanjutku.

Ia tersenyum dan mengusap rambutku. "Baiklah. Aku akan ke sini lagi setelah pekerjaanku beres."

Aku mengangguk. Ia membawa pergi baskom berisi air itu. Aku memandanginya lekat, lalu mengembalikan bantal ke posisi semula. Kupejamkan mata sambil mengatur napas.

Selang beberapa waktu, saat aku sudah hampir terlelap, kurasakan lagi kehadirannya. Ia mengusap telapak tanganku. Beberapa waktu. Sebelum mendaratkan ciuman di dahi dan berlalu pergi.

Mataku terbuka lagi.

Padahal, aku ingin sekali dengan tegas menyudahi semuanya. Tapi, rasanya berat sekali.... Perasaanku terhadap dirinya terlalu besar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro