#57
Wah... cowok ini benar-benar sudah gila.
Aku harus menahan malu dan perasaan awkward ketika orang-orang memandangi kami setelah itu. Mau tak mau, aku segera berpamitan dan mengatakan kepadanya akan menunggu di apartemen saja daripada mengomel.
Ya... seperti sekarang. Aku merutuki diri sendiri, merutuki dirinya, sambil menekan dahi dengan rasa jengkel. Aku sampai tak bisa fokus dengaan pekerjaan di laptop. Berulang kali aku mengecek ponsel sekadar menunggu pesan darinya. Ah... pasti bullshit lagi. Yang ia lakukan tadi pasti hanya akal-akalan untuk mengalihkan perhatianku. Benar-benar berengsek.
Namun, jantungku langsung melompat saat mendengar suara pintu dibuka. Aku spontan berdiri dari kursi dan melangkah ke depan, melihat Yoongi menggantung jaket dan melipat tangan di depan dada.
"Aku pulang," katanya.
"Welcome," balasku hiperbolis. Aku berkacak pinggang. "Jangan lakukan itu lagi. Sekarang, aku harus bagaimana saat pergi ke kantor?! Mukaku taruh di mana?" Aku menggerakkan tangan di depan wajah. Mendesis kesal.
"Biar kita bisa bebas pacaran di kantor," jawabnya enteng.
"Itu bukan cara yang tepat, duh." Aku memukul dahiku.
Ia tersenyum tanpa ekspresi, membentuk bibirnya menjadi garis lurus. "Oke. Mau mengobrolkan soal tadi?"
"Ya. Tentu." Aku mengacungkan jari. "Tunggu di sini. Aku mau ke kamar mandi dulu."
"Oke." Ia duduk di sofa, sementara aku melangkah menuju kamar mandi.
*
Aku membuka mulut mendengar penjelasannya yang sulit kupahami.
"Kau... membuat kesepakatan dengan orang sinting macam Kyunghee... untuk mencari tahu orang di balik grup sasaeng itu?" Aku tersenyum hiperbolis. "Amazing! You stole my job for a ridiculous reason, darling." Aku mendesah putus asa.
"I just want to protect you."
"Ya... ya... kau berhasil. Congrats and thank you."
Ia menyerahkan amplop di meja. Jemarinya bergerak menunjuk benda itu, memintaku untuk memeriksanya. Aku meraih amplop itu dan mengambil foto di dalamnya. Rasanya seperti ada petir yang menyambar di siang bolong. Aku membuka mulut saking syoknya.
"What the...."
Siapa yang menyangka kalau pelaku dari semua kekacauan ini ternyata orang yang sudah kukenal?!
*
Keadaan kampus agak sepi karena tak banyak dari mahasiswa yang berkeliaran di jam-jam matahari terik seperti ini. Aku melihat Naina yang duduk di bangku. Begitu melihatku mendekat, ia buru-buru berdiri dan langsung nyerocos.
"I have the culprit!" serunya langsung pada intinya.
Hari ini, kami memang sepakat untuk bertemu karena memiliki topik yang sama. Semalam, Naina mengirimkan pesan, mengatakan bahwa ia berhasil mencari tahu orang di balik grup itu. Well, sangat sangat kebetulan karena aku juga mengantongi pelaku ini.
"Gue tahu, Naina," kataku.
"Really?!"
Aku tahu kami punya satu nama yang sama karena Naina memberikan mimik wajah yang bisa kutebak. Kecewa, kesal, marah, bercampur jadi satu. Seperti saat aku salah sangka kepadanya dulu. Aku tahu ia tak ada hubungannya dengan semua ini. Namun, Naina, yang sangat mengenal orang ini, pasti dibikin kecewa.
Karena kami tak ingin gegabah, kami harus memikirkan cara untuk menangkap basah orang ini. Naina sepakat dengan rencanaku. Ia akan bersikap sewajarnya sesuai arahanku. Untuk itu, aku memintanya terus memantau grup dan pergerakan si pelaku.
Kami berniat berpisah lagi karena aku masih punya banyak hal yang harus aku selesaikan. Namun, aku ingat harus mengabarkan sesuatu kepada Naina.
"Anyway," kataku. "Gue udah memutuskan akan mengambil studi di mana."
Naina mengubah ekspresinya. Aku melenyapkan senyumku. Namun, buru-buru Naina kembali tersenyum dan menepuk pundakku.
"Jadi... lo beneran pergi?"
Aku mengangguk. "Kesempatan nggak datang dua kali."
*
Jam pulang kantor, aku melihat teman-teman sekantor yang satu per satu meninggalkan ruangan. Hanya aku yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaan terakhir. Juga Kyunghee yang entah mengapa memandangiku sejak tadi dari balik kubikelnya. Aku menyatukan alis tak suka.
"Lihat apa?" tanyaku ketus.
Ia beranjak dari kursinya dan menghampiriku. "Mau minum bareng?"
"Tidak." Aku masih fokus mengetik. Namun, Kyunghee tak kunjung pergi. Aku menengadah dengan raut muka kesal. "Tolong tinggalkan aku."
"Kau tidak pernah menyukaiku, ya?"
"Ya," jawabku cepat tanpa memandangnya. "Aku sangat sangat tidak menyukaimu. Karena apa? Kau berhasil membuat hidupku berantakan di sini. Sesuai dengan ucapanmu waktu itu."
Ia tertawa kecil. "Oh... kau masih mengingatnya." Ia menekan satu tangannya di mejaku, semakin mendekat. "Kalau aku tidak meminta posisimu saat ini, toh kau juga akan tetap pergi, kan? Itu bukan murni kesalahanku. Itu semua pilihanmu. Kenapa kau harus melemparkan kekesalanmu kepada orang lain? Ah... karena kau butuh orang untuk disalah-salahkan. Orang yang bersedia kau jadikan samsak kemarahan. Seperti... aku. Dan juga... asisten pacarmu yang baru."
Aku memejamkan mata, lalu memutar kursiku untuk berhadapan dengannya. Aku menengadah, bertukar pandang dengannya. Dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku mengiyakan ucapannya. Aku sadar bahwa aku sedang menyangkal perasaan itu.
"Kalau iya, memangnya kenapa?" tanyaku.
"Sayang sekali. Padahal, aku sangat menyukaimu. Kau yang dulu," ralatnya. "Kau tahu kenapa aku sangat terobsesi untuk mengacaukan hidupmu? Karena aku melihatmu sebagai seseorang yang... menarik. Yang membuatku iri sekaligus menyukaimu. Kau paham perasaan seperti itu, kan?" Ia tersenyum. "Kau... sangat menawan. Jadi, aku tidak kaget kalau dia akhirnya tergila-gila kepadamu."
Aku memutar bola mata kesal. "Oke. Jadi, kau sangat ingin mengacaukan hidupku karena iri? Dan menyukaiku? Wow, aku sangat sangat tidak bisa relate dengan itu, Kyunghee. Aku tak pernah menyukai sekaligus iri kepada seseorang." Bola mataku mendelik kesal.
Ia terkekeh mengejek. "Jadi, bersedia menjelaskan kenapa kau ingin sekali menggunakan orang lain sebagai samsak kemarahanmu?"
Aku tersenyum hiperbolis. "Bukan urusanmu." Karena malas meladeninya, aku segera mematikan komputer dan mengemasi barangku.
Kyunghee menghela napas panjang. "Kalau kau begini terus, kau akan kehilangan orang-orang yang kau sayang."
Aku yang tadinya sudah berbalik badan dan melenggang pergi seketika berhenti, menoleh ke belakang.
"Thanks for your advice." Lalu, melanjutkan langkah meninggalkannya.
*
Alih-alih pulang, aku berpindah ke lantai studio. Lorong studio sangat sepi, tetapi aku bisa mendengar samar-samar suara musik yang disetel keras dari beberapa studio. Aku menghentikan langkah di depan pintu Golden Closet. Sebelum menekan bel, pintu sudah dibuka, menampakkan wajah bingung Jungkook. Matanya yang berkilau membulat lebar.
"Kau mau pergi?" tanyaku.
"Ah... tidak. Aku tadi melihat bayangan di pintu, jadi aku pikir makanan pesananku sudah datang." Ia menyengir. "Mau masuk? Atau kau sedang janjian dengan Hyung?"
Aku menggeleng. "Aku ingin main ke tempatmu."
"Oke...." Ia mempersilakan aku masuk.
Sudah lama sejak aku terakhir ke studionya. Aku duduk di sofa setelah meletakkan tas di meja, lalu melihat komputernya yang menyala. Layarnya menampilkan YouTube.
"Aku sedang bosan, jadi iseng-iseng melihat video editan penggemar." Ia tertawa. "Lihat, Noona, aku keren sekali di sini. Menurutmu, apakah aku keren kalau seperti ini?"
Aku menghampirinya dan membungkuk melihat layar komputernya. Aku tersenyum.
"Cool."
"Ya, kan? Aku ingin terlihat keren seperti ini."
"Kau sudah keren." Aku terkekeh. Tiba-tiba, aku mengingat kejadian waktu itu. "Kau sangat keren bisa menghajar orang jahat."
Cowok itu menoleh ke arahku. "Ah...." Ia berhenti sejenak, seperti memikirkan sesuatu. "Kau belum memberi tahu siapa orang itu."
"Kau belajar bela diri dari mana?" Aku mengalihkan obrolan.
"Sejak kecil," jawabnya. "Tapi, baru-baru ini, aku hobi boxing. Sangat menyenangkan. Saat memukul orang yang mengganggumu waktu itu, ada kepuasan sendiri bagiku."
"Dia pantas mendapatkannya."
Ia memandangku. "Jadi, mau jawab pertanyaanku? Dia siapa?"
Hm... rupanya tingkat keingintahuannya sangat besar. Aku tidak bisa mengalihkan obrolan. Aku memilih menjatuhkan tubuh ke sofa, berbaring memandang langit-langit.
"Orang yang ingin sekali aku bunuh."
"Sungguh? Apa itu metafora?" tanya Jungkook yang sudah memutar kursi dan menggerakkannya mendekatiku.
Aku tersenyum. "Iya. Metafora."
Ia memandangku selama beberapa saat. "Dia... pasti menyulitkanmu."
"Sangat."
"Sudah lapor polisi?"
"Dia orang kaya."
"Ah...."
Terjadi keheningan panjang. Aku bangkit dari rebahan dan duduk menghadap dirinya. "Menurutmu, apakah aku berubah?"
Ia tertawa kecil. "Sangat."
"Oh, ya?"
"Entahlah, mungkin karena kita sudah lama tidak bertemu?" Ia menaikkan kedua bahunya. "Biarpun begitu, aku tetap menyukaimu. Jangan khawatir."
Dahiku mengernyit. Aku terkekeh pendek. "Aku akan mengambil studi lanjutan di London."
Seketika, senyuman Jungkook lenyap. "Sudah memutuskan?"
"Hm-hm. Di Queen Mary. Aku mendapatkan LoA dari Queen Mary, Universitas Leiden, dan Universitas Glasgow. Kurasa, aku akan cocok kalau di Queen Mary."
"Sudah bilang Hyung?"
Aku menggeleng. "Aku belum memberi tahu pilihanku. Setelah ini, aku akan memberi tahu."
"Oh." Ia mengangguk. Terjadi kesenyapan lagi. Ia menggerakkan kursi kembali ke meja komputer, fokus lagi dengan benda elektronik itu. Kini, ia membuka aplikasi lain dan tak mengajakku berbicara lagi.
"Hey," panggilku. "Kau masih punya utang hadiah ultah yang kau janjikan dua tahun lalu."
Jungkook menoleh sekilas. Ia menyengir singkat. "Kau masih mengingatnya."
"Jadi, aku boleh minta hadiah itu?"
Ia terdiam cukup lama. Aku mengembuskan napas panjang. Kenapa tiba-tiba sedrastis ini perubahan reaksinya? Aku berdiri dan menyampirkan tas ke pundak. Mungkin, aku harus memberinya waktu sendirian.
"Aku tidak akan mengganggumu." Lalu, melangkah pergi.
Aku memandang pintu studio yang tertutup di belakangku, masih bingung dengan reaksinya. Apakah ia kesal karena aku tak memberi tahu detail orang yang dihajarnya waktu itu? Atau kesal karena aku meninggalkannya?
Aku mengecek ponsel. Ada pesan dari Yoongi yang mengatakan bahwa ia akan segera ke gedung agensi dan memintaku menemaninya sebentar. Pesan itu sudah dikirim sekitar lima belas menit lalu. Aku memasukkan ponsel. Sebelum melangkahkan kaki, tiba-tiba pintu Golden Closet di belakangku terbuka dan ada yang memelukku dari belakang, membuatku terkejut.
"Aku sudah tidak tahan lagi." Suara JK terdengar di dekat telingaku.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku. Namun, aku tak melepaskan tangan yang sedang melingkar di tubuhku.
"Aku mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan mengatakannya kepadamu."
"Jangan katakan."
"Kau pikir aku bisa terus-menerus menahan diri? Berdiri seperti orang bodoh? Dan membohongi diriku sendiri?"
"Please, ini bukan saat yang tepat."
"Memangnya, kalau ada saat yang tepat, kau tetap membiarkan aku mengatakannya?"
Aku membuang napas panjang. Pelukannya sangat erat. Seolah-olah ia tak ingin melepaskanku sampai keinginannya terkabul.
"Aku mencintaimu, Noona. Aku ingin memberikan semua hatiku kepadamu," katanya. "Itu hadiah dariku. Dan kau berhak untuk menerima, merawatnya, atau bahkan mematahkannya."
Aku merasakan kehadiran seseorang yang langsung menghentikan langkah kakinya begitu melihat kami.
"Apa yang kalian lakukan?"
********
HARUSNYA GUE TUH UPDATE PAS KONSER BUAT MENGOBATI HATI KALIAN YANG GA IKUT NONTON. Tapi gue lupa mulu wkwkwkwk :( Maaf ya
BTW, entah kenapa gue ngerasa kayak karakter Yoon di sini bener-bener bedaaaa banget sama dia di kehidupan nyata. KAYAK DIA DI SINI ITU UDAH BEDA ORANG, BUKAN LAGI MEMBER BTS YANG LU KENAL. KAYAK HIDUP SENDIRI. KALIAN PAHAM GA SIH 😭😭😭 DAN GUE NAKSIR SAMA KARAKTER YANG GUE BIKIN DI SINI. IM IN LOVEEEE MAN PLEASE GUE GA WARAS. BERASA MENCINTAI BIAS GW, SUGA BTS DI KEHIDUPAN NYATA, DAN KARAKTER FIKSI DI SINI YANG BERBEDA SAMA BIAS GUE. HELP
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro