#52
Samar-samar, aku mendengar suara di dekatku. Seperti suara ponsel yang memutar sesuatu. Agak tidak jelas. Tak lama, aku membuka mata perlahan dan berhadapan dengan langit-langit polos. Kerongkonganku rasanya kering. Kepalaku masih pusing. Ketika menoleh ke samping, aku mendapati seseorang sedang berbaring di sofa lengan panjang sambil mengamati ponsel. Sedikit bunar, tetapi aku bisa mengenali Naina dari kejauhan. Aku membuang napas panjang.
Apa yang terjadi?
"Oh!" Suara gadis itu terdengar kaget begitu melihatku membuka mata. Naina spontan melompat dari sofa sambil melempar ponselnya. "Lo bisa denger gue, nggak??" Suaranya melengking.
Aku mengangguk. "Berisik," balasku lemah.
"Ah!" Ia langsung memelukku hingga membuatku mengernyit. "Lo nggak tahu ya gue di sini semaleman nunggu dan takut kenapa-kenapa."
"I'm good." Aku mencoba melepaskan pelukannya.
Sadar sedang membuatku sesak, Naina menjauhkan diri dan menyengir. "Sowry. Gue panik abis denger kabar lo keracunan."
"Huh?" Aku mencoba mengingat-ingat kejadian sebelum ini. Kuangkat tanganku yang terpasang selang infus. "Oh... gue nggak inget."
Naina duduk di kursi dan melipat tangan di atas bankar. "Gue dengar dari bodyguard yang jagain lo kalau lo keracunan di kafe. Untung dia sigap banget dan lo bisa ketolong."
Aku tak membalas dan hanya memandang Naina yang tampak khawatir. Setelah cukup lama memandang ke sana-sini, aku baru menyadari kamar rawat ini begitu hampa.
"Dia nggak datang?" tanyaku.
Naina tampak bingung menjawab. "Uh... kayaknya... nggak ada yang ngabarin."
Aku praktis menoleh. "Kenapa?"
Naina menggaruk kepala. "Hapenya nggak aktif. Kayaknya lagi sibuk."
Aku mengangguk. Keadaan menjadi lebih hening. Mataku memejam lagi.
"Aku akan terus nyoba ngasih kabar," kata Naina hati-hati. "Sebentar, ya." Gadis itu beranjak dan berlari ke luar. Aku menoleh melihatnya lenyap di balik pintu. Sebelum pintu tertutup, aku melihat Han Geun yang mengawasi di luar. Naina kelihatan menyeretnya untuk mengajaknya bicara.
Aku sedikit menyesal kenapa harus selamat.
*
Dokter baru mengabari setelah hasil tes keluar. Ada sedikit kandungan sianida dalam tubuhku yang kemungkinan tertelan dari gelas di kafe. Begitu mendengar penjelasan itu, Han Geun berlutut di depanku dengan wajah menyesal.
"Saya minta maaf," katanya. "Seharusnya, saya lebih teliti memeriksa.
"Ah, kenapa kau sampai berlutut. Aku memaafkanmu. Berdiri." Aku melambaikan tangan.
Ia masih berdiam diri. Aku mendecak lidah.
"Saya masih menyelidikinya. Dan, sesuai permintaan Anda, tidak ada polisi yang terlibat."
"Terima kasih."
Lelaki itu menengadah, lalu berdiri. Kepalanya masih menunduk. Aku memintanya ke luar karena butuh waktu untuk merenung sendirian. Ia melenggang patuh.
Orang gila mana lagi yang melakukan itu kepadaku? Sambil memikirkannya, aku mengamati pemandangan kota dari balik jendela.
Kudengar pintu dibuka. Aku membuang napas panjang. Pasti Naina datang untuk mengomel atau berceloteh setelah dikabari Han Geun soal hasil tes laboratorium.
"Aku lagi nggak mood dengerin—"
Tiba-tiba badanku dipeluk dari belakang, cukup erat. Ini bukan aroma parfum Jo Malone Naina.
"Maaf."
"Eh, lepaskan...."
Alih-alih melepaskan pelukannya, Yoongi malah mengeratkannya. Penyesalan dirinya tertuang dalam pelukan itu.
"Aku tidak apa," kataku. "Aku bisa mati tercekik kalau begini."
Ia sedikit melonggarkan pelukannya, meski tak melepaskan tangannya yang melingkari perutku.
"Aku berutang maaf dan bersedia menanggung balasannya."
"Kau ini ngomong apa sih." Aku tertawa. "I'm fine. Aku tahu kau sibuk."
Ia tak membalas dan hanya mengusapkan dahinya di atas pundakku. Aku biarkan saja dirinya menyesali diri seperti itu. Hujan mengguyur di luar. Langit berkilat beberapa kali, melepaskan guntur.
*
Aku bangun dalam keadaan sakit kepala. Sepertinya, semalam aku tidur lebih cepat dan nyenyak karena efek obat. Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku tak menemukan siapa pun.
"Selamat pagi." Seorang dokter dengan satu perawat masuk dan menyambutku.
"Pagi."
"Bagaimana? Sudah agak lebih baik?" Ia mulai memeriksaku.
"Hm." Aku mengangguk. "Kapan aku bisa pulang? Aku rasa aku baik-baik saja."
Dokter Park tersenyum. "Kami akan mengobservasi dulu. Kau bisa pulang kalau keadaanmu benar-benar pulih dan tidak ada efek-efek berkelanjutan."
Aku tersenyum kecut. Aku tidak suka bau tempat ini.
Setelah dirasa cukup melakukan kunjungan pasien, Dokter Park dan perawat berlalu pergi. Bersamaan itu, seseorang nyelonong masuk dan meletakkan seikat bunga di vas yang kosong.
Mataku mengerjap mendapati Jungkook yang tak menyapa atau basa-basi dulu.
"Heh. Dasar tidak sopan," tegurku.
Bocah itu menoleh. Ia melepas topi dan jaketnya, kemudian melemparnya ke sofa.
"Kami baru diberi tahu. Maaf baru menjenguk." Ia duduk di samping bankar. "Kau jelek sekali kalau begini."
"Anak berengsek." Aku menyentil hidungnya. Ia menyengir dan mengusap hidungnya.
"Saat mendengar kabarmu, Hyung langsung mengambil penerbangan awal." Ia mendecak, lantas mengambil sebutir apel dari keranjang buah. "Manajer kami pasti sengaja memberi tahu belakangan karena khawatir malah mengacaukan suasana hatinya. Kami sedang shooting, tahu."
"Aku memang menyusahkan."
"Memang." Jungkook menggigit apelnya. Aku tersenyum. Kupandangi ia dengan saksama. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Kau makin dewasa."
"Kenapa? Takut akan jatuh cinta?"
Aku mendesis. Jungkook menoleh ke kanan-kiri.
"Sejak dia pulang duluan, aku tidak melihat Hyung sama sekali," katanya.
Aku membuka ponsel yang sudah terisi daya penuh. Ada banyak pesan yang kuabaikan, termasuk dari Yoongi.
"Hm... dia ke dorm." Aku memandang bocah di depanku. "Kau sendirian?"
"Hm. Yang lain titip salam dan minta maaf belum sempat ke sini. Seharusnya ada jadwal pagi ini. Tapi aku sengaja telat demi melihatmu."
"Ish." Aku mengacak-acak rambutnya. "Terima kasih." Ia menahan tanganku. Aku lupa ia tak suka diperlakukan begitu.
"Noona." Ia membuka suara. "Putuslah dengan Hyung."
Bibirku mencebik. "Biar apa?"
"Ini bukan soal diriku." Ia menghela napas panjang. "Kau tahu kan risiko pacaran dengan kami itu berbahaya. Seperti keluarga BIN. Kau akan lebih sering diteror. Aku hanya tidak mau melihatmu terluka."
Aku tersenyum. "Tidak mau." Aku menjulurkan lidah, membuat Jungkook mendecak kesal.
"Ini bukan main-main," lanjutnya.
"Aku juga tidak main-main."
"Kau memang keras kepala, ya." Jungkook melempar sisa apelnya ke keranjang sampah.
"Kau juga keras kepala." Suara Yoongi terdengar dari pintu, membuat Jungkook memutar bola mata. "Ayo pergi." Ia memutar kepala Jungkook untuk menoleh ke arahnnya.
"Ah, Hyung, aku belum selesai."
"Manajer Sejin sudah menelepon berkali-kali. Jangan matikan ponselmu."
Bibir Jungkook mencebik. Ia memandangku. "Cepat sembuh." Lantas, meraih jaket dan topinya dari sofa sebelum melangkah pergi.
"Dia ngomong apa lagi?" tanya Yoongi.
"Tidak. Hanya celotehan tidak jelas. Seperti biasa."
"Jadwalku sangat padat sampai malam. Sepertinya, aku belum bisa kembali sampai besok pagi."
"Tidak apa. Tolong, fokuslah."
Ia meraih jemariku dan memandanginya cukup lama. Aku tak diberi kesempatan bertanya, karena ia langsung mencium dahiku sebelum berlalu pergi.
"Bye," serunya sebelum lenyap.
Begitu tak melihatnya lagi, aku memandang tanganku. Ada sekelibat pikiran di kepala. Senyumku sedikit mengembang.
Apa ia sedang mengukur jari-jariku?
*
Sebelum jam berkunjung selesai, Han Geun menyempatkan datang dan memberikan sebuah amplop cokelat besar kepadaku. Aku menerimanya, kemudian menengadah. Ia tak membuka suara.
Begitu kukeluarkan isinya, aku menyeringai.
"Apa ini?" tanyaku melihat foto-foto anak yang tampaknya masih SMA. "Jangan bilang ini sasaeng." Aku memandang Han Geun. Raut wajahnya seakan mengiyakan ucapanku. Aku memandang lagi foto-foto yang memperlihatkan seorang anak SMA yang sedang mengoleskan sesuatu di pinggiran cangkir minumanku.
"Setelah saya cari tahu, dia salah satu anak orang berpengaruh."
"Sepertinya keputusanku untuk tidak membawa kasus ini ke polisi sudah benar, ya? Percuma. Dia akan lolos dari jeratan hukum dan malah aku yang akan kena boomerang." Aku memasukkan lagi foto-foto itu ke amplop besar dan mengangsurkannya ke Han Geun. "Kerja bagus."
Han Geun menerima amplop itu. "Apa yang akan Anda lakukan? Ini sudah berbahaya."
Aku tersenyum kecil. "Hm... apa ya?" Lalu, memandang Han Geun yang menunggu jawaban. Senyumku terukir semakin lebar. "Aku akan memberi pelajaran kecil setelah keluar dari sini."
*
"Kau yakin sudah boleh keluar?"
"Hm. Setelah observasi, aku dinyatakan baik-baik saja. Kau tidak usah menjemput. Aku akan pulang bersama Naina."
Di seberang sana, kudengar desahan napas Yoongi. Ia kelihatan tidak percaya dengan omonganku.
"Jangan khawatir," kataku seraya memandang bunga pemberian Jungkook sambil membereskan pakaianku. "Kita akan bertemu di apartemen. Datang besok saja. Aku ada urusan dulu."
"Urusan apa?"
"Girl's sleepover bareng teman ARMY-ku." Aku tertawa. "Kau mau ikut dan memberikan kejutan pada teman-temanku? Tara.... Yang ada mereka akan pingsan."
"Oke, oke. Aku percaya kok."
"A-ah." Aku menggeleng. "Kau hanya berusaha untuk percaya." Aku menarik ritsleting tas. "Yang penting aku sudah memberi tahu. Aku akan menunggumu."
"Oke."
Aku mematikan sambungan. Kuambil bunga di vas. Han Geun masuk dan membantuku membawa tas besar yang berisi baju selama perawatanku di sini, sedangkan aku membawa tas pundak dan menggenggam bunga pemberian Jungkook.
Sebelum keluar, Dokter Park masuk.
"Nona, ini bukan waktumu untuk keluar. Masa observasi belum selesai."
"Aku sehat kok." Aku menempelkan punggung tangan ke dahi. "Kalau ada apa-apa, aku akan mengabari langsung."
"Tapi—"
Aku berbisik pelan. "Apa uang yang kukasih belum cukup?"
"Bukan begitu, Nona."
"Aduh, kalau begitu, biarkan aku pergi." Aku mengangkat kaki, lalu berhenti. "Kalau pacarku cari tahu, kau sudah tahu harus menjawab apa, kan?"
Dokter Park mengatupkan bibir rapat. "Baik, Nona."
"Good. Terima kasih banyak, Dok! By the way sampaikan ke bagian katering, ya. Makanan di sini hambar."
Aku lalu melanjutkan langkah diikuti Han Geun.
"Wah... kau lihat tadi?" tanyaku pada lelaki yang kini berjalan di sampingku. "Aku sudah seperti tokoh antagonis di drama Korea yang hobinya menyogok orang." Aku terkekeh. Kupandang Han Geun yang masih diam. "Ish. Jangan tampilkan raut wajah begitu. Kau bikin aku merasa bersalah."
"Nona...."
"Hm?"
"Anda yakin melakukan itu?"
"Kenapa?" Aku tersenyum. "Jangan ragu. Orang-orang seperti mereka harus dikasih pelajaran langsung." Aku tertawa dan melenyapkannya detik berikutnya. "Sebelum semakin kurang ajar."
*
"Heh!! Lepaskan aku! Dasar kurang ajar! Aku akan menuntut kalian! Lepaskan aku!"
Aku melihat seorang siswi SMA sedang diikat di sebuah kursi kayu. Ia meronta-ronta dan berteriak lantang. Han Geun yang berdiri dekat di depannya hanya memandangi tanpa kata.
"Ahjussi, tolong lepaskan aku! Ayahku akan memberimu banyak sekali uang! Jangan bunuh aku!"
"Aish. Berisik sekali, sih." Aku mendecak lidah dan berjalan menghampirinya. Gadis itu menatapku sambil menyipitkan mata, berusaha mengenaliku.
Aku melepas kacamata hitam dan membungkuk di depannya. Gadis itu membuka mulut kaget.
"Eonnie, ja-jangan bunuh aku."
Aju menyeringai. "Bukannya kau yang berusaha membunuhku, hah?"
"Aku bercanda."
"Bercanda kepala bapakmu." Aku mendorong dahinya dengan telunjuk dan mendecak lidah. Wajah gadis itu semakin pucat. Ia menggumam minta maaf dan minta dilepaskan.
"Jangan bunuh aku. Aku mohon. Aku janji tidak akan mengusikmu. Ya, ya?"
Aku tertawa kecil. "Kenapa kau jadi ciut begini, sih? Kau tidak menyangka ya berhadapan dengan orang sepertiku?" Aku mengembuskan napas panjang. "Tadinya aku ingin mengabaikan hal ini karena kupikir, gangguan dan teror orang-orang seperti kalian masih bisa kutahan. Yoongi juga tidak akan suka." Aku mendekati gadis itu dan mencengkeram dagunya. "Masalahnya, aku berbeda dengan pacar-pacar idol lain, tolol."
"Eonnie... maafkan aku." Gadis itu semakin gemetaran dan merengek.
Aku melepas cengkeramanku di dagunya. Kugerakkan tangan ke arah Han Geun. Lelaki itu mengangsurkan sebuah amplop besar. Aku membuka dan mengeluarkan kertas-kertas itu. Kuambil kursi lain untuk duduk dan memosisikan diri depannya.
"Hm... kalau aku lihat dari laporan yang dikumpulkan oleh orang ini..." Aku menunjuk Han Geun. "Kau... punya banyak sekali skandal. Ckck. Apa ini?" Aku menunjukkan foto gadis itu yang sedang berada di klub malam di Itaewon. "Kau masih di bawah umur. Sudah izin orang tua?" Tampaknya, gadis itu bingung, kenapa aku memiliki data-data pribadinya. "Lihat, jejak digitalmu sangat mengerikan." Aku menunjukkan foto-foto hasil tangkapan layar dari akun pribadinya.
"Aduh duh... di sini kau berulang kali bilang 'Aku akan membunuh pacar Oppa'." Aku menatap gadis itu. "Kau berani tidak membunuhku sekarang? Aku sudah di depan wajahmu, nih."
Ia menggeleng ketakutan. Aku mendecak lidah, melanjutkan lagi.
"Jejak digitalmu mengerikan juga ya. Kau memaki-maki orang tuamu, memaki-maki idol yang kau suka karena punya pacar... wow... bahkan berencana masuk ke dorm untuk...." Aku membuka mulut hiperbolis. "Mencuri boxer?"
"Aku bercanda!"
Aku menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum. Dilihat dari ekspresinya, ia benae-benar sedang ketakutan.
"Kau tahu kalau sistem keamanan dorm mereka sangat luar biasa ketatnya." Aku tersenyum. "Datang saja ke apartemenku. Aku menyimpan banyak di kamarku."
Gadis itu hanya mengerjapkan mata.
"Kalau kulihat dari sini, kau bukan yang suka stalking sampai ke apartemenku dan mengirim bangkai tikus."
"Itu bukan aku! Sumpah! Aku tidak tahu apartemenmu!"
"Ish. Kau dan dia sama saja. Kau malah nyaris membunuhku dengan racun. Dasar tolol." Aku melayangkan tinju ke udara. Gadis itu mengkerut ketakutan.
Aku memamerkan foto-foto lain yang membuat gadis itu memelotot. "Aku tahu orang tuamu tidak tahu kalau anaknya seperti ini. Aku punya salinan digitalnya di galeri ponsel. Tinggal kukirim saja ke nomor ayahmu. Boom. Kau pasti akan dipukuli habis-habisan seperti biasa."
Gadis itu menatapku nanar. "Jangan lakukan itu."
"Hm... gimana ya...." Aku memandangi foto-foto itu. "Di sini kelihatan loh kau sedang pesta narkoba."
"Aku-aku hanya ikut-ikutan temanku! Berani sumpah!"
"Aku sih tidak peduli. Yang pasti, ayahmu akan memukulmu sampai mati kalau tahu."
"Eonnie! Ampuni aku!" Ia menangis sesenggukan. "Aku janji tidak akan mengusikmu lagi! Berani sumpah! Aku akan berhenti menguntitmu, menguntit kalian semua! Aku janji akan keluar dari grup!"
Aku tersenyum kecil. "Kau punya komplotan ternyata."
Ia sepertinya baru sadar sudah keceplosan. "Ak-aku—"
Aku menyilangkan tungkai. "Katakan, siapa saja komplotanmu? Apakah mereka punya rencana yang sama untuk mencelakaiku?"
"Aku...."
Aku mencondongkan badan. "Apakah ada yang menyuruhmu?"
"Aku tidak tahu...."
"Han, kirim foto-fotonya ke nomor ayahnya."
Han Geun mengangguk dan mengeluarkan ponsel.
"Eonnie, jangan...."
"Aku tidak hanya akan mengirim foto-foto itu ke nomor ayahmu. Aku akan mengunggahnya di media sosial dan menyebarnya ke media Korea. Bayangkan seberapa malu ayahmu. Masa anak seorang pejabat berpesta narkoba di bawah umur?" Tentu saja aku tak akan menyebarkan berita soal rencana pembunuhannya terhadapku. Aku tidak ingin identitasku terbuka. Dan tidak ingin menyeret Yoongi.
"Jangan...." Ia menggeleng-geleng.
"Makanya, bilang kepadaku. Siapa yang menyuruh kalian? Siapa dalangnya?"
"Berani sumpah, aku tidak tahu. Aku hanya ikut ke komunitas itu tanpa tahu ketuanya."
Aku tertawa pendek. "Ya ampun." Kupandang Han Geun. "Ada komunitas sasaeng loh." Lalu, kembali menatap gadis itu. "Kalau begitu, kau tahu orang yang menguntitku sampai apartemen dan mengirimkan bangkai tikus?"
"Aku tidak tahu."
"Aish." Aku mengentak kaki kesal. "Kau ini, suka sekali ya menguji kesabaran." Aku merebut ponsel di tangan Han Geun dan memamerkannya di depan gadis itu. "Aku kirim nih." Lantas, menekan tombol kirim.
"Aku akan beri tahu! Dia mahasiswi di salah satu kampus SKY!"
Praktis saja aku mengangkat dagu. "Kampus mana?"
"Batalkan dulu pesan itu. Aku mohon."
Aku mendecak lidah. Kubatalkan pesan yang sudah terkirim—tapi belum dibaca—, lalu mengucapkan maaf dan pura-pura salah kirim.
"Kampus mana?"
Gadis itu menelan ludah susah payah. "Seoul National University."
******
HELLOOOOOOO MAAF BARU MUNCUL. Gue lagi kejar deadline. Lagi sibuk ngedit versi bahasa Indonesia "I'm Home but I Still Want to Go Home", buku yang dibahas Taehyung di Grammy Museum 🥺
ABSEN DULU DOOONG YANG MASIH BACA. KAWAL TEROS SAMPE TAMAT BUND!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro