#50
GAES SEBELUM KALIAN BACA, AKU CUMA MAU NGABARIN KALAU AKU MENGABULKAN KEINGINAN KALIAN BUAT NYETAK INI KE BUKU (secara indie ya, nggak bakal ada di toko buku).
Nah, sebagian hasilnya bakal aku pake buat produksi, sebagian lagi kupake buat birthday event Yoongi alias kusumbangin ke salah satu yayasan kanker yang aku kenal, namanya Komunitas Taufan. Tahun lalu aku pernah bikin birthday event di sana juga hasil dari donasi ARMY.
Kalau kalian mau, bisa gabung ke grup ini. Bakal ada pembukaan pesanan awal Maret nanti dan akan dijelasin sama admin di grup detailnya, termasuk harga dll. Kalau saat itu kalian belum punya uang nggak apa. Gabung aja buat info pemesanan selanjutnya 😁.
Yang pasti bakal aku ada bonus dan bab khusus yang nggak ada di sini.
Link grup aku taruh di komentar ini ya.
*******
Tidak biasanya aku terbangun lebih dulu. Meski matahari sudah naik dan cahayanya menembus dari balik kaca.
"Hey. Bangun." Aku mengguncang bahu Yoongi. Ia hanya menggumam dan mengubur diri di balik selimut. Hanya ujung rambutnya yang tampak. Seperti anak kucing yang tidur mendengkur saat hujan turun. "Aish. Bangun."
"Tidak mau."
Aku ingat kemari ia bilang hari ini libur.
"Aku lapar, buatkan makanan," kataku lagi, masih mengguncang bahunya. "Ah, sialan." Sambil menggerutu, aku turun lebih dulu. Ia semakin menarik selimut sampai mengubur kepalanya.
Aku melemparnya dengan bantal yang terjatuh di bawah kaki ranjang, sebelum melenggang menuju kamar mandi.
*
"Masukkan semua bahan dan aduk jadi satu...."
Aku memperhatikan video di YouTube sambil meniru hal-hal yang dilakukan wanita di sana. Pantri dipenuhi tepung yang berhamburan. Aku sempat menjatuhkan telur dan salah memasukkan gula dengan garam.
"Ish." Rasanya aku mau menyerah saja.
"Ckck."
Mendengar suara decakan di belakang, aku memutar badan. Yoongi berdiri di ambang pintu sambil memasukkan tangan ke saku.
"Kau merantau jauh sampai ke sini tapi kemampuan survivalmu buruk sekali."
"Shut up." Aku melepas dan menyampirkan apron di atas kursi. "Satu-satunya hal yang bisa kubuat hanyalah mi instan."
Ia mendekat dan menoleh ke ponselku yang menayangkan siaran YouTube. Lalu, tertawa. "Mau bikin pancake atau waffle?"
"Terserah."
"Waffle." Ia menunjuk teflon waffle yang bahkan tak aku ketahui eksistensinya selama ini.
Aku mengangkat bahu. Aku jarang masuk dapur karena yang lebih sering menggunakannya hanya Yoongi. Buat apa bisa masak kalau punya pacar yang bisa melakukannya untukmu ya, kan?
Kemampuan survivalmu buruk sekali. Ucapannya malah terngiang. Sialan.
"Aku akan bersih-bersih dan bertanggung jawab atas kekacauan di sini." Aku tersenyum hiperbolis.
Saat melewatinya, ia menahan tanganku, kemudian mengusap pipiku.
"Duduk saja."
"Tidak usah bersih-bersih?"
Ia menggeleng. "Biar aku saja."
Aku tersenyum dengan mata membulat. "Oke!" Kemudian berlalu pergi menuju ruang tengah untuk menghidupkan televisi. Karena ruang tengah dan dapur hanya dipisah dengan pantri, aku bisa melihatnya sibuk di sana. Walaupun tak kuliah ia mengeluh, tetap saja aku merasa bersalah.
"Yakin tidak mau kubantu?"
"Oh," serunya.
Ya sudah.
Oh! Aku baru ingat belum mengisi daya ponsel. Pasti banyak pesan yang masuk karena sejak kemarin malam, aku tak membukanya sama sekali.
Kulihat kamarku yang sudah rapi. Padahal aku tadi meninggalkannya dalam keadaan berantakan.
Aku mengambil ponsel di nakas. Saat kucek, layarnya gelap. Segera kucari pengisi daya dan kembali ke ruang tengah.
"Brunch."
Kepalaku menengadah melihat Yoongi datang membawa nampan berisi dua piring dan dua gelas. Baru kusadari, sekarang sudah mendekati jam makan siang.
"Ada rencana apa seharian libur begini?"
"Kerja," balasnya.
"Heh?"
Ia mengedikkan bahu. "Setiap hari aku kerja. Beda tempat saja."
"Ya ampun. Nikmati hari liburmu sehari saja. Aku akan menyita laptop dan lain-lain yang kau bawa. Tunggu, kau tidak membawa peralatan produsermu, kan?"
Ia menunjuk tas besar di salah satu sofa. Aku mendesah panjang.
Bel apartemenku berbunyi. Aku bergegas menuju pintu dan melihat keadaan dari interkom. Aku menekan tombol speaker.
"Ya?"
"Delivery order."
Dahiku mengernyit. "Aku tidak memesan makanan."
"Pacar Anda yang memesannya."
Aku menoleh memandang Yoongi yang balik menatapku.
"Kau pesan makanan?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Tidak."
Aku mendecak lidah dan menekan speaker lagi. "Dia tidak memesan apa pun."
"Jadi benar, ya? Kupikir sekadar teman seperti yang biasa dikatakan agensi manapun."
Deg.
Aku baru sadar sedang dijebak. Saat kuamati interkom itu, aku tak melihat wajah orang itu karena tertutup topi.
"Siapa kau?" tanyaku pelan dengan nada tenang.
Orang itu terdiam dan meletakkan kardus di depan pintu.
"Aku rasa kalian memang memesannya," katanya, sebelum berlalu pergi, setengah berlari.
Begitu memastikan ia tak ada di depan, aku segera membuka pintu dan memandang kardus di bawah kakiku. Menoleh ke kanan-kiri, tak kutemukan siapa pun di lorong yang sepi. Aku mengambil kardus itu dan menutup pintu.
Karena penasaran, aku membukanya. Begitu melihat isinya, aku spontan berteriak kaget dan menjatuhkan kardus itu.
"Ada apa?"
Aku memungut lagi kardus berisi bangkai tikus yang berlumuran darah dengan fotoku yang dicoret-coret mengerikan.
"Your crazy-ass sasaeng."
*****
>>NAINA<<
Sejak tadi, aku memandangi foto-fotoky hasil jepretan Taehyung. Aneh sekali rasanya. Kami sering bertemu sebagai penggemar-idol. Saat melihatnya di luar jadwal, apalagi bersedia memotretku, rasanya seperti tak nyata.
Maksudku, hellooo? Ia seorang Kim Taehyung?!
Lalu, ingatan soal perempuan itu berputar lagi. Aku mendesah panjang. Kenapa dadaku sesak sekali ya? Kan tidak seharusnya aku menyukainya seperti itu? Aku hanya mengenal personanya. Bukan kepribadiannya yang asli.
Ada suara telepon masuk. Sambil mendengus panjang, kuangkat telepon dari El.
"Apa?" tanyaku ketus.
"Are you okay?" tanyanya di seberang. "Maaf, batre gue abis."
"Hm... as you heard. Gue nggak baik-baik aja." Aku meringkuk menatap pemandangan kota Seoul dari balik kaca jendela. Cerah. Berbanding dengan hatiku.
"Na, I can't give you advice. Karena gue nggak tahu rasanya ada di posisi lo. Tapi, jangan bertindak aneh-aneh ya."
"Misalnya apa? Dukunin Taehyung?" Aku tertawa. "By the way, gue mau pindah jurusan."
"Hah? Dari Taehyung ke pindah jurusan. Random banget lo."
Kan yang minta aku belajar di bisnis papaku, bukan kemauanku sendiri. Aku sih tidak mau menjalankan sesuatu yang tidak aku sukai. Magang di kantor agensi besar saja sudah berat rasanya.
"Gue mau lanjut sekolah fashion design di sini."
"Wow. I support you. Tapi, lo mau pindah jurusan bukan karena pengen jadi srylist di Big Hit kan?"
"Ha ha ha." Aku berhenti tertawa. "Kalau ada lowongan gue masuk lah. Tapi gue lanjut bukan karena itu, kali. Bokap gue nggak suka aja kalau gue nekunin fashion."
"Kenapa?"
"Dia nggak mau gue kayak nyokap yang terlalu sibuk sama itu sampai melupakan segalanya."
"Sucks. Tapi lo kan fangirl."
"Itu alasannya aja sih. Gue tahu dia emang sensi kalau soal dunia fashion. Karena sentimen pribadi ke nyokap aja."
Mereka menikah karena dijodohkan, by the way. Mereka tidak pernah saling mencintai.
"Do you need hug?"
Belum aku menjawab pertanyaan itu, ada suara pria di seberang.
"Mau makan malam di luar?"
"Bentar, aku sedang ngobrol dengan Naina."
"Ah, it's okay. Gue cuma pengen sendiri aja sih."
"Tapi lo kan nggak pernah suka sendirian?"
"Gue mau maraton RUN BTS."
"Ah... oke...." Nada El terdengar aneh. "Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi gue aja."
"Sip. Dah sana." Aku mematikan sambungan lebih dulu.
Hah... nolep sekali aku.
Grupku ramai sejak tadi. Aku sebenarnya tak mau membuka karena teman-temanku yang suka menggali info dari sasaeng pasti menyebarkan foto atau cerita soal Taehyung dan pacarnya. Idih.
Namun, seseorang menyebutku di grup sehingga mau tak mau membuatku muncul.
********
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro