#47
"Mau coba?"
"Kau mau aku memakan deterjen dan sabunmu?" tanyanya.
Aku mendecak lidah. Bukan itu maksudku!
Melihat ekspresi kesalku, ia terkekeh. "Aku harus menyelesaikan sesuatu. Maaf, Bae."
Yoongi beranjak dari sofa menghampiri tas besarnya. Lalu, mengeluarkan peralatan musiknya. Aku mendesis melihatnya sudah menekuri Macbook dan peralatan-peralatan yang tak kupahami itu. Ia duduk di meja kerjaku dengan tekun.
Sebagai pasangan yang baik, aku melenggang ke tempat penyimpanan wine dan mengambilkan gelas. Begitu kembali dan mendekatinya, aku meletakkan gelas dan menuangkan wine ke sana. Ia menengadah, memandangku sejenak sebelum menggumamkan terima kasih.
"Jangan terlalu larut," kataku. Aku berusaha memahami kesibukannya, walaupun sejujurnya lelah seperti ini terus-menerus. Ah, dasar bucin.
Kutinggalkan ia sibuk dengan pekerjaannya. Aku berganti pakaian dengan tank top satin dan celana pendek. Itu saja tak menarik perhatiannya. Kalau sudah fokus dengan pekerjaan, bahkan gempa bumi saja pasti ia abaikan.
Aku naik ke ranjang dan menenggelamkan diri di balik selimut. Memandang dirinya yang sudah menuang wine beberapa kali. Aku mendengar beberapa kali sample musik buatannya. Mendengar gumaman kecilnya saat tidak puas dengan hasilnya. Mendengar decak kesalnya. Mendengar erangan frustrasi. Sampai aku memejamkan mata. Suara ketik jemari pada keyboard dan mouse yang ditekan masih berisik di telinga. Alih-alih terganggu, aku malah suka.
Aku belum sepenuhnya masuk ke mimpi. Masih antara batas alam mimpi dan kesadaran. Tak lama kemudian, aku dikejutkan dengan sesuatu, seperti ada yang naik ke ranjangku. Lalu, memelukku dari belakang. Praktis saja aku mengubah posisi dengan berbalik badan dan merangsek semakin mendekat hingga kepalaku menempel di dadanya. Kedua tangannya mendekapku.
"Sudah selesai?" tanyaku setengah sadar. Seperti meracau dalam gumaman.
"Sudah."
"Cepat sekali."
Ia terkekeh. Suara embusan napas dan detak jantungnya terdengar keras di telingaku yang menempel di dadanya.
"Aku hanya membutuhkan waktu singkat untuk membuat satu lagu. Kalau kau membuka komputerku, kau akan menemukan banyak draft lagu iseng," balasnya. Ia mengusap rambutku dan mengendusnya. "Citrus."
"Jangan bilang kau mau memakan sampoku," kataku masih menggumam tak jelas.
Ia tertawa kecil.
"Bae," panggilnya.
"Ya?"
"Apa kau sekarang bahagia?"
Aku tidak jadi mengantuk mendengar pertanyaannya. Mataku terbuka. "Kenapa tanya begitu?"
"Aku ingin memastikan kau bahagia saat bersamaku."
Senyumku mengembang. "I am. And you?"
"More than happy. I feel alive. Bukan sekadar manekin yang dipajang untuk menghibur orang."
"Tapi, kau senang dengan pekerjaan ini."
"Hm. Aku hanya terkadang merasa kesepian."
"Don't be." Aku menengadah untuk bertatap muka dengannya. Tanganku menangkup pipinya. Ia menyentuh punggung tanganku. Ia membawa tanganku dan mengecupnya.
Aku tertegun. Ada banyak hal yang berkelebat di pikiran. Aku tak mau semakin membebani pikirannya dengan masalahku. Ia sudah cukup banyak beban pikiran.
"Bae," panggilnya lagi. Aku senang sekali setiap ia memanggilku dengan intonasi rendah tapi lembut.
"Iya."
"I love you."
"Why so sudden (kenapa tiba-tiba)?" Aku terkekeh. Ia suka sekali bilang begini secara tiba-tiba.
"Selagi aku bisa mengucapkannya, aku akan mengucapkannya kapan pun." Ia mendekatkan pipinya di kepalaku, lalu menggeseknya.
Baru kusadari, selama beberapa waktu ini kami tenggelam dalam obrolan yang dalam. Ia suka melakukannya setiap malam denganku. Dan aku tak akan protes jika ia menginginkan deep talk sampai pagi sekadar mengusir rasa lelah atau cemasnya.
"I love you too," balasku, tersenyum.
*
Aku terbangun tiba-tiba. Jarum jam menunjuk angka empat. Kukucek mata dan menoleh ke samping, lalu meloloskan diri dari dekapan hangat yang sejak tadi membuaiku. Saat mengecek ponsel, aku menerima banyak pesan masuk.
Aku membalas pesan-pesan Naina dan mengiyakan ajakannya untuk pergi bersama.
Di waktu bersamaan, seseorang mengirim pesan baru.
Aku malah salah fokus dengan foto profilnya dan langsung membukanya.
Dia benar-benar makin dewasa. Sepertinya ucapannya tempo lalu bukanlah main-main. Ia sudah bukan JK yang sama yang kukenal dulu.
"Kau sedang apa?"
Aku terkejut mendengar suara itu. Praktis saja aku meletakkan lagi ponselku ke nakas.
"Hanya mengecek pesan."
Aku kembali merebahkan badan di sampingnya. Ia bahkan tak membuka mata dan melanjutkan tidur. Aku mengamatinya dengan saksama.
Tiba-tiba aku merasa takut.
*
Salju turun pagi ini. Aku mengeratkan mantel dan setengah berlari memasuki gedung agensi. Orang-orang menyapaku saat aku berpapasan dengan mereka. Sebelum melewati pintu masuk ke lantai karyawan, aku melihat Seojun melenggang di lobi. Praktis saja aku berbalik dan berlari menghampirinya.
"Pagi!" sapaku.
Seojun memandangku lekat. "Hai. Selamat pagi."
"Ayo kita naik ke atas bersama." Aku menyunggingkan senyum.
Meskipun tampak memandangku aneh, lelaki itu mengiyakan. Kami berjalan berdua menuju lantai atas.
"Kau punya kesulitan di sana?" tanyanya.
Aku menggaruk kepala. "Sebenarnya, mereka semua tidak menyukaiku."
"Termasuk Eunhye?" Kedua alis Seojun terangkat. Bingung. Jelas saja. Dulu Eunhye sangat baik, tapi mendadak mengucilkan dan sentimen terhadapku. Aku tak menyalahkannya karena ia memang sangat dekat dengan Seojun. "Kenapa?"
"Karena mereka pikir, aku merebut posisimu." Aku mengubah ekspresi. "Maaf, sekali lagi. Bang Si Hyuk bilang, aku belum berkompeten menjadi pemimpin."
"Dia hanya memotivasimu untuk terus berkembang, El."
"I know." Meski baru mengenalnya, aku cukup tahu itu. "Tapi, aku belum bisa menjadi seperti dirimu, yang sanggup membawa anak buah."
Ia tertawa. "Jadi, kau menyerah?"
Kami memasuki lift yang sepi—well, kami masuk kantor terlalu pagi.
"Tidak." Aku menggeleng. "Aku... hanya merasa gagal. Mungkin karma karena menusukmu dari belakang?" Aku memandangnya dan tertawa pahit.
"Aku tidak merasa begitu. Kau pantas mendapatkan kesempatan selagi masih muda. Bang Si Hyuk pun bukan tipe orang yang menyia-nyiakan bakat." Ia tersenyum.
Aku memandang sepatu bot sepanjang lututku yang basah kena rembesan salju.
"Kau baik sekali," kataku, samar. "Maaf sekali lagi."
Ia mengembuskan napas panjang. "Aku capek mendengar maafmu. Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat. Setelah itu, berhenti minta maaf."
"Aku akan melakukan apa pun."
"Konsep-konsep Bangtan selanjutnya harus berhasil."
Senyumku mengembang. "Aku janji."
Pintu lift terbuka. Kami berjalan bersama menyusuri koridor. Saat itu pula, muncul perempuan berambut bob yang menghampiri kami. Ia adalah staf bagian perekrutan karyawan baru.
"Oh, kau sudah datang. Akan ada anak baru di divisimu. Dia keponakan salah satu manajer Bangtan." Perempuan itu tersenyum. "Aku minta kau membimbingnya dengan baik."
"Divisiku?" Aku memandang Seojun dan kembali ke perempuan tadi. "Siapa namanya?"
"Ah! Itu dia!"
Aku spontan memutar badan. Badanku membeku dan seperti disengat sesuatu saat melihat perempuan berambut panjang yang melenggang pelan mendekati kami. Ia menatapku sangat lekat. Tajam. Dan tersenyum miring.
"Halo," sapanya sambil membungkuk. "Nama saya Choi Kyunghee. Mohon bimbingannya."
*******
Who's your bias and bias wrecker? 🤔
Seojun
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro