Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#46

Aku memandang Jungkook yang kini tertidur di sofa. Ia demam dan sempat mengigau dalam tidur. Padahal, ia belum sempat memberi tahu apa yang terjadi sehingga membuatnya begini. Aku tak mau memaksa dan membiarkannya meringkuk di sofa.

Tanganku menggenggam ponsel. Aku bingung, siapa yang seharusnya kuhubungi. Yoongi? Namjoon? Jimin? Aku mengerucutkan bibir miring. Tak berselang lama, ponselku berdering lebih dulu. Aku mengangkat panggilan dari Yoongi.

"Kau di apartemen, kan?"

"Iya. Anu... JK di sini...."

Terjadi keheningan sesaat.

"Jadi, dia ke tempatmu?"

"Memangnya ada apa?" Pandanganku berpindah ke Jungkook lagi. Aku berjongkok di samping sofa dan mengusap dahinya. "Dia demam."

Yoongi menghela napas panjang. "Aku akan ke sana."

"Tidak usah. Aku akan mengurusnya. Aku hanya perlu memberi tahu biar kalian tidak cemas."

"Oke."

Sambungan terputus. Aku memperhatikan Jungkook sebelum beranjak untuk menyiapkan air hangat dan mengompres dahinya. Ia mungkin akan segera pulih. Biarpun gampang sakit, ia selalu sembuh dengan cepat. Begitulah yang pernah dikatakan Yoongi. Sebab, ia sering merawat JK kalau sakit di dorm.

Aku memutuskan menemaninya tidur di sofa daripada ranjang.

*

Hal pertama yang membangunkanku adalah suara merdu. Mataku sedikit menyipit ketika aku mengangkat kepala. Aku mengucek mata dan melihat Jungkook sudab berdiri di hadapanku sambil mengaduk sesuatu di cangkir.

"Selamat pagi," sapanya setelah berhenti bernyanyi dan tersenyum, menampakkan gigi kelincinya.

"Ah... kau sudah baikan?"

"Aku hanya demam sebentar." Ia menyodorkan cangkir itu ke depanku dan duduk di sofa. "Terima kasih sudah merawatku semalam. Aku merepotkan ya?"

"Sangat," balasku ketus. Lalu, tersenyum. "Tidak. Kau hanya perlu menceritakan kepadaku, kenapa datang-datang langsung membuatku panik?"

Jungkook mengerucutkan bibir ke samping. Ia menggigit kuku. "Masalah internal Bangtan."

Aku tak mau ikut campur. Maka, aku hanya meneguk minuman yang dibuatkan Jungkook.

"Aku membutuhkanmu karena kau netral," celotehnya lagi.

"Masih butuh teman untuk mendengarkan?" Aku bersendang dagu.

Ia tersenyum. "Tidak. Aku sudah baikan. Aku harus kembali karena ada pertemuan internal."

"Good." Aku beranjak dan menghampirinya. Kutepuk puncak kepalanya. "Jangan seperti kemarin. Kau bikin aku panik, Kook."

Ia menyingkirkan tanganku. "Sudah kubilang jangan perlakukan aku begini."

Aku terkekeh. "Maaf."

"Sampai ketemu di kantor besok. Bye." Ia melenggang pergi tanpa membawa apa pun.

Saat hendak membawa cangkir ke dapur, ponselku berbunyi. Tanpa melihat ke layar, aku menerimanya antusias karena berpikir dari Yoongi.

"Lagi bahagia, ya?" Spontan saja aku berhenti bicara saat mendengar suara yang tak asing dan menyerupai kutukan buatku.

Aku sedikit menjauhkan ponsel, lalu dengan keberanian penuh, menjawabnya.

"Berhenti mengganggu."

"Nggak yakin bisa. Kangen."

"Please, jangan ganggu hidupku."

"Nggak bakal bisa."

Aku meremas tangan menahan kesal. Aku tak mau mendengar suaranya. Ia hanya akan menambah kemurkaanku. Tanpa basa-basi, kumatikan sambungan dan memblokir nomor Kian. Untuk kedua kalinya.

*

Aku memperhatikan barang-barang yang dijual di drugstore mal yang hari ini kukunjungi. Tentu dengan pengawasan bodyguard baru. Geun. Lelaki itu sudah siap siaga di belakangku sambil memperhatikan keadaan sekitar. Selama itu pula, aku mengobrol dengan Yoongi di telepon untuk memberi tahu hari pertama pengawal bayarannya bekerja.

"Iya, dia benar-benar melakukannya dengan baik." Aku memandang Geun yang hanya melirik, lalu mengalihkannya. Aku tersenyum miring.

"Jangan jatuh cinta kepadanya."

Praktis saja senyumku lenyap. "Kenapa kau bisa bilang begitu?" Aku menyengal.

"Dia tampan."

"Aish." Aku mendesah pendek. "Heh, kalau kau menganggapku mudah terpikat wajah tampan seseorang, sudah sejak dulu aku akan mengencani Seokjin!"

"Dia tidak akan mau berkencan denganmu."

Aku bertolak pinggang. "Kau menghinaku, huh?"

"Tidak. Just spitting fact. Bicara fakta."  Kudengar suara kekeh tawanya.

Ya iya sih. Aku pun sadar diri. Tak mungkin pangeran seperti Seokjin sudi mengencani rakyat jelata sepertiku. Yang ada aku akan diludahi.

Aku membayangkan berada di dunia dongeng di mana Seokjin menaiki kuda putih mewati pasar di sebuah desa. Aku adalah salah satu penjual buah di pasar itu. Kuda yang ia tunggangi menabrak daganganku hingga membuat tendaku hancur. Alih-alih turun untuk menolongku, ia berseru,

"HEH KALAU JUALAN JANGAN DI SINI! JADI NABRAK KAN!"

Dan aku balas berteriak, "LHA GUA JUALAN DI MANA KALAU NGGAK DI PASAR? RUMAH NENEK MOYANG LU?"

Aish. Kenapa aku malah membayangkan hal tak berfaedah seperti itu.

"Aku akan menghajarmu kalau kita bertemu," aku malah mengomeli Yoongi.

"Coba saja."

Aku berhenti di depan salah satu etalase dan mengamati produk-produk makeup yang berjejer.

"Yoon," panggilku.

"Kapan kau akan memanggilku dengan sopan?"

Aku hanya tersenyum mendengar gerutuannya. "Nanti kalau kita menikah."

Terjadi keheningan panjang. Lalu, terdengar tawa di seberang. "Kenapa menunggu selama itu hanya untuk memanggilku sopan??"

"Aku tidak mau memanggilmu 'Oppa'." Aku bersikeras. "Lebih baik kupanggil Honey, Darling, Love, apa sajalah yang cringey." Aku menjentikkan jari. "Ah! Atau 'Mas'." Aku tertawa cekikikan.

"Apa itu?" tanyanya.

"Apanya apa?"

"Yang terakhir kau sebutkan."

"Sama saja seperti 'Oppa' di bahasaku. Kenapa? Kau mau kupanggil begitu saja? Bahkan sebelum kita menikah?" Aku tertawa lagi. "Jijay."

"Jijay? Heh, satu-satu kalau mau mengajariku bahasa asing. Apa lagi itu jijay?" Ia terdengar kesal.

Aku mendengus. "Nanti aku buatkan kamus slang bahasaku. Oke?" Aku memperhatikan salah satu produk pewarna bibir dan tersenyum. "Heh."

"Hm?"

"What's your favorite flavour? Atau kau punya preferensi aroma yang kau suka?" Aku mengendus bauku. "Kau tak suka bau manis seperti bunga atau vanila, ya?"

"Kenapa?"

"Jawab saja." Aku mendecak lidah.

"Tangerine. Citrus."

Aku membuka mulut. "Ah...." Aku mengambil salah satu yang bergambar jeruk dan tersenyum. "Aku akan mengganti parfumku."

"Biar apa?"

Aku mendecak lagi. "Biar kau suka!" Aku mendengar suara Hoseok di seberang, memanggilnya.

"Aku matikan dulu."

"Oke." Sebelum percakapan selesai, aku berseru lagi. "Jangan lupa datang nanti malam! Kau harus mencobanya!"

"Mencoba apa?"

Kenapa ia tidak peka, sih? "Merasakan citrus dari bibirku."

"Dasar gila." Tanpa kata, ia mematikan sambungan.

Senyumku yang tadinya merekah lenyap. "I LOVE YOU TOO!" Aku berseru kesal, mengabaikan pandangan orang sekitar.

*

Sudah pukul sebelas. Ia belum juga datang. Untung saja aku tak menunggunya makan malam. Ia memang tak bilang janji bisa tepat waktu. Tapi, tetap saja, kenapa harus selarut ini setiap ingin bertemu? Biar tidak diikuti wartawan atau sasaeng?

Aku membaca buku sekalian mencari inspirasi untuk konsep-konsep proyek mendatang. Namun, beberapa kali mataku tertuju ke jam dinding dan sesekali ponsel yang sepi.

Pada akhirnya, ada yang menekan bel. Aku spontan berdiri dan berlari menuju pintu. Sebelum membukanya, aku memeriksa dulu dari interkom. Senyumku mengembang saat melihat sosok di luar yang menengadah memandang kamera. Aku membuka pintu.

"Harus selarut ini?" tanyaku sambil melipat tangan di depan dada.

Yoongi tersenyum dan melenggang masuk, lalu menutup pintu.

"Hm... apakah aku harus datang subuh dan mengganggu tidurmu?"

"Menyebalkan."

Ia melepas jaket dan menyampirkannya ke atas sofa. Aku mengamati ekspresinya yang lesu. Ada apa sih dengan mereka?

Aku melenggang ke dapur untuk mengambil sebotol wine dan dua gelas berkaki panjang. Kuletakkan semua itu di meja.

"Aku tahu kau butuh teman minum." Aku menuangkan isi ke gelasnya. "Apa JK baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja," balasnya pelan, lalu meraih gelasnya dan mengamatinya sebelum mendekatkan bibir ke tepi. "Sepertinya dia sangat menyukaimu."

"Ah. Dia hanya butuh teman bercerita." Aku mengangkat gelasku, lalu menyesap isinya.

"Tidak. Dia benar-benar menyukaimu."

Aku praktis berhenti minum dan merasa tersedak. "Biarkan saja. Anak yang sedang masa puber memang suka begitu." Aku terkekeh. Senyumku spontan lenyap. "Dia bertengkar denganmu?"

"Tidak," balasnya santai.

"Lalu, kenapa dia demam?"

"Masalah internal." Yoongi meletakkan gelasnya dan memandangku. Ia meletakkan gelasku pula. "Aku butuh perhatianmu, Bae."

Kenapa tiba-tiba begini?

Aku mengusap tengkuk. "Seperti apa?"

Ia berbaring dan meletakkan kepalanya di pangkuanku. "Seperti ini." Lalu, meraih tanganku dan menuntunnya untuk mengusap kepalanya.

Aku tertawa kecil. Kulakukan hal itu, sesuai keinginannya. Matanya memejam selama tanganku mengusap dahi dan kepalanya.

"Jika suatu saat aku meninggalkan karierku, kau masih mau bersamaku?" tanyanya.

"Kenapa tanya begitu? Kau akan berhenti?"

"Tidak. Aku hanya memikirkan banyak kemungkinan." Matanya terbuka. "Seandainya, aku sudah tidak lagi bersama mereka, kau mau menemaniku?"

Tanganku berhenti. Aku memikirkan ucapannya. Memahami maksudnya.

"Kalian mau bubar?"

Ia terdiam. "Dulu, aku selalu mencatat di jurnalku. Semua mimpiku. Aku bersumpah pada diri sendiri agar tetap fokus mencapai semua itu."

Hm. Ia memang terlihat seperti seseorang yang ambisius, yang tak akan memedulikan apa pun sebelum mimpinya tercapai. Termasuk, berhubungan asmara dengan seseorang. Naina selalu bilang begitu.

"Tapi, sejak bertemu dan mengenalmu, rasanya apa yang kuucapkan seperti omong kosong. Nyatanya, aku membutuhkan seseorang di sampingku. Seperti dirimu." Ia memandangku cukup lama. "Seandainya aku menyerah dengan mimpi-mimpi itu, aku ingin menikmati hidupku denganmu."

Aku tersenyum. "Kau bukan seseorang yang secepat itu putus asa."

"Kau benar," balasnya. "Aku tidak pernah putus asa. Jika bisa melakukan keduanya, menyeimbangkan hidupku, kenapa harus pilih salah satu?" Ia mengembuskan napas berat. "Aku bahkan berpikir, jika mereka memutuskan untuk menyudahi semuanya, aku sudah menyusun banyak hal."

"Apa itu?"

"Tetap memancing dengan Seokjin."

Aku terkekeh. "Kau tak akan bisa lepas darinya."

Ia tersenyum kecil. "Tetap bermusik. Tetap berkarya. Apa lagi? Hm... berlibur denganmu tanpa mengkhawatirkan rumor." Ia memandangku lagi. "Menikahimu."

"Kau tidak seperti seseorang yang punya keinginan untuk menikah muda." Aku melipat tangan di depan dada. "Oke. Bayangkan saja kalau kita jadi menikah. Kau mau bagaimana? Adat apa? Tradisional? Modern?"

"Aku tidak mau seformal itu."

Aku mengusap bibir. "Di mana?"

"Di mana saja. Yang penting kau pengantinku."

Aku tertawa dan menyentil dahinya. "Aku mau menikah di tempat terbuka yang sepi. Selandia Baru. Keren, kan?"

"Yang penting jangan minta di bulan." Ia meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Ada satu hal penting yang harus menjadi perhatianmu kalau kau mau menikah denganku." Aku melihat ekspresinya. Penasaran reaksinya.

"Apa?"

"Aku tidak mau punya anak."

Ia terdiam. Mengalihkan pandangan dariku. "Kau yang berkuasa atas tubuhmu. Terserah dirimu."

Aku menyeringai. "Sungguh? Yakin?"

Ia hanya tersenyum dan diam.

Ah, jangan diambil pikiran. Ini kan cuma bayang-bayang saja.

"Aku yakin, kalian akan tetap bersama dalam waktu lama," kataku. "Seberat apa pun itu. Kalian adalah keluarga."

"Kau benar. Aku juga yakin begitu."

"Kalau begitu, kita tidak bisa menikah cepat."

"Aku akan tetap menunggu sampai waktu itu tiba. Kapan pun." Ia mengecup tanganku. Lalu, bangkit dari pangkuanku dan berhadapan denganku. "Aku ingin mencobanya."

"Apanya?" tanyaku.

"Citrus." Ia meraih daguku dan mengecup bibirku. Terdiam sebentar, lalu menjilat bibir. "Aku suka."

"Sungguh?" Aku mengatupkan bibir rapat dan menggit ujungnya. "Aku juga mengganti deterjen, cologne, sampo, dan sabunku." Aku mengaitkan rambut ke belakang telinga, berbisik pelan, "Mau coba?"

*******

HAPPY NEW YEAR!!!

Semoga tahun ini kita semua diberikan kebahagiaan dan bisa melalui kesulitan tahun 2020 🙏🏻

Maaf ya telat up soalnya koceng aku sakit dan parah banget. Jadi ga bisa konsen dan cuma fokus ke dia 😢😭

Boyfie sekali

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro