Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#41

Berhubung banyak yang bilang mau PAS, gue update hari ini yah! Biar ga pada kepikiran 👁👄👁

Btw, gue bingung kasih reaksi abis baca komentar di bab selanjutnya. Gue seneng sih soalnya ngerasa berhasil bawa ambience cerita ini sampai ke readers, tapi banyak yang mutung (tau mutung ga? Ngambek) 🥲 wkwkkwkwk. Mungkin karena baru pertama baca cerita gue ya? Karena sejak 2012 emang tulisan gue khas banget, suka bikin menderita karakternya 🥲 Kalo nyari ff yang uwu-uwu kayaknya bukan di sini. Soalnya gue lebih nyaman nulis begini sih. Biarpun pernah nulis romcom kayak GINCU atau STILETTALE (bisa dicek di lapak gue) aja ga uwu mulu. Kalau kata salah satu reader gue, ciri khas tulisan gue tuh awal-awal dibikin uwu terbang sampe langit ketujuh, terus mendadak gue empas pas lagi bahagia 😂😂😂

Nah, selain itu, gue nggak bisa nulis cuma uwu uwu baperin guis. Gue kebiasaan 'nyelipin' edukasi juga di semua tulisan. And yes! Kita bisa aja kayak El di sini, ngalamin hal buruk. Justru gue mau kasih awareness biar kalian ga ngalamin hal kayak gini. Atau kalau (amit-amiiiiit ya, nauzubillah) ada di posisi El yang sempat kejebak sama orang bahaya dan toksik, apalagi kalau dia statusnya pacar, itu kudu bisa lari, jangan malah nyaman/kena stockholm syndrome (ga tega ninggalin/nyaman sama keadaan itu). Apalagi sexual abuse tuh banyak yang ngalamin di luar sana 😭 Banyak banget cerita-cerita penyintas sexual abuse yang gue baca. Nyesek banget, asli. Itulah kenapa gue kasih awareness di sini ya. Dan gue nggak bisa kasih gambaran detail hal kayak gitu karena nggak mau kesannya malah kayak promosiin sexual abuse (makanya gue cut). Semoga kita semua dijauhkan dari hal ini ya 💜

Happy reading!!! 💜💜💜💜💜

—————————————————

Aku tidak tahu berapa lama menangis di pelukannya. Yoongi pun membisu, tidak memberikan kata apa pun. Hanya mengeratkan tangannya di badanku. Memberiku kehangatan, meski udara musim dingin malam ini terasa ngilu.

Saat aku berdamai dengan hatiku dengan duduk di kosen jendela yang lebar, mengamati pemandangan kerlap-kerlip lampu gedung tinggi sambil memeluk lutut, Yoongi muncul dan menyodorkan secangkir teh hijau hangat seduhannya. Aku menerima dan menggumamkan terima kasih. Ia berdiri memandangku sambil menyeruput, lalu mengalihkannya ke pemandangan kota malam hari.

"Sudah lapor polisi?"

"Mereka tidak akan percaya. Keluarganya sangat kaya." Aku memperhatikan rintik hujan yang mulai turun.

Aku mendengarnya mengembuskan napas. Saat menoleh ke arahnya, kulihat genggaman tangannya pada cangkir. Ia meremas sangat kuat. Lalu, meletakkannya ke nakas. Aku memberinya tempat saat ia duduk di dekatku. Ia melepaskan cangkir dari genggaman kedua tanganku, meletakkannya di bawah kaki. Tanganku digenggam.

"I feel bad about myself (aku merasa buruk)," bisikku.

Yoongi menyingkirkan anak rambut di dekat mataku.

"Jangan," balasnya. Bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. "Kau sangat berharga bagiku, Bae. Jangan bilang seperti itu."

Mendengar ucapannya membuatku tertawa tak bersuara. "Kau selalu membuat hatiku lebih baik, Yoon."

"Yoon," ia mengulang. "Lebih baik daripada kau kasih tambahan -ssi."

Aku tersenyum. Ia membuatku lebih baik. Kadang, aku membenci kenyataan itu.

Aku memandang genggaman tangannya. Ia masih enggan melepas tanganku, membuatku semakin hangat.

"Apa aku memang seberharga itu bagimu?" tanyaku lagi. Aku menengadah.

"Kenapa harus ditanyakan?"

"Aku takut kau semakin menjauh dariku...."

"Tidak akan. Aku akan menjauh saat kau memintanya."

Aku tak mungkin memintanya pergi. Ia begitu baik. Aku malah makin sedih. Aku takut akan mengalami hal sama seperti saat ia meninggalkanku di pinggir Sungai Han. Membuatku mempertanyakan kelayakanku.

Aku mengusap mata yang mulai basah. Ia menundukkan kepala, mengamati wajahku dan tertawa.

"Kenapa kau menangis?" tanyanya sambil menahan tanganku dan menarik daguku agar bersedia menatapnya. Melihat pandangannya yang teduh, hatiku makin campur aduk. Hujan yang turun seperti mewakili perasaanku.

"Aku menyukaimu seperti orang bodoh," kataku. "It's so hard to love myself. Rasanya, aku lebih memilih mati daripada hidup begini."

"Hey, hey. Sshhh." Ia menahanku melanjutkannya dan merangkulku, membawa kepalaku bersandar di dadanya, lalu mengusap rambutku. "Berhenti bicara."

Aku menggeleng. Keadaan cukup hening. Hanya ada suara rintik hujan yang sedikit teredam di luar.

Aku merasakan ia sedang mengamatiku—dagunya bergesekan dengan puncak kepalaku.

"Kalau aku tadi tidak datang, apa kau akan melakukannya?"

Aku mengangguk.

Kudengar ia menghela napas berat. Ia sudah menyita cutter yang ditemukannya di kamar mandi.

Sejak tiga hari bagaikan di neraka saat itu, aku sudah berniat mengakhiri hidup dengan mengiris pergelangan tanganku dan merendam diri di bak mandi. Seorang petugas kebersihan rutin menemukanku nyaris kehabisan darah dan langsung membawaku ke rumah sakit. Ia menghubungi Tante Riani selaku pemilik apartemen dan wanita sialan itu tak mengabari keluargaku. Kupikir ia lebih baik. Rupanya tidak. Ia mementingkan nama baik keluarganya dan memilih menutup mata serta telinga atas perbuatan terkutuk anaknya.

Aku kabur dari rumah sakit meskipun keadaanku belum benar-benar membaik. Aku tidak berani pulang ke rumah. Aku sempat mampir apartemen sekadar mengambil dokumen penting. Aku meminta bantuan Seojun mengurus dokumenku untuk tinggal di Korea tanpa memberi tahu alasannya. Aku bersembunyi dengan perasaan waswas dan takut. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik. Membuatku marah. Membuatku ingin melupakan semua itu, meski rasa sakitnya masih tersisa.

Selama menunggu visaku diterima, aku bersembunyi seorang diri, mencari pertolongan psikiater, sampai melakukan hal-hal tak wajar; membenturkan dahi ke dinding, mengonsumsi levonorgestrel dalam jumlah tak wajar hingga sempat pendarahan (aku sangat takut bajingan sialan itu menghamiliku), sampai akhirnya dokterku menambahkan dosis obat penenang dan merekomendasikanku ke temannya di Korea. Akal sehatku sudah acak-acakan.

Sampai akhirnya aku sadar. Jalan satu-satunya adalah uang.

Aku merasa sangat bersalah pada Seojun karena menusuknya dari belakang. Namun, hanya itu kesempatanku. Walaupun Seojun dipindahkan ke divisi lain yang lebih menjanjikan daripada mengurus konsep artis-artis agensi, ia pasti sangat kecewa. Ia hidup bersama Bangtan Universe sejak 2012. Sejak Bangtan belum resmi dibentuk. Seandainya bisa, aku pasti berlutut di depannya sebagai permintaan maaf.

Aku sudah bertaruh dengan Bang Sihyuk. Jika 2018 konsepku berhasil dan meledak di pasar global sampai menjadi tren, ia akan menaikkan gajiku tiga kali lipat.

"Bae." Suara Yoongi memutus pikiranku untuk menggali lebih dalam pada momen-momen mengerikan itu. "Please, promise me not to get hurt (berjanjilah jangan sampai terluka)."

Aku menyeringai. "Kenapa aku harus berjanji kepadamu?"

"Karena sama saja kau menyakitiku."

Aku menengadah. "Kenapa?" Aku tidak puas dengan jawaban itu.

"Karena aku mencintaimu."

Aku terkekeh. Terdiam. "Meski aku begini?"

"Begini apanya? Kau masih tetap sama. Jangan memandang rendah dirimu, Bae." Ia mendekatkan pipinya ke puncak kepalaku, menggesekkannya lembut.

Aku mengingat perkataan jahat Tante Riani saat aku menolak terang-terangan pernikahan itu.

"Katanya, aku bagaikan piring pecah yang tidak bisa diperbaiki. Orang-orang tak akan mau membeli barang yang sudah rusak."

"Siapa yang bilang begitu?"

"Seseorang."

"Kau bukan benda. Kau manusia, tidak bisa disamakan dengan benda. Orang tolol mana yang menyamakanmu dengan benda? Akan aku hajar." Ia menggumam dengan suara beratnya.

Aku tertawa pelan. Aku tahu ia tidak suka kekerasan. Tapi... reaksinya lucu sekali.

"Kau bukan barang yang diperjualbelikan. Berhenti menganggap diriku sebagai pembeli." Ia mengusap pundakku. Hatiku terenyuh mendengarnya. Sangat lega. Seolah duri dalam dadaku berhasil lenyap.

"Jadi tidak masalah?" Aku tak akan berhenti menanyakan itu.

"Tidak," balasnya. "Itu tidak berpengaruh apa-apa atau mengubah persepsiku. Tidak akan mengubah kenyataan bahwa aku sangat mencintaimu."

"Terima kasih." Aku mengembuskan napas perlahan. "Terima kasih sudah mencintaiku." Aku memejamkan mata, lalu menempelkan bibirku di sudut bibirnya. "Kau tidak sibuk?" Aku membuka mata.

"Tidak."

"Sebentar lagi Taehyung ulang tahun, kan? Atau ada acara tahun baru di televisi dan butuh latihan ekstra?"

"Aku tidak sibuk." Ia menegaskan, lantas merengkuh wajahku, mengecup bibirku perlahan. Ia menghentikannya dan menatapku, menanyakan konsensualku.

Aku mengangguk dan memejamkan mata saat bibir kami bertemu. Suasananya cukup sunyi. Hanya ada suara deru napas dengan kecapan bibir bersahut-sahutan. Aku mendesah pelan begitu lidahnya menyusup ke dalam. Tangannya yang ada di sisi wajahku berpindah menyentuh leherku. Bulu kudukku meremang. Aku bergidik dan praktis menjauh sambil mengatur napas.

"Aku tidak bisa sampai ke sana," kataku. "Maaf."

Ia tersenyum. "It's ok. Maaf. Apa aku menyakitimu?"

Aku menggeleng. "Tidak."

Aku mendekatinya lagi untuk mengusap lipgloss-ku di bibirnya. Saat melihat jam dinding, jarum pendeknya sudah menunjuk angka satu.

"Aku akan mandi dan tidur."

"Aku akan tetap di sini. Itupun kalau kau mengizinkan."

Sopan sekali. Aku tersenyum gemas dan mengangguk. Aku merasa lebih aman berada di dekatnya.

Saat aku beranjak menuju kamar mandi, ia mengangkut kedua cangkir kami dan membawanya ke pencuci piring.

Aku menutup pintu kamar mandi dan berdiri di depan cermin. Memandang wajahku. Saat membuka baju, mataku tertuju ke pantulan bayangan di cermin. Mengarah pada luka-luka di tubuhku yang masih membekas sampai detik ini. Aku menggigit bibir, lalu menggeleng saat air mataku hampir tumpah lagi.

*

"Berani sekali kamu bilang begitu di depan wajah saya?"

Pipiku panas sekali. Wanita sialan ini menamparku sangat keras. Padahal, aku memberitahukan soal anaknya yang suka main tangan, bahkan tega memerkosa 'calon istrinya'.

"Kalau sudah telanjur begitu ya udah. Kalian nikah siri dulu saja."

Gampang sekali ia bilang begitu?

"Saya tidak mau."

"Harusnya kamu berterima kasih karena saya menerima kamu di keluarga besar saya."

"Saya tidak peduli. Saya nggak akan sudi menikah dengan anak Anda."

Wanita itu tertawa pendek. "Lalu, kamu yakin masih ada yang mau sama piring pecah?"

Pi—apa katanya? Kenapa ia mengobjekkan diriku???

"Saya sudah telanjur ya memesan WO dan tetek bengeknya. Jangan bikin malu keluarga saya."

"Saya tidak peduli."

"Kurang ajar sekali." Ia menamparku lagi. "Kamu pikir, kamu hidup layak selama ini, tidak kelaparan seperti gembel, karena siapa, hah? Karena saya!"

Aku tak menyangka ada orang sekeji ini. Mentang-mentang keluarganya kaya, ia pikir bisa menginjak harga diriku?

Hari itu sepertinya menjadi hari sialku. Karena setelah sang ibu monster pulang, anak monster malah datang dalam keadaan mabuk. Harusnya aku berhasil kabur hari itu. Seandainya aku berhasil minta tolong ke security atau tetangga apartemen—siapa pun!—, aku tak akan bernasib sesial itu, berakhir menjadi santapan monster terkutuk. Dan ia melakukannya lebih brutal dari sebelumnya saat alkohol menguasai akal sehatnya. Ia tak memeduliian teriakan kesakitan atau bahkan tangis memohonku.

"Bae?"

Saat itu aku seolah bisa mendengar suara seseorang memanggilku.

"Bae? Hey, hey."

Aku tersentak saat badanku digoyang perlahan. Praktis menjauh seraya memeluk diriku sebagai pertahanan.

"Hey, ini aku." Saat kesadaranku terkumpul, aku melihat Yoongi mencondongkan badan di pinggir ranjang. "Tenang."

Aku mengembuskan napas panjang, merasakan pacuan jantungku dan keringat menganak sungai.

"Mimpi buruk? Kau sampai berteriak dan membuatku kaget," katanya.

Membuatnya kaget? "Kau dari mana?" Aku mengusap rambut dan menekan kepala frustrasi.

"Aku tidur di sofa."

Aku menggeleng. "Aku membutuhkanmu."

"Baiklah." Ia menyingkap selimut dan mendekatiku. "Kau baik-baik saja? Butuh sesuatu lagi?"

Aku menggeleng. "Hanya butuh kau."

"Aku di sini. Tidak apa." Ia tampaknya sangat mengkhawatirkan keadaanku. "Kembalilah tidur. Besok kau harus ke kantor, kan?"

Aku mengangguk dan mengeratkan diriku padanya. Membaringkan badan seraya mencengkeram tangannya. Begitu melihatku lebih tenang, ia ikut berbaring di sebelahku. Rambutku yang menempel di wajah yang berkeringat disingkirkan olehnya. Kami berpandangan.

"Apa agensi membolehkanmu?" tanyaku.

"Fuck it," balasnya. "Aku bekerja untuk Jin Hit Entertainment. Kami melanggar peraturan di sana."

Aku tertawa pelan, makin merapat. Aku merindukan aroma sitrusnya saat tidur.

Aku memejamkan mata.

"Aku sudah menyewa bodyguard untukmu," katanya.

"Haruskah?"

"Sasaeng, wartawan, orang gila dari negaramu. Aku tidak bisa melindungimu 24 jam penuh. Kau butuh orang untuk mengawasimu."

"Terserah."

"Apa yang bisa kulakukan lagi?" Nadanya begitu melunak. "I will do everything to protect you. Please, tell me."

Aku tersenyum. "Tidak usah. Keberadaanmu sudah cukup."

"I'm sorry." Ia mengecup jemariku, lalu membenamkan wajah pada rambutku. "Aku berjanji akan membalasnya untukmu. Siapa pun yang menyakitimu, tidak akan bisa tidur dengan tenang."

*******

Btw, cerita ini bakal panjang banget loh. Dan gue kayaknya ga bakal bukuin ya. Jadi biar aka buat seneng-seneng di sela-sela sumpek sama kerjaan 😂😭

Jangan lupa tinggalin jejak!

Kalian pernah ngeracuni teman baca ini ga sih? Apakah di antara kalian sampe ada yang oleng ke Yoongi? 🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro