Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#40

Selama gue nulis ini dengerin WHO-nya Lauv ft. Jikook 🥲 Terus nyadar liriknya cocok banget sama bab ini abbdbdnskkziejjexududh.

HAPPY READING!!!

PS: JANGAN BACA PAS LAGI NONGKRONG ATAU KELAS. PAS LAGI SENDIRIAN AJA YA!

PSS: dibuka dengan POV Yoongi ya. Untuk pergantian POV aku pake tanda "***" sebanyak tiga kali 👍🏻

——————————————————

Untuk pertama kalinya setelah setahun yang bisu, aku bisa melihatnya terlelap di pelukanku. Tangannya menggenggam lenganku seakan tak membiarkan aku pergi. Sejak lima belas menit lalu, aku memandanginya sambil sesekali mengusap rambutnya, lalu mencoba melepaskan tangannya dari lengan kausku. Saat aku mengamati pergelangan tangannya dan mengusap rambutnya, ia membuka mata, spontan menahan tanganku.

"Kenapa masih di sini?" tanyanya dengan suara berat.

"Kau ingin aku pergi?"

"Aku hanya bertanya." Ia tersenyum. "Kenapa tidak pergi dan menemaniku di sini?" Ia mengucek mata dan menengok jam dinding. "Sudah pukul tiga."

Sebenarnya, aku sudah kurang tidur sejak beberapa hari lalu. Namun, aku tidak bisa melewatkan momen seperti ini. Saat satu-satunya yang ada di kepalaku hanyalah kata rindu. Saat satu-satunya hal yang bisa membantuku berkonsentrasi hanya dirinya. Seperti yang lalu.

"Aku akan pergi sebentar lagi," kataku. Aku menggenggam tangannya. "I told you not to get hurt (aku sudah bilang jangan sampai terluka)."

"Aku tidak pernah berjanji." Ia melepas tanganku, lalu menyilangkan tangan, memeluk dirinya. Ia memejamkan mata.

"El," sapaku. "Tolong berbagi denganku." Ia tak menjawab. Aku menghela napas panjang. "Kau yang biasanya menyemangatiku sehingga membuatku terus melangkah maju, bahkan saat lelah. Sekarang, aku membutuhkan itu lagi."

Ia membuka mata dan bersepandang denganku. "Kau mengigit jarimu lagi."

Aku memandangi ibu jariku. Kebiasaan buruk ini memang susah kuhilangkan. Padahal, aku sudah rajin datang ke psikiater untuk memulai terapi.

"Bantu aku untuk berhenti," kataku.

Ia terkekeh. "Yang bisa melakukannya cuma kau sendiri. Percuma aku membantu kalau kau tidak punya keinginan untuk berhenti." Ia menghela napas panjang, lantas bangkit dan menggulung rambutnya. "Terima kasih sudah menemaniku sebentar." Ia berdiri, tampak menungguku bangkit dari ranjang.

Aku menatap nakas. Ada sebotol obat tidur. Padahal, setahuku ia tak pernah sampai mengonsumsi obat tidur.

"Dari tadi ini mengganggu pikiranku," kataku sambil menunjuk obat tidur itu. "Sejak kapan kau susah tidur sampai membutuhkan obat?"

Ia melipat tangan di depan dada. "Sejak putus denganmu."

Rasanya seakan ada yang menendang jantungku mendengarnya. Rasa bersalah mengalir begitu deras. Aku tak bisa menatap matanya yang seolah menghakimi.

Semua itu bukan keinginanku. Aku pun tak pernah menyesal memilih teman-temanku. Seandainya diberi pilihan untuk lenyap sebagai pilihan ketiga, aku akan mengambilnya.

"Aku hanya menjawab jujur," lanjutnya. "Tidak bermaksud gaslighting."

"Aku tahu." Aku beranjak berdiri dan mengambil jaket di sofa. Ini sia-sia belaka. Aku memandangnya cukup lama. "Jangan lakukan itu lagi."

"Lakukan apa?" Ia menaikkan alis.

"Menciumku. Jika niatmu melakukan itu hanya untuk menyakitiku." Setelah itu, aku berlalu pergi, mengabaikan reaksinya terhadap kalimat itu. Sebelum mencapai pintu, ia memanggil namaku hingga membuatku berhenti.

"Maaf," katanya.

Aku tak memutar badan. Tidak juga menoleh. Kulangkahkan kaki mengabaikannya.

Rasanya aneh. Aku seperti tidak mengenalnya lagi. Ia bukan seseorang yang kukenal. Ada duri yang menancap di hatinya, yang membuatnya tak lagi kukenali. Aku ingin menyingkirkan duri itu. Namun, mengingat bahwa aku salah satu penyebab duri itu, aku tak bisa melanjutkannya.

Kami hanya akan saling menyakiti jika ini terus berlanjut. Bukan hanya karena tuntutan jalan yang kutempuh saat ini. Bukan hanya karena mimpi yang harus kukejar sehingga membutuhkan banyak pengorbanan. Bukan.

Aku sadar, kami ibarat jungkat-jungkit yang tak lagi seimbang seperti dahulu.

***

"You have beautiful long hair. I love it. Kalau saja aku tahu rasamu seenak ini, seharusnya sejak awal kita melakukannya. Kamu dengar? Huh??"

Aku spontan membuka mata begitu merasakan tangan di rambutku. Jantungku berdebar sangat keras. Aku masih bisa merasakan tarikan kuat di rambutku.

Saat aku membuka mata, mataku bertemu dengan wajah khawatir Yoongi. Aku mencengkeram tangannya.

Seharusnya ia tak di sini saat aku seperti ini. Meskipun aku sangat menginginkannya tetap di dekatku, aku tak bisa melihat matanya. Tak bisa melihat wajahnya.

Aku mengusirnya. Terakhir kali yang kulihat sebelum ia lenyap di balik pintu yang tertutup adalah ekspresi kecewa. Terluka. Berani sumpah, aku tidak pernah bermaksud menyakitinya. Semua itu ucapan spontan.

Setelah ia lenyap dari hadapanku, aku sendirian lagi. Kesepian lagi.

Aku melenggang masuk ke kamar mandi, lalu menghidupkan pancuran, membasahi tubuhku dengan pakaian yang masih melekat. Kudekatkan dahi pada dinding, membiarkan diriku kedinginan.

*

Naina membulatkan mata begitu membuka pintu dan melihatku di hadapannya. Ia mengatupkan bibir dengan kedua telapak tangan, lalu memelukku spontan sambil melompat-lompat kegirangan.

"LO KE MANA AJA?! GUE KANGEN!" teriaknya di telingaku.

Aku melepas pelukannya. "Chill. Yang penting gue di depan lo sekarang."

"Ayo masuk dulu!" Ia menyeretku masuk dan menutup pintu. Tanganku masih diseret sampai di sofa dan dipaksa duduk. Ia memperhatikanku dari puncak kepala sampai ujung kaki. "Lo tiba-tiba ilang dan muncul depan muka gue. Seneng banget bikin jantungan!"

Aku tertawa. "Sori. Yang penting gue udah di sini."

Naina berceloteh panjang lebar. Mulai dari kesibukannya saat ini sampai menanyakan keadaanku.

"Lo baik-baik aja? Kok bisa di sini?? Udah lapor?"

"I'm fine." Aku menunjuk diriku sendiri.

"How about that monster?! Yoongi tanya ke gue dan gue ceritain semuanya. Sori, El."

Aku yang tadinya ingin menyeruput teh seduhan Naina tidak jadi. "Iya. Dia udah cerita."

"Jadi? Kalian balikan?" Ia bertepuk tangan antusias.

Aku menggeleng, meletakkan cangkir ke atas meja. "Biar dia fokus sama kariernya."

Naina tampak tak senang mendengar jawabanku. "Hah? Gimana maksudnya? Lo lepasin dia gitu aja?"

Aku mengedikkan bahu. Kami hanya sama-sama memiliki ambisi kuat. Aku belum siap membentangkan tangan lagi. Dan, aku yakin ia juga tak punya pikiran ke sana. LOL.

Menceritakan pengalaman traumatis tidaklah gampang. Naina tak memaksaku sampai aku mau membukanya sendiri. Jadi, kami akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu berbelanja berdua di mal. Lagi pula, ini akhir pekan. Kami punya banyak waktu.

"Lo magang di SM?" tanyaku saat kami memasuki toko baju. "Gue lihat di Snapchat. Pakai fake account."

"Ah...." Ia terkekeh. "Iya, magang sebentar sebelum lanjut S2. Siapa tahu ya kan abis nyobain airnya SM, muka gue lebih glowing kayak Taeyeon."

Aku menyeringai. Kuambil salah satu baju dan mengamatinya. Ponselku berdering. Aku mengembalikan baju itu ke tempat semula dan melihat layar ponsel. Sebelah alisku bertautan. Aku mengangkat panggilan dari nomor asing itu.

"Halo?"

"Noona, kau tidak kangen aku, ya? Sampai hati kembali ke Korea tapi tidak mengabari atau menemuiku di studio. Jahat." Suara Jungkook yang khas terdengar di seberang.

Aku tersenyum. Kangen sekali mendengar suaranya. "Aduh, adik kesayanganku. Apa kau sudah semakin dewasa, huh?" Aku mengingat ucapannya tahun lalu dan tertawa.

"Sebentar lagi tahun baru. Artinya aku semakin dewasa. Aku tidak sabar mengajakmu jalan sebagai 'orang dewasa'."

"Apa itu sebuah tantangan?" Aku terkekeh.

"Aku serius. Kau tidak mau melihatku?"

"Tentu mau. Nanti, ya. Kalau tidak sibuk."

Jungkook menghela napas panjang. "Aku melihatmu di Louis Vuitton."

Praktis saja aku menoleh ke kanan kiri. Mataku menemukan seorang pria dalam jaket kulit, celana denim robek, sepatu bot bergerigi, topi bucket hitam, dan masker yang menutupi hampir semua wajahnya. Jungkook. Ia melambaikan tangan dari balik kaca.

"Kau sendirian?" tanyaku.

"Dengan V Hyung. Dia sedang di GUCCI. Kami berpisah sebentar."

"Aku dengan temanku. Kalau mau, aku akan berpisah dengannya dan menemanimu jalan-jalan." Aku tidak bisa membiarkan Naina melihat Jungkook. Apalagi ada Taehyung di sini.

"Tidak apa?"

Saat itu pula aku memandang Naina yang sedang memilih tas.

"Tidak apa."

*

Setelah memberikan alasan kepada Naina, kami berpisah. Ia masih di gerai LV karena ingin membeli tas, sedangkan aku sudah melenggang ke luar, menghampiri JK yang menunggu di sebelah gerai. Ia menyandarkan punggung, memasukkan kedua tangan ke saku celana, dan menunduk memandang sepatu.

"Kookie," sapaku.

Ia menoleh. Bisa kulihat matanya yang tersenyum walaupun sedikit tertutup masker.

"Aku kangen," katanya. Ia meraih tanganku dan menggandengku.

"Kita mencari Taehyung?"

"Aku minta V Hyung ke mobil duluan kalau sudah selesai. Aku ingin melepas rindu sebelum kami sibuk dengan comeback album Jepang."

Aku mengangguk. Tanganku masih di genggamannya. Aku khawatir ini bisa mengundang wartawan. Jadi, aku melepasnya.

"Aku takut ada wartawan."

"Oh." Ia menyengir. "Kau dan Yoongi Hyung bertengkar lagi, ya?"

Bertengkar? Aku saja tidak bisa menganggapnya pertengkaran.

"Kenapa?" tanyaku balik.

"Beberapa hari ini mood-nya jelek."

Aku mengangkat pundak. "Itu bukan urusanku."

Jungkook membulatkan mata dan mengerjap. "Perasaanmu sudah hilang?"

Belum.

Aku hanya tersenyum. "Jangan bahas itu, ya. Mau makan? Aku lapar."

Pada akhirnya, kami mencari restoran.

*

"Kamu di mana? Kenapa sampai sekarang nggak ada kabar? Orang-orang nyariin dan khawatir."

"Halo? Mama hubungi kamu lagi. Kenapa nomor kamu nggak aktif?"

"Mama nggak bisa lapor polisi soal orang hilang. Kamu ninggalin surat yang bikin polisi anggep kamu kabur. Pulang, Nak."

"Kabari Mama, ya."

"Mama minta maaf kalau ada salah. Tapi, kabari Mama. Jelaskan kenapa tiba-tiba kamu menghilang."

"Tante Riani bilang kemungkinan kamu ke Korea, ya? Di mana? Keluarga mereka bantu cari kamu di Korea."

Deg.

Aku praktis melempar ponsel setelah membuka pesan-pesan suara yang dikirimkan ke akun WhatsApp-ku yang lama. Aku mengusap rambut ke belakang.

"Shit."

Bel apartemenku berbunyi. Aku praktis melonpat kaget. Jantungku berdebar. Sejak mendengar pesan suara terakhir itu, aku jadi parno.

Bel masih berbunyi. Aku menghampiri pintu, melihat ke interkom dan akhirnya bisa mengembuskan napas lega begitu melihat siapa yang datang.

Saat kubuka pintu, wajah Yoongi yang muncul.

"Ada apa?" tanyaku.

"Aku meninggalkan jam tangan Rolex senilai $10.000 di sini," katanya.

Aku terkekeh. "Aku tidak melihatnya." Ia masih mematung menungguku menyuruhnya masuk. Aku membuang napas dan mempersilakan ia mengecek ke dalam.

Aroma parfumnya tercium saat ia melenggang melewatiku. Jika kulihat dari bajunya yang rapi, tampaknya ia habis melakukan pemotretan.

Yoongi menggeledah apartemenku. Ia mencari jam tangannya di sofa, sofabed, ranjang, nakas, sampai kamar mandi.

"Tidak ada, kan?" tanyaku seraya melipat tangan depan dada.

Alih-alih membawa jam tangan yang dicari, ia malah ke luar membawa cutter.

"Kenapa ada benda ini di kamar mandimu?" tanyanya.

"Aku perlu waxing bulu kaki." Aku mendesis

Ia berjongkok dan memeriksa kakiku.

"Kau gila?" tanyaku dengan nada naik setengah oktaf.

"Tidak ada tanda-tanda waxing." Ia berdiri dan menuntut jawaban dariku. "Dan orang bodoh mana yang mencukur bulu kaki dengan cutter?"

"Aku orang bodohnya." Aku mendecak lidah. "Kalau tidak menemukan jam tanganmu, silakan pergi."

"Aku datang ke sini bukan untuk jam tangan yang tidak pernah kutinggalkan," katanya.

Sialan.

Ia kembali ke kamar mandi dan menggeledah laci.

"Yoongi-ah, kau mau apa?" tanyaku.

"Yoongi-ah?" ulangnya. Aku tahu itu tidak sopan—peduli setan. Ia memandangku dengan laci yang masih terbuka.

"Pergi dari sini. Aku banyak kerjaan."

Ia tak memedulikannya dan masih menggeledah, lalu mengeluarkan barang-barang yang kusimpan di laci.

"Aku tidak menyimpan narkoba. Berhenti menggeledah!" seruku kesal.

Ia mengumpulkan botol-botol kecil obatku.

"Itu obat tidur. Letakkan lagi," kataku.

Ia membaca salah satunya, lalu menyodorkan kepadaku. "Untuk apa kau membeli ini?" tanyanya setelah membaca nama dan indikasinya. "Ini bukan obat tidur." Ekspresinya datar sekali. Namun, nadanya sarat penekanan.

Aku menggigit bibir bawah. "Aku punya masalah hormon, menstruasiku tidak lancar. Tolong, letakkan."

Ia membuka penutupnya dan menghitung jumlahnya. Aku mengamatinya dalam diam.

"Kau mengacak-acak privasiku," kataku monoton.

Ia terdiam. Kedua tangannya menekan pinggiran meja marmer. Ia menoleh, memandangku lekat dengan mimik yang tak dapat kumengerti

"Apa yang dilakukannya kepadamu?" tanyanya. Pelan. Nyaris seperti bisikan. Ada kemarahan di dalamnya. Aku tak pernah melihatnya seperti ini.

"Apa maksudmu?" Aku masih menjaga nadaku tetap tenang.

"Apa yang dilakukan bajingan itu kepadamu, Bae?"

Jantungku berdegup seperti genderang yang ditabuh. Entah karena suaranya yang begitu dalam nan tajam, atau panggilan kesayangannya untukku. Atau karena ia mengetahui semuanya. Ia bukan orang bodoh.

Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Rasanya lidahku kelu. Paru-paruku seolah terimpit. Sesak sekali.

Ia mendekatiku. Memaksaku memandangnya. Kami bertukar pandangan cukup lama.

"Tidak apa," katanya. "Tidak apa menangis di depanku. Jangan dipendam."

Ucapannya yang lembut meluluhlantakkan hatiku. Meski sekuat tenaga aku tak ingin menumpahkan air mata di depannya, tetap saja bendungan sialan itu jebol dan jatuh perlahan membasahi pipiku. Aku gagal memendamnya. Lagi-lagi, ia yang membuat pertahananku goyah.

Yoongi memelukku. Tangannya mengusap punggung, sedangkan yang lain menekan belakang kepalaku. Membiarkan wajahku terbenam di dadanya.

Akhirnya, aku menangis sesenggukan di pelukannya.

"Dia memerkosaku berkali-kali."

*****

HEBAT SEKALI MEMANG ARMY INI. Sampe FF aja dianalisis 😭😭😭👍🏻

Menurut kalian, poin mana yang bener? 🌝

BTW PLIS KALO BACA PAS LAGI GABUT AJA GUIS. JANGAN LAGI NONGKRONG ATAU BAHKAN KELAS 😭✊🏻

Emang pada sekolah online ya? Belum libur?

Ayo kutunggu analisis kalian yang lain 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro