#36
"Makan, yuk. Lo belum makan sejak pagi." Aku mendengar suara Naina yang terus membujuk.
Aku tak merespons. Sejak pagi, yang kulakukan hanya berbaring miring memandang jendela. Meskipun kelaparan, aku tak punya nafsu makan. Naina berulang kali memintaku turun untuk makan. Bahkan, ia meletakkan makanan di nakas. Namun, aku tak beranjak sedetik pun.
Naina yang kebingungan menggaruk kepala. Ia membiarkan aku merenung di kamar dan melangkah ke luar. Ia belum tahu soal kejadian sialan di samping sungai Han. Barangkali ia menghubungi Yoongi untuk membujukku makan. Haha. Konyol.
Benar saja. Saat aku keluar dari kamar, ia mencoba menelepon Yoongi.
"Ah, kenapa nggak aktif sih??"
"Nggak usah," kataku lesu.
Praktis saja Naina berbalik badan. Aku melangkah gontai menuju dapur.
"Kenapa? Kalian berantem lagi? Tapi, waktu itu dia mau kok gue suruh ke sini—"
"We broke up ."
"HAH?" Naina menaikkan nadanya. Namun, ia tak menanggapi lagi.
Aku membuka kulkas dan mengambi sebungkus tteok. Kubuka plastik itu dengan gigi dan mengeluarkan beberapa tteok.
"Gue udah siapin makanan di kamar," kata Naina.
Saat menuangkan tteok di atas mangkuk, aku tertawa.
"Ah, sialan." Aku memandangi tteok di depanku. "Ini makanan kesukaannya." Dan membuangnya ke tempat sampah.
"Are you okay??" Naina tampak khawatir.
"He eh." Aku mengambil piring dan meletakkannya ke atas meja. Lalu duduk memandanginya sambil bersendang dagu. Melamun.
"You ain't okay."
Setelah Naina mengucapkan itu, tiba-tiba aku terisak dan menangis tersedu-sedu. Naina menghampiriku dan meraihku ke pelukannya. Aku tak bisa berkata apa-apa kecuali menangis sesenggukan.
*
Hari terakhirku di kantor.
Aku memandangi layar komputer dengan tatapan kosong sejak tadi. Seojun mengajak kami makan malam bersama sebagai tanda perpisahanku. Tadinya, aku ingin menolak. Namun, tampaknya aku butuh mengalihkan pikiran. Siapa tahu dengan kumpul-kumpul bisa bikin pikiranku tenang.
Sepulang kerja, teman-teman tim Perencanaan berbondongan ke luar untuk ke restoran yang sudah di-booking Seojun. Aku bilang ke mereka akan menyusul karena ada yang ingin kulakukan untuk terakhir kali di kantor ini. Aku sudah membawa barang-barang di meja kerjaku dua hari lalu. Tak ada yang tertinggal. Kecuali... hatiku.
Koridor kantor agensi sudah mulai sepi karena staf meninggalkan kantor. Kecuali artis dan trainee yang masih punya kepentingan. Aku hanya melihat beberapa trainee seliweran di koridor—kalau kata Seojun, mereka sudah dalam masa persiapan debut tahun 2019. Yang kukenal di antara mereka hanya Choi Daniel a.k.a Yeonjun.
Koridor studio produser sepi. Tak ada kesibukan di studio Bangtan. Golden Closet, MonStudio, dan Genius Lab. Tak ada suara apa pun. Mungkin mereka sibuk latihan atau rekaman atau syuting.
Aku memandang pintu Genius Lab untuk terakhir kali. Bibirku mengerucut ke samping. Saat berbalik badan, aku berpapasan dengan Jungkook.
"Oh, Kookie." Aku tersenyum.
"Kau mau berpamitan?" tanyanya.
"Hm." Aku mengangguk.
"Kami akan makan malam sebelum berangkat syuting. Mau ikut?"
"Tidak. Aku ada janji dengan tim Perencanaan."
"Kau tidak mau mengadakan perpisahan dengan kami?"
Aku menggeleng. "Lebih baik tidak usah."
"Kenapa?"
"Karena...." Aku mencari jawaban yang tepat. "Aku ingin melupakan kalian."
Jungkook menyeringai. "Tidak akan bisa."
"Aku akan mencoba." Aku tersenyum dan meraih puncak kepalanya. "Jangan menolak. Ini terakhir kali aku memberantakkan rambutmu." Lalu, mengacak-acak rambutnya. Ia tak menolak. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. "Selamat tinggal, Jungkookie."
Aku melenggang melewatinya.
"Jangan membencinya." Suara Jungkook membuat langkahku terhenti. Aku memutar badan, berhadapan dengannya. "Dia sangat menyayangimu."
Sebelah alisku terangkat. "Sungguh?"
"Bang PD yang memintanya memutuskan cepat."
Ekspresiku berubah.
"Kau sudah tahu kan kami akan didebutkan di Amerika? Bang PD memintanya untuk memilih, kau atau Bangtan," lanjutnya.
Aku termangu mendengar penjelasannya.
*
"Kenapa kau melamun sejak tadi? Ayo, nikmati hari terakhirmu bersama kami."
Aku tersenyum dan mengangsurkan gelas kaca. Seojun menuangkan soju ke gelasku.
"Untuk kesuksesan El dan tim Bangtan Universe." Seojun berteriak sambil menaikkan gelasnya. "Cheers!"
Kami menubrukkan gelas. Aku mengamati teman-temanku yang mulai meneguk, sedangkan aku hanya mengamati gelasku. Aku sedang tidak bersemangat untuk minum-minum. Ucapan Jungkook masih berkelana di pikiranku.
Sampai makan malam kelar pun, aku masih diam. Teman-temanku banyak yang sudah teler dan diantar pulang oleh taksi. Hanya aku dan Seojun yang benar-benar terjaga. Ia peminum andal dan aku tak menjamah sedikit pun.
"Kau yakin tidak ingin kembali ke sini?" tanyanya saat kami berjalan keluar restoran.
Aku hanya mengangkat bahu. "Aku masih berusaha mendapatkan beasiswa ke Belanda."
Seojun mengangguk. "Oh ya, Bangtan sedang makan di samping. Kau tidak mau perpisahan dengan mereka juga? Aku tahu kau sangat dekat dengan mereka."
Aku menggeleng. "Aku mau pulang saja."
"Baiklah. Sampai ketemu lagi." Seojun menepuk pundakku. Aku membungkuk hormat.
Seojun melangkah pergi. Arah kami memang berbeda karena aku harus ke halte bus. Saat mengangkat kaki melewati restoran sebelah, kudengar sapaan seseorang.
"El!"
Aku berhenti, mendapati Seokjin yang berdiri di dekat pintu. Aku menyeringai.
"Hai."
"Ayo gabung."
"Tidak. Aku harus—"
Tak memberiku kesempatan, Seokjin menarikku masuk. Aku sudah berusaha menolak, tapi ia tak mau mendengar alasanku dan malah mengajakku bergabung di meja Bangtan di lantai atas yang sepi. Mataku terpaku ke satu arah. Yoongi duduk di bangku paling ujung. Ia memandangku sebentar dan mengalihkannya cepat. Seokjin memaksaku duduk di depannya, di samping Taehyung.
"Aku sudah kenyang," dustaku. Aku tak makan banyak tadi.
"Kau mau berbohong depanku, hah? Wajahmu kelihatan kuyu. Kau pasti belum makan dengan benar." Seokjin mendesakku. Aku hanya tersenyum dan memandang meja.
"Kau kan mau pulang. Masa tidak mau ada perpisahan?" tanya Namjoon. "It must be a 'goodbye', not 'badbye'."
Mereka mengajakku mengobrol, kecuali Yoongi. Meskipun tawa memenuhi meja, hanya kami berdua yang saling membisu.
Taehyung mengendusku. "Kau belum minum, kan?" Ia mengangkat soju.
"Aku tidak nafsu minum malam ini," balasku.
Taehyung tak peduli dan menuangkan soju ke gelasku. Ia memaksaku menggenggamnya.
"Ayo... aku bakal ikut minum kalau kau juga.
"Bukannya kau tidak suka minum?" tanya Hoseok.
"Demi El, aku akan ikut hehe."
"Nah, kau dengar, kan? Taehyung tidak pernah mau minum loh. Ayo. Aku mau melihat Taehyung oleng dan bertingkah absurd," kata Jimin.
Taehyung menyengir kuda. Aku mengikuti permintaan mereka dan mengangkat gelasku. Saat bersulang, hanya Yoongi yang mengangkat gelas dan langsung meneguk tanpa sepatah kata. Ia menyibukkan diri dengan iPad, tidak memedulikan obrolan.
Satu tegukan masuk kerongkonganku. Aku kesal sekali dan ingin melampiaskan amarahku. Maka, aku menuang lagi dan lagi. Yang lain memandangku sambil terbengong-bengong.
"Jangan banyak minum."
Wow. Akhirnya. Si berengsek membuka suaranya di depanku saat aku sudah sedikit oleng. Ia memandangku. Aku tertawa dan mengabaikannya. Saat hendak meneguk lagi, ia menahan tanganku.
"Letakkan."
"Ish." Aku menyingkirkan tangannya dan meneguk.
Yoongi menyingkirkan botol soju yang lain saat aku berusaha meraihnya.
"Sinikan."
"Pulanglah."
"Diamlah." Aku mendekatkan telunjuk ke bibir. "Kau tidak berhak melarang-larangku."
"Aku hanya khawatir. Kau peminum yang payah."
"Payah?" Mataku memelotot. Aku terkekeh. "Siapa yang waktu itu teler setelah menghabiskan sebotol wine di Daegu dan nyaris menciumku, hah?"
"Mustahil," sahut Taehyung. "Dia yang paling pro di antara kami." Ia tertawa. "Dia tidak mungkin teler hanya dengan sebotol wine."
"Hah?" Aku mengubah pandangan ke Yoongi yang melirik Taehyung. "Jadi kau sengaja mencuri-curi kesempatan?!"
"Suaramu terlalu keras," kata Namjoon. "Orang-orang di bawah akan mendengarkan kita."
"Aku tidak peduli," sahutku. "Heh, berengsek, jelaskan. Segitu sukanya ya denganku? Hah?"
"Kecilkan suaramu." Yoongi memandangku. Ia mengedikkan kepala. "Kau bisa menimbulkan masalah."
"Kenapa? Kau takut ada sasaeng? Wartawan?" Aku berdiri dari bangku hingga menjatuhkan tasku. Taehyung mengambilkan tasku dan memintaku duduk lagi.
"Sekalian saja aku keraskan. Biar orang-orang tahu kalau—"
Yoongi spontan berdiri dan membekap mulutku. Aku berusaha melepas tangannya.
"Pulanglah," katanya. "Aku akan mengantarmu."
Aku berhasil menyingkirkan tangannya. "Aku bisa pulang sendiri." Aku meraih iPad Yoongi dan hendak membawanya.
"Mau kau ke manakan iPad-ku?"
Aku menatap benda itu dan mengumpat. Salah ambil rupanya. Kulempar benda itu ke meja dan meraih tas yang diangsurkan Taehyung. Aku berjalan sempoyongan menghindari meja. Namun beberapa langkah, aku terjatuh.
"Ish, sialan. Kenapa kau harus jatuh? Ayo bangun." Aku berteriak pada kakiku. "Bangun kubilang!"
Bangtan mungkin sudah menganggapku gila.
Tubuhku ditarik dan ditahan oleh seseorang. Ia menutupi kepalaku dengan jaket dan membantuku berjalan menuruni tangga, keluar restoran, lalu memasukkanku ke mobil.
"Kau menculikku?" tanyaku ngelantur lagi.
"Mengantarmu pulang." Yoongi sudah duduk di jok kemudi.
Aku mendesis dan menyandarkan kepala ke jok. Kupandang jaket di pangkuanku. Mobil melaju di jalanan malam Seoul. Aku memejamkan mata sebentar. Suasana begitu sepi.
Angin malam yang masuk dari jendela mobil membuatku terjaga lagi.
"Kau butuh udara segar."
Aku menoleh ke samping dan menyeringai. Kualihkan perhatian ke luar jendela.
"Anjing," kataku dalam bahasa Indonesia. "Kampret. Babi."
"Kau mengumpat?"
Aku menoleh. Ekspresiku datar. "Hanya mengabsen nama-nama hewan."
Keadaan hening lagi.
"Maaf." Ia membuka suara. "Aku belum mengucapkan maaf dengan benar."
Percuma. Aku tidak mau mendengar itu lagi. Sepanjang jalan, kami membisu. Hanya suara kendaraan dan angin yang memecah kesunyian di antara kami. Bahkan sampai di tempat parkir apartemen. Ia bilang ingin mengantar sampai depan unit apartemen Naina.
"JK sudah memberi tahu," kataku ketika mobilnya berhenti. "Good luck."
Aku membuka pintu mobil dan berjalan sempoyongan. Ia menyeimbangi langkahku di sebelah. Aku membiarkannya dan mendiamkannya. Di lorong, lift, sampai depan pintu. Ia masih mengawasiku. Aku menekan bel berkali-kali, lalu menertawai diri sendiri karena baru ingat Naina pamit mengerjakan proyek kampus.
"Pergi sana." Aku mengibaskan tangan sambil memasukkan kode.
"Aku akan pergi setelah kau masuk."
Bola mataku berputar. Aku masuk saat pintu terbuka, lalu memandangnya. "Sudah."
Ia masih berdiri dengan pandangan yang sama. Alih-alih pergi, ia malah mendekat dan meraih kepalaku, menepuknya lembut.
"Jaga dirimu di sana," katanya. "Semoga kau bertemu orang baik."
Aku tak membalas. Ia mengusap pipiku, mengecup dahiku, kemudian menjauh pergi. Bibirku bergetar. Ia tak berbalik badan dan kembali. Menghilang dari pandanganku. Aku menutup pintu dan memerosotkan badan. Memeluk lututku dan menangis seperti anak kecil yang tersesat.
***
*****
Misi kak numpang lewat ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro