Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#33

Waktu berputar begitu cepat.

Tidak terasa, aku sudah menapaki bulan Agustus. Aku memandang lesu pada kalender dan mengembuskan napas.

Btw, aku kembali lagi ke asrama untuk mulai menata barang-barangku. Karena tak begitu akrab dengan mahasiswa di sini, aku tidak akan berpamitan pada mereka saat pulang. Toh, mereka mungkin tidak begitu memedulikanku.

Dan sudah berhari-hari itu pula aku tak mendengar kabarnya. Rasanya, aku jadi terbiasa. Meskipun ini bukan sesuatu yang kuinginkan.

"Sudah beres-beres? Gue mau jemput nih bawa mobil temen."

Naina mendesakku agar segera pindah ke apartemennya. Aku tak bawa banyak barang, jadi tidak membutuhkan bantuan. Saat sibuk menggotong kardus, kalungku terjatuh. Aku menurunkan kardus dan memungutnya.

"Putus?"

Masa barang semahal ini bisa putus segampang ini sih? Aku meneliti benda itu. Benar saja. Rantainya beneran putus. Di saat bersamaan, Naina muncul di depanku.

"Yok."

"Ah, iya." Aku mengantongi kalung itu dan kembali menggotong kardus dibantu oleh Naina.

*

"Aaah. Oppa, aku beneran tidak punya janji. Sungguh."

Sudut bibirku terangkat mendengar Naina yang sibuk menelepon sambil berbaring di sofa.

"Oke. Aku tunggu nanti malam ya!" Ia memutus sambungan dan tersenyum lebar.

"Apaan, nih? Lo udah nggak ngarepin Taehyung?" cemoohku.

Ekspresi Naina berubah. "Dih, gue mah sadar diri. Taehyung mana mau sama kentang. Terlalu susah dijangkau dia tuh. Mending gue nyari cowok yang beneran suka sama gue."

"Wah... lo abis jatuh di mana? Kepala lo kebentur?" Aku mendecak lidah. "Lo nggak sayang Taehyung?"

"Sayang lah! Gue cuma nyoba deket sama cowok beneran."

"Emang Taehyung bukan cowok beneran?"

"Dia CGV."

Aku terbahak. Naina mendengus kesal.

"Udah. Dukung aja gue jadi waras. Gue mah nggak kayak lo. Nasib percintaan gue nggak semulus FF di Wattpad."

Aku menyeringai, lantas mengeluarkan kalungku yang putus tadi. "Lo punya info buat reparasi beginian, nggak?" Aku menunjukkan kalungku di depan wajah Naina.

Mata Naina berbinar. Ia meraih kalungku dan mengamatinya.

"Sejauh apa hubungan lo sampe dikasih beginian?"

"Gue cuma butuh jawab, Na."

Naina tersenyum. "Kasih ke gue. Nanti gue betulin pas keluar sama gebetan gue."

Aku merebut kalung itu dan menggenggamnya dengan defensif. "Nggak."

"Dih.... Ya udah ntar gue kasih tahu tempatnya." Ia beranjak dari sofa. "Gue mau siap-siap dulu."

"Pulang jam berapa lo?" tanyaku.

"Nggak usah nunggu. Kayak nyokap gue aja lo."

Bola mataku berputar. Naina berjalan riang masuk ke kamar sambil bergumam menyanyikan sesuatu.

Aku mengambil ponsel dari atas meja, lantas menekan nomor panggilan.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif...."

Bibirku mencebik kesal. Aku melakukannya berkali-kali sampai puluhan panggilan tak terjawab. Lalu, menyerah dan memilih menekan nomor panggil lainnya.

"Halo?"

Aku memandang pintu kamar Naina sebelum menjawab dengan bisikan, "Taehyungie. Kau sudah kelar syuting?"

"Syuting apa?"

"Syuting apa saja."

"Hum... tidak ada jadwal syuting hari ini. Aku sedang jalan-jalan bersama Jimin."

Aku menggigit bibir bawah. "Kalian ada kesibukan apa?"

"Kenapa tidak tanya ke Hyung?"

"Tanya bagaimana? Nomornya saja tidak aktif."

"Ah... mungkin dia sibuk membuat lagu. Sana, temui di studio."

"Kau beneran bersama Jimin? Bukan berkencan dengan orang?"

"Kenapa aku harus bohong?" Ia berteriak memanggil nama Jimin dan disambut dengan suara Jimin sayup-sayup di seberang. "Dengar, kan? Lagi pula, kenapa kau curiga aku kencan?"

"Gelagatmu aneh. Jangan-jangan kau sudah punya pacar dan tidak memberi tahuku."

Taehyung terkekeh. "Kalau aku punya pacar pun aku tidak akan memberi tahu." Ia tertawa lagi. "Tidak, sumpah, aku tidak ada waktu cari pacar. Kapan-kapan saja kalau mau."

Aku memandang jam tangan. "Oke. Aku tutup ya."

"Kau mau ke kantor beneran?"

"Mau bagaimana lagi." Aku memutus sambungan.

Aku tidak suka digantung begini.

*

"Hei, berengsek, angkat panggilanku." Aku berteriak kesal ke pesan suara. Sialan. Bikin naik darah saja.

Kupandangi ponselku dan menggulir pesannya. Ia terakhir kali membalas pesanku sekitar dua minggu lalu. Sambil terus mencoba menelepon, aku berjalan dari halte menuju gedung agensi. Jarum jam tanganku menunjuk angka tujuh malam. Matahari sudah agak bersembunyi di balik awan. Walaupun belum sepenuhnya gelap.

Begitu sampai di depan Genius Lab, aku menekan kode.

Gagal.

Mataku mengedip berkali-kali. "Kenapa gagal?" Aku memasukkan kode sekali lagi. Gagal. Sambil menggigit jari, aku berpikir sangat keras, mengingat kodenya. Barangkali aku yang lupa. Namun, ia hanya mengganti tiga kali dan selalu mengatakannya padaku.

Aku mencoba semua kode yang pernah diberikannya. Namun, sia-sia. Aku tidak bisa membuka pintu itu. Aku mengetuk pintu berkali-kali sambil memanggil nama lengkapnya. Tak ada suara apa pun di dalam.

Aku menghubungi Taehyung lagi.

"Ada apa lagi, Noona?" tanyanya di sela-sela kunyahan. "Aku lagi makan, nih."

"Dia tidak ada di studio." Aku menggaruk hidung yang tak gatal.

"Masa? Mungkin di dorm? Eh, Jimin, tadi sebelum keluar dorm, kau lihat Yoongi Hyung, tidak?"

"Tidak."

Taehyung kembali berbicara padaku. "Coba tanyakan Namjoon Hyung."

Bola mataku berputar. "Oke, bye."

Sambungan terputus lagi. Aku mendesah panjang dan berlalu pergi. Saat melewati Golden Closet, kakiku berhenti. Aku mendengar suara musik di dalam. Mataku membeliak. Dengan riang, aku mengetuk pintu. Tak berselang lama, pintu dibuka menampakkan wajah Jungkook yang penuh tanda tanya.

"Kenapa kau di sini?" tanyanya. "Oh, mencari Hyung, ya? Mau masuk dulu?"

Aku masuk ke studio Jungkook. Musik yang terdengar di speaker sangat keras.

"Aku tidak mau mengganggumu, tapi... aku sedang kesepian," kataku.

Jungkook mengerjapkan mata bulatnya. "Aku sebenarnya tidak mau ikut campur."

"Aku tahu, aku tahu. Maaf. Oke. Lupakan." Aku menggeleng dan duduk di sofanya. "Lanjutkan saja kegiatanmu dan anggap aku tidak ada. Aku hanya butuh teman."

Ia menggaruk kepala, kemudian kembali duduk dan melanjutkan permainan gim komputernya.

"1307." Jungkook bersuara.

"Hm?"

"Kode barunya."

Ekspresiku berubah. "Ah...." Aku tertawa. "Kau memang adik kesayangannya ya." Ada perasaan tak enak dalam hatiku mengetahui fakta bahwa ia mengganti kode baru tanpa memberi tahu. Bukan itu yang seharusnya aku pikirkan saat ini. Bodoh.

"Kau tidak ke sana?" tanyanya tanpa berpaling ke layar.

"Tidak." Aku mendesah pelan. "Aku tidak akan masuk tanpa izin. Tidak sopan."

Praktis saja Jungkook menghentikan permainannya dan membawanya ke Game Over. Ia mendecak lidah. Entah karena kalah atau hal lainnya.

"Kalian bertengkar?" Ia memutar kursinya menghadapku.

"Tidak." Ia hanya sering menghilang tanpa kabar seolah-olah tidak mau melihatku. Dan, kami jadi sangat berjarak jauh. Apakah ini termasuk pertengkaran? Tidak. Seharusnya tidak karena kami tidak sedang berkonflik.

"Kau akan pulang, kan?"

"September. Bulan depan." Aku mengangguk.

"Mungkin dia sedih karena akan berpisah denganmu."

Aku mengernyit. "It doesn't sound like him." Dan bukan sebuah excuse untuk menghindariku. "Begini saja. Kau, lanjutkan main gim. Biar aku di sini sibuk dengan pikiranku."

"Aku mau pergi." Ia mengambil jaket dan memakainya. "Syuting untuk teaser soloku di album baru."

"Aku mau di sini."

Ia mendengus. "Ya sudah. Aku tidak akan kembali. Taruh kuncinya di pot bunga di depan." Ia melenggang menuju pintu.

"Jungkookie."

Jungkook berhenti dan menoleh ke arahku. "Hm?"

"Terima kasih."

Ia mengangguk, lalu lenyap dari pandanganku. Kini, tinggal aku seorang diri. Musik Jungkook masih berputat di speaker. Aku menghampiri komputernya dan mengganti lagu lainnya. Pandanganku tertuju ke bingkai foto di dekat komputer. Foto Bangtan. Aku duduk di kursi dan menarik maju. Aku membuka ponsel. Grup sangat sepi. Iseng, aku menghubungi Adora.

"Halo?" Terdengar suara tawa ramai di seberang sana.

"Hai, Soohyun. Aku mengganggu?"

"Oh, hai.... Aku sedang makan malam dengan para produser. Kenapa?"

"Kupikir kau di kantor. Ya sudah. Have fun!" Aku mematikan sambungan.

Kok orang-orang sibuk sendiri-sendiri, ya? Sedangkan aku sendirian di sini. Tidak ada siapa-siapa. Malam minggu terkutuk.

Tanpa sadar, air mataku berlinang. Aku menarik napas dalam-dalam dan menepuk pundakku sekadar menenangkan diriku.

Aku membenamkan wajah di meja.

*

Mataku sedikit terbuka ketika merasakan usapan di kepala. Aku mengerjapkan mata yang berat, lalu memejam lagi. Namun, masih ada tangan yang mengelus rambutku. Praktis, aku tersentak kaget.

"Berengsek." Itu kata pertana yang keluar dari mulutku menyadari keberadaan Yoongi.

Ia malah terkekeh. "Mau kuantar pulang?"

Mataku terbuka lebar. Aku menengok jam tangan. Sudah pukul sebelas malam.

"Kau mau mengantarku pulang setelah menghilang tanpa kabar berkali-kali?" tanyaku dengan nada sentimen.

Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkannya padaku. "Aku lupa bawa charger dan sibuk seharian. Maaf."

"Tidak. Bukan hanya hari ini. Hitung berapa lama melakukan ini padaku."

"Aku sibuk, El."

Aku menyipitkan mata. "Sampai tidak sempat balas pesanku padahal Taehyung saja bisa?"

"Aku dan Taehyung punya kesibukan berbeda. You know that I'm a producer, right?"

"Joonie sempat menjawab teleponku. He's a producer too, right." Mau mengelak apa lagi kau hah?

Ia menghela napas panjang. "Aku tidak mau berdebat."

"Wait, what? Berdebat?" Nadaku semakin naik. "Aku tidak sedang mengajak berdebat."

"You do."

"Just answer my question. Kau mencoba menjauhiku?"

Dahinya mengernyit. "Kenapa berpikir begitu?"

"Karena kenyataannya memang seperti itu."

Yoongi mematikan musik di komputer Jungkook, lalu memandangku lekat.

"Please, I don't wanna argue with you. Not tonight."

"Kau mengganti password Genius Lab," lanjutku.

"I'm sorry. I need some privacy."

"Privacy?" Aku mengulang. Aku akan menghormati privasinya. Tapi, entahlah, ini bukan penjelasan yang kuinginkan. Ia seakan tak memercayaiku.

"Ayo." Ia mengulurkan tangan. "Kuantar pulang."

Aku menggeleng dan melenggang gusar meninggalkannya. Pintu studio kututup kasar.

*

"El, sampai kapan diem doang di sini? Yuk, ikut gue kumpul bareng yang lain. Kita mau nobar nih." Naina bertanya dan mengajakku kesekian kali sejak pagi tadi. "Ini Minggu, lho."

Aku tak menjawab dan malah mengubur kepalaku di balik selimut.

"El! Ih! Lo beneran nggak mau ikut? Gue mau nobar 50 Shades of Grey di rumah Mijin, nih." Ia mencoba menyibak selimutku. Aku menariknya lagi. Naina menghela napas panjang. Ia lantas menjauhiku dan menghubungi teman-teman ARMY-nya. "Dari tadi pagi dia belum makan. Iya. Aku tidak bisa pergi kalau dia masih begini. Kalian saja yang ke sini ya? Bawa kasetnya sekalian! Oke!"

Naina naik ke ranjang lagi, membuka selimut, dan memeluk dari samping.

"What happens?"

"Leave me alone."

"Tapi lo belum makan sejak tadi pagi. Ini udah sore, lho."

Aku tak membalas. Naina mendesah panjang. Ia meninggalkanku dan membiarkan aku sendirian. Aku menaikkan selimut lagi. Meskipun lapar, aku tidak nafsu makan. Maka, yang kulakukan tidur lagi untuk kesekian kali.

*

Saat membuka mata, aku tak mendengar suara apa pun. Seharusnya apartemen ini ramai karena teman-teman Naina datang menonton film. Namun, keadaan hening. Perutku bergolak bereaksi setelah seharian belum makan.

Jam dinding di kamar Naina menunjuk angka delapan. Aku melihat ponsel. Banyak sekali pesan yang belum kubalas. Naina mengirim pesan mengatakan bahwa ia menginap di rumah Mijin. Aku mendesah panjang.

Aku mengernyit mencium aroma masakan dari luar. Anjir, kok aku jadi merinding? Naina bilang apartemen ini ada penunggunya, tapi aku tidak pernah percaya akan hal itu.

Aku mengambil payung yang digantung, lalu melangkah berjinjit ke luar kamar sambil menggenggam gagang payung. Siap-siap kalau ada penjahat atau psikopat masuk apartemen ini.

Begitu sampai di dapur, aku mengayunkan payung dan saat bersamaan kudengar suara pekik kaget.

"Yah, kau membuatku jantungan. Untuk apa bawa-bawa payung?" Yoongi bertanya bingung.

"Untuk memukul kepalamu," jawabku ketus. "Kenapa kau ke sini?" Kuletakkan payung ke atas meja makan yang sudah terhidang makan malam.

Ia tak memedulikan pertanyaanku. Ia melepas apron dan menggantungnya, lalu menarik kursi.

"Ayo makan. Aku rela dimarahi Hoseok karena absen latihan demi datang ke sini dan memasak untukmu."

Bola mataku berputar. "Enyahlah." Aku memutar badan berniat pergi.

Tubuhku dipeluk dari belakang. Tangannya melingkar erat di pinggangku.

"Lepaskan," kataku.

"Maaf." Ia menyandarkan dagu di atas pundakku. "Maaf soal kemarin."

Aku hanya diam.

"I was just tired. I'm sorry, Bae." Ia mengecup pundakku. "I was anxious. Terlalu banyak hal yang membuatku frustrasi."

"You could tell me."

"I couldn't. Aku tidak mau melibatkanmu. Aku ingin mengatasinya sendiri. It's my own problem. Kau jadi tahu sifat jelekku."

Aku menunduk, meraih salah satu tangannya. Kuamati ibu jarinya. Ia melukainya lagi. Tanda bahwa ia jujur.

"Tell me, what's on your mind?" Aku memutar badan. "Sudah pernah kubilang, kan? Kita bisa berbagi. Please, trust me. Aku ingin kau memercayaiku."

"I trust you. I will always do."

Kedua tangannya merengkuh wajahku. Mataku memejam. Bibir kami berpagutan lembut. Ia mengangkat badanku ke meja. Tanganku melingkar di lehernya. Jantungku berdebar memacu adrenalin.

Perutku tiba-tiba bunyi, membuat kami melepaskan ciuman. Ia tersenyum sedangkan aku menyelipkan rambut ke belakang telinga karena malu. Ia mengecup pipiku.

"Dinner is ready, darling."

*****

Muk pacar kek Yoongi 👉🏻👈🏻

Maap guis gw lagi banyak kerjaan jadi jarang update :( Harusnya part ini Sabtu biar kalian yang jomlo makin merana. Tapi takut Sabtu sibuk lagi hehehe

Eaaaaa ada yang sama nggak nih? 😝

Lanjot? 👁👄👁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro