#32
Ia tiba-tiba saja muncul dengan wajah lesu, lantas memelukku.
"Hey, kau dari mana saja? Orang-orang mencarimu, tahu." Aku berusaha melepas pelukannya, tetapi ia malah mengeratkan tangannya seakan tak mau melepasku. Aku menghela napas panjang dan membiarkannya tetap memelukku.
Aku mengusap dan menepuk pelan punggungnya.
"Jangan begini," kataku. "Kau akan membuat keadaan semakin rumit. Kalian harus segera merilis album baru, kan?" Aku menepuk punggungnya. "Jangan buat kerjaanku menumpuk." Lalu, aku tertawa pelan sekadar mencairkan suasana. "Butuh teman minum?"
"Tidak," balasnya, nyaris tak terdengar. "Aku hanya membutuhkan pelukanmu."
Aku tersenyum kecut dan menuruti keinginannya. "Baiklah."
*
Aku sudah memberi tahu Namjoon. Ia hanya memintaku menjaga dan menemaninya saja. Siasanya, ia memastikan akan ikut mencari jalan keluar dengan menemui Bang PD langsung.
"Letakkan ponselmu. Cahayanya mengganggu," Yoongi mengerang sambil menurunkan ponsel di tanganku.
"Makanya, jangan di sini," balasku. "Aku tidak bisa bergerak, nih."
Alih-alih melepaskan aku, ia malah mengeratkan tangannya memelukku.
"Sana."
"Tidak mau," balasnya, lalu menyusupkan wajahnya di leherku.
Aku mengerang pelan dan mengalah. Membiarkan ia tidur sambil memelukku cukup erat seakan tengah memeluk guling.
Aku yang sejak tadi membelakanginya pun memutar badan, memandang langit-langit.
"Aku kegerahan," kataku.
"Ya sudah. Buka saja bajumu."
"Kau mau mati?"
Ia tertawa pelan seperti gumaman. "Aku suka mencium aroma stroberi mint di badanmu. Itu cukup membuat pikiranku kembali tenang."
"Ya sudah, aku kasih cologne-ku, terus semprotkan ke bantalmu."
Ia terkekeh. "Rasanya pasti berbeda." Ia meregangkan pelukannya. "Maaf sudah membuatmu cemas."
"Lain kali jangan asal kabur."
"Aku tidak kabur. Hanya butuh waktu untuk berpikir."
Aku memutar badan menghadapnya. "Sepertinya besok giliran aku dipanggil dan disuruh bayar denda."
"Aku sudah membayarnya."
"Kau gila?" nadaku naik setengah oktaf.
Ia tersenyum. Jemarinya memainkan rambutku dan mengusap pipiku.
"Hm. Kau yang bikin aku segila ini."
Aku mendecak lidah. "Bukan salahku kalau kau terpikat dengan pesonaku. Aku memang semenarik itu."
Ia terkekeh. Tangannya mengusap rambutku.
"Aku mau tidur," kataku pelan, kemudian mulai memejamkan mata. Suara napasnya terdengar lembut. Ketika ia membawaku ke pelukannya, aku mendengar degup jantungnya. Suara-suara itu membantuku tidur dengan sangat lelap.
*
Aku terbangun oleh suara telepon. Tanganku menggapai-gapai mencari keberadaan ponsel dan berhasil mendapatkannya, masih dengan mata memejam. Tanpa melihat nama si penelepon, aku mengangkatnya.
"Halo?"
"Gue bentar lagi balik ke apartemen. Lo mau nitip makan, nggak?"
Mendengar suara keras Naina di seberang seketika membuat mataku terbuka. Aku mengucek mata, melihat ranjang sudah dalam keadaan kosong.
"Hm... iya."
"Oke, deh. Gue sampe di sana jam sembilan kayaknya." Sambungan diputus.
Sambil menguap, aku meregangkan badan. Aku membuka pesan dan mendapatkan chat dari Yoongi yang mengabarkan pergi dini hari.
Naina datang pukul sembilan lebih sambil mengoceh menceritakan kekesalannya terhadap teman-temannya. Aku mendengarkan saja sambil menunggunya membuka kotak makan.
"By the way, semalam Yoongi ngasih tahu gue mau numpang di sini. Emang ada apaan?" Mata Naina membulat penasaran.
"Bukan urusan lo. Mending nggak usah tahu."
Bibir Naina mencebik. "Gue udah nonaktifin mode ARMY gue sejak kemarin, tahu."
Aku menyeringai. "Nggak usah kepo. Makan aja sana."
Ia mendecak lidah, lantas kami mulai makan bersama-sama.
"Oh ya, lo jadi nggak balik ke sini kalau udah lulus?"
Aku menghentikan suapan. "Hm... nggak tahu."
"Mending lanjut S2 di sini aja atau lanjut kerja di BH. Lo bego kalau ke Eropa."
"Kok bego?"
"Iyalah. Di sini udah ada peluang, kenapa masih mau kerja keras ke Eropa? Kalau gue sih ya tetep di sini."
Aku mendesah. "Mimpi gue kan bukan cuma Korea, Na. Gue masih pengen keliling Eropa. Gue mau lihat kincir angin raksasa, menara Eiffel, Museum Louvre, Big Ben, ah...." Aku jadi berangan-angan.
Naina mendecak lidah. "Kan lo bisa ke sana tanpa belajar."
Senyumku lenyap dan berganti cebikan masam. Kami tak lagi melanjutkan topik ini karena Naina mulai cerewet membahas Taehyung.
*
Aku diminta menghadap Bang PD pada Senin setelah menyelesaikan kelas. Kami duduk berhadapan di kantornya. Aku memangku tangan dan memain-mainkannya di bawah meja karena gugup dipandang setajam itu. Ia bahkan tidak tersenyum sedikit pun sejak tadi.
"Anu... aku akan bayar denda," kataku.
"Tidak perlu. Dia sudah membayarnya."
"Tapi, ini kan tanggung jawabku...."
"Kau punya uang sebanyak itu?"
Aku mengerucutkan bibir. "Aku akan mencicil."
Ia menyeringai. "Aku sangat terkesima dengan konsep-konsep yang kau ciptakan untuk Bangtan. Sungguh. Itu membuatku sulit untuk mengambil keputusan akan mempertahankanmu atau tidak."
Mataku terpaku pada tangan yang kupangku.
"Jadi, aku mengembalikan semuanya ke dirimu," lanjutnya.
Kepalaku terangkat. "Aku?"
*
Seojun menungguku di ruang Divisi Perencanaan dengan wajah tegang. Sama seperti tim yang lain. Mereka tahu bahwa hari ini adalah jadwal sidangku di depan Bang PD.
Aku memandang mereka satu per satu.
"Kau dipecat?" tanya Eunhye.
Aku tersenyum lebar. "Aku tidak akan pergi sampai tugasku selesai di sini. Aku tidak selemah itu, tahu."
Mereka berseru kegirangan. Seojun menghampiriku dan melingkarkan tangan di pundakku.
"Kau memang benar-benar luar biasa. Ayo, nanti sepulang kerja aku akan mentraktir kalian semua dan kita kembali bekerja lebih keras lagi."
Aku tertawa. Mereka terlihat senang karena aku tidak jadi keluar dari kantor agensi ini. Itu artinya ekspresiku sudah sangat meyakinkan karena mereka yakin semua akan baik-baik saja.
*
Aku mengambil foto pemandangan kota Seoul dari rooftop gedung Big Hit melalui ponsel. Udara sudah mulai memasuki suhu hangat menuju panas. Biasanya udara di Korea bisa sangat panas melebihi Indonesia saat memasukin musim panas sehingga banyak hewan ternak yang sampai mati dan orang-orang pingsan di jalanan.
"Kau senang kerja di sini?"
Aku terkejut mendengar suara Manajer Sejin di belakang. Ia menghampiriku dan berdiri di sebelah. Hal itu membuatku tersenyum rikuh.
"Iya. Di sini menyenangkan."
"Karena staf atau Bangtan?"
Aku menoleh, lalu tertawa. "Kalian semua. Aku menyukai kalian semua."
Pria berbadan tinggi dan besar itu tersenyum ramah. "Kau dibuat kesulitan dengan anak-anak?"
"Anak-anak?" Aku bertanya bingung dan segera sadar bahwa maksudnya adalah Bangtan. "Ah... tidak. Mereka menyenangkan. Kau sudah lama bekerja dengan mereka?"
"Hm. Sejak mereka masih bayi." Ia tertawa. "Rasanya seperti membesarkan anak sendiri. Melihat tumbuh kembang mereka. Kini, nama mereka semakin bersinar. Tetapi mereka tetaplah anak-anak yang sama."
"Mereka akan semakin bersinar. Kerja tim mereka luar biasa. Penggemar mereka juga sangat loyal." Aku mengembuskan napas panjang. "Intuisiku selalu bilang mereka akan menjadi grup paling sukses dalam waktu dekat."
"Lalu, kau sudah siap kalau hal itu terjadi?"
Aku termangu. "Siap?"
Manajer Sejin tersenyum simpul. "Aku harap kau siap dengan banyak kemungkinan." Ia lantas melenggang menjauhiku.
*
"Masih nggak ada kabar?" tanya Naina yang sedang mengecat kuku.
Aku mengembuskan napas panjang. Tak menjawab.
"Dia harus fokus sama comeback,El." Naina mencoba menghibur. "Tenang aja. Kalau udah nggak sibuk pasti hubungin lo."
"I wish." Aku memandang Naina yang mengeringkan kukunya. "Lo masih berharap bisa pacaran sama Taehyung?"
Ia memandangku keheranan. "Iyalah. Taehyung tuh cinta mati gue."
"Biarpun nggak dikasih kabar dan ngeblokir nomor lo?"
Ekspresinya lantas berubah. "Iya kali?"
Aku mengembuskan napas panjang. "That's not how love works, Naina. Love is about communication between two." Dengan lesu, aku beranjak dari sofa dan masuk ke kamar.
Aku mengingat saat Bang PD menyindangku. Ia memberikan semua keputusan kepadaku.
"Aku... ingin bertahan di sini. Aku menyukai pekerjaanku."
"Begitu? Kalau begitu, kau harus mematuhi peraturan perusahaan ini."
"Peraturan?"
"Jangan mengganggu artis kami saat dalam masa-masa comeback sampai tahap promosi berakhir. Kau sanggup?"
Sungguh sial. Seharusnya aku memilih keluar dari kantor dan backstreet daripada seperti ini.
Aku duduk di meja belajar memandang kalender dengan sedih. Aku melingkari salah satu tanggal di bulan September. Itu adalah hari saat aku meninggalkan Seoul untuk fokus dengan kuliahku di Indonesia.
*
Grup sangat sepi. Biasanya mereka ramai saling menggoda. Namun, tak ada satu pun anggota yang mengirim chat ke grup khusus mereka dan staf khusus.
Jungkook tidak membalas pesanku.
Namjoon pun tidak.
Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan aku memaksakan diri fokus dengan tugas-tugas kampus.
Aku memandang buku catatan berisi konsep album Wings beserta sketsa kasar music video yang akan ditampilkan di album tersebut. Ini bukan proyekku karena aku diminta untuk fokus di proyek seri Love Yourself. Namun, aku tetap diminta untuk membantu sedikit dalam hal estetika propertinya nanti. Meskipun hanya berkecimpung di balik layar.
Ponselku bergetar. Jantungku mencelus mengharapkan panggilan darinya. Namun, nama yang muncul di layar rupanya Seojun.
"Halo?"
"Kenapa kau tidak muncul di grup proyek kita?"
Aku buru-buru melihat grup. Banyak sekali chat di sana. "Ah, maaf. Ada info apa?"
"Kita dijadwalkan membahas proyek selanjutnya dengan Bangtan bulan Juli. Jadi, persiapkan presentasimu dengan baik. Oke?"
Bibirku tersenyum lebar. "Siap!!!"
*
Berulang kali aku mengetuk-ngetuk jemari di meja menunggu kedatangan Bangtan ke ruang rapat. Ini pertama kalinya aku bertemu mereka lagi setelah sebulan penuh tak memiliki waktu dengan mereka karena kesibukan syuting dan lainnya. Taehyung muncul lebih dulu dengan rambut pirangnya. Ia tersenyum lebar ke arahku.
"Noona, aku merindukanmu, tahu!" katanya seraya memelukku dengan erat. "Lebih baik kau melamar sebagai Coordi Noona saja biar aku lebih sering bertemu denganmu."
Aku terkekeh. "Yah, kau kurus sekali."
"Masa?" Ia memegang pipinya.
Lantas, muncul Jimin dan Hoseok yang meramaikan kantor. Saking lamanya tak bertemu, aku sangat pangling melihat Jimin. Sepertinya ia jauh lebih banyak kehilangan berat badan daripada Taehyung. Ia melepas kacamata dan duduk di sebelah Hoseok. Saat memandangku, ia mendekatkan kedua jari ke pelipis diikuti senyum miring menggoda.
Yang lain muncul satu per satu, lalu mengambil tempat duduk.
"Kita sudah sebulan lebih tidak bertemu, aku sampai pangling melihatmu," kata Seokjin. "Kau makan dengan baik?"
Aku tersenyum. "Iya."
"Kenapa cuma dia yang ditanya?" bisik anggota timku yang duduk di sebelahku. Aku tak memedulikannya.
"Oke, tinggal berapa orang?" Seojun menghitung jumlah peserta rapat.
"Selamat siang." Secara bersamaan, Jungkook muncul diikuti Yoongi. Ia telah mengganti warna rambut menjadi hitam. Baru kali ini aku melihatnya berambut hitam secara langsung. Ia sangat berbeda.
Aku tersenyum melihatnya. Namun, ia sama sekali tak memandang ke arahku dan langsung duduk di samping Jungkook dengan wajah murung dan bosan.
"Baiklah. Kita mulai rapat hari ini." Seojun memandang ke arahku.
Ketika aku berdiri, Bang PD muncul dan duduk di bangku paling ujung. Kami menundukkan kepala dengan hormat. Tanganku berkeringat dingin. Tadinya, aku sudah cukup percaya diri untuk mempresentasikan konsepku. Namun, jantungku berdebar dan aku mulai terserang panic attack secara tiba-tiba.
Mereka semua menungguku. Seojun membulatkan mata. Aku memutar badan memandang layar dan memejamkan mata rapat. Mengatur napas. Kemudian, memutar badan. Memandang tiga hal yang langsung tertangkap mataku. Pertama, pena di genggaman Seojun. Kedua, buku di depan Namjoon. Ketiga, wajah Yoongi. Ia memperhatikanku dengan saksama.
Lalu, aku mencoba mendengar tiga suara. Suara ketukan jemari Yoongi pada meja. Suara Seojun menuangkan air ke dalam gelasnya. Dan suara kecapan Taehyung yang sedang mengunyah permen karet.
Perlahan, aku menggerakkan kaki, tangan, kemudian kepala.
"Kau baik-baik saja?" tanya Namjoon.
Aku tersenyum. "Ya. Maaf membuat kalian menunggu." Lantas, memulai presentasiku.
Mereka mendengarkannya dengan saksama tanpa memotong ucapanku sebelum aku memberikan waktu untuk sesi bertanya.
Presentasi berlangsung selama satu jam dan aku meminta waktu untuk ke toilet. Seojun mengambil alih dengan presentasi selanjutnya. Aku mendengar suaranya teredam saat ke luar dengan langkah tergesa-gesa menuju toilet.
Begitu sampai di dalam bilik, aku memuntahkan isi perutku. Tanganku gemetar dan badanku berkeringat. Badanku lemas sekali. Aku duduk bersandar pada pintu bilik untuk mengatur napas sampai benar-benar tenang.
Lima belas menit kemudian, aku bangkit dan ke luar bilik untuk mencuci mulut dan muka. Kupandang wajahku di depan cermin. Selama di Seoul, baru kali ini hal ini terjadi. Apa yang memicuku, ya? Wajah Bang PD yang angker? Aku menggelengkan kepala. Ah, tidak mungkin.
Aku terkejut saat melihat Yoongi berdiri di samping toilet, bersandar pada dinding dan melipat tangan di depan dada. Aku terdiam cukup lama. Bingung harus mengatakan atau melakukan apa.
"Sudah baikan?" tanyanya.
"Ya...." Suaraku terdengar lemah. Aku mengangguk perlahan.
Badanku ditarik dan dipeluk olehnya hingga membuat mataku membulat kaget.
"Maaf," katanya. "Aku merindukanmu dan tidak bisa melakukan apa-apa."
Hatiku langsung tenang. Apakah pemicu panic attack-ku tadi adalah dirinya? Karena ketakutanku akan sikap abainya?
Aku membalas pelukannya sekadar menenangkan diriku sendiri. Lega sekali. Aku bisa bernapas lega dan nyaman. Aku jadi takut terlalu menggantungkan perasaan dan kenyamananku padanya.
Sebab, ini akan jauh lebih menyakitkan.
"Tolong," bisikku parau, "jangan tinggalkan aku."
*****
Met weekend sobat haluku 🌚
Weekend paling enak rebahan sambil main hape atau baca ya 😗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro