Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#30

Aku menolak panggilan Naina. Meskipun, sudah puluhan kali ia mengirim pesan dan mencoba menghubungiku. Sampai malam ini pun, aku masih belum menemukan tempat untuk menginap.

Apa kuiyakan saja ya ajakan Adora?

Bola mataku berputar. Masa aku menginap di tempat 'mantan gebetan' pacarku sih.

"Kau tidak pulang?" Aku mendengar suara Jungkook di belakang, membuatku praktis memutar badan. Jungkook melenggang menghampiriku.

Aku sedang berdiam diri di rooftop Big Hit kedua kalinya hari ini sekadar menjernihkan pikiran dan berpikir. Lalu, kejadian mengingat sore tadi.

"Nanti," jawabku singkat. Aku tak mau membahas soal kabur dari apartemen teman atau bahkan asrama karena bertengkar. Yoongi bahkan belum kuberi tahu.

"Maaf soal tadi," katanya. "Tidak bermaksud mengganggu privasi."

"Kau sudah tahu." Aku mendengus.

Ia terdiam cukup lama. Mata kami berserobok.

"Kau tahu konsekuensinya, kan?"

"Ya ya ya. Aku sudah mendengarnya berkali-kali," aku menyerobot.

"Dan masih tidak takut?"

Aku bertolak pinggang. "Tidak. Seharusnya tidak ada peraturan bodoh seperti itu. Aku sungguh kasihan dengan Jimin dan staf yang keluar hanya karena peraturan bodoh di sini."

Ia terkekeh. "Yah, kau sudah menyetujuinya di awal, artinya kau bersedia tunduk dengan peraturan itu."

"Aku tidak bisa mengatur kapan dan di mana jatuh cinta dengan seseorang, bodoh." Aku mendecak lidah kesal. Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan anak kecil. "Sana, adukan ke Bang PD."

Cowok itu mendengus. "Aku mencarimu bukan untuk berdebat, maaf." Ia mengulurkan tangan. "Selamat."

"Apa sekarang? Kau mengucapkan selamat untuk apa?"

"Bukan untuk hubungan kalian." Nadanya terdengar sentimen. "Selamat sudah semakin tua."

"Sialan." Aku tak bisa menahan tidak tertawa. Biarpun menyebalkan, ada saja tingkahnya yang menghiburku. Kubalas jabatan tangannya. "Terima kasih."

"Tadinya... aku ingin memberimu sesuatu, tapi." Ia melihat ke dadaku. "Hadiah itu lebih bagus. Aku jadi minder."

"Kau ngomong apa sih. Mana hadiahnya."

Ia menggeleng. Mataku menyipit.

"Kapan-kapan saja," balasnya enteng. "Kalau kau sudah putus dengan Hyung."

Mulutku menganga. "Anak sialan. Kau mendoakanku putus dengannya?" Nadaku naik setengah oktaf.

Ia tak mengindahkan nada kesalku. Tangannya membentuk pistol, lantas menekan dahiku dengan ujung telunjuknya, seolah-olah menembak jidatku. Kepalaku terdorong sedikit ke belakang.

"Kau ini—"

Ia menyeringai. "Biar kau ingat kalau aku masih menyimpan hadiah ulang tahunmu hari ini. Suatu saat nanti, aku akan memberikannya padamu."

*

Seven Eleven tampak kosong. Aku berjalan pelan mengulur waktu sekadar mengambil minuman kaleng sambil memikirkan langkah selanjutnya. Kutengok jam di pergelangan tangan. Sudah pukul sembilan. Namun, pikiranku masih buntu.

Begitu membayar minumanku di kasir, aku membuka straw holder dan berjalan ke luar sambil meneguknya. Kumasukkan satu tangan di saku celana sambil melihat awan berbintang.

Aku mendengar dengusan yang mirip tawa mengejek di dekatku. Praktis, aku menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan sedang mengamatiku sambil melipat tangan. Aku nyaris tersedak soda yang sudah kuminum begitu melihat sosok Kyunghee.

"Selamat malam," katanya dengan nada dan senyum hiperbolis.

Aku memalingkan pandangan. Ngapain dia ke sini? Mendadak, perasaanku tidak enak. Seolah ada hantu yang sedang bergentayangan di sekitarku.

"Hm," ia melanjutkan, meski aku tidak menggubrisnya. "Melihatmu memakai kemejanya, aku jadi teringat dulu juga suka begitu." Ia tertawa pelan. "Dia pikir aku bisa percaya begitu saja dengan kebohongannya saat di Daegu."

Dahiku mengernyit. Kalimatnya sukses menarik perhatianku.

"Enyahlah. Untuk apa kau di sini?"

"Untuk menemuinya. Seperti biasa?" Ia mengedikkan bahu.

"Dasar orang gila," bisikku, lalu mendengus.

Ia mengerucutkan bibir ke samping. "Bagaimana kabarmu sejak punya pacar idol? Hm? Mendapat teror? Dipukuli? Menyenangkan, tidak?"

Ekspresiku berubah seketika. Aku menatapnya lekat. "Jadi, itu ulahmu?"

Ia membulatkan mata, pura-pura kaget. "Waw." Lalu, tertawa. "Ulahku? Yang mana? Memberikan informasi ke sekelompok sasaeng soal data pribadimu? Memberi tahu kalau kau pacar bias mereka?" Senyum di bibirnya lenyap, berganti dengan seringai kecil menyeramkan. "Tick tock."

"Bitch, you ruined my birthday." Aku melemparkan kaleng sodaku ke sembarang tempat dan melayangkan tamparan sangat keras ke pipinya hingga membuatnya oleng. Telapak tanganku sangat panas. Seperti amarah yang meluap di dadaku, bersiap meledak bagaikan magma.

Aku sampai menampar sahabatku sendiri gara-gara jalanh sialan ini. Tamparan itu bukan untuk kemarahanku, melainkan rasa penyesalanku pada Naina.

Kyunghee tertawa seraya menyentuh pipinya. "Seorang pendatang berani menamparku." Ia mendecak lidah. "Dengar ya, selama aku hidup, aku pastikan hidupmu tidak akan tenang."

"Kau mulai memberikan aba-aba peperangan? Go ahead. Tunjukkan seberapa hebat dirimu."

Ia menyengir. "Dasar bodoh." Kemudian, melenggang pergi sambil bernyangi nyaring dan menari kecil di tengah jalan. Ia berputar ke arahku dan mengacungkan jari tengah. Lantas berputar lagi dan melanjutkan nyanyiannya sambil tertawa riang.

Begitu sosoknya lenyap dari kegelapan, kakiku terasa lemas. Jantungku berdebar sangat kencang. Adrenalinku berpacu. Dengan segera, aku berlari kembali ke kantor agensi untuk mengambil tas dan pergi.

*

Wajah Naina muncul dari balik pintu yang terbuka setelah aku menekan bel.

"El?"

Aku praktis memberondong masuk sambil memeluknya erat dan menangis terisak-isak. Ia tampak bingung dengan reaksiku. Meski begitu, ia membiarkanku memeluknya dan menangis sampai benar-benar lega.

Sekitar sepuluh menit kemudian, barulah aku bisa duduk tenang. Naina muncul membawa secangkir teh hangat untukku.

"Maaf," kataku. Bahkan untuk memandangnya saja aku tidak bisa. Mataku mengarah ke tangan di pangkuan.

"Gue yang harusnya minta maaf," katanya. "Gue udah bohong." Ia meletakkan cangkir itu di meja dan duduk di sebelahku. "Gue emang yang punya fake account yang suka nyebarin info Bangtan dari insiders.... Tapi, sumpah, gue nggak pernah mau kasih tahu info soal lo di akun itu, apalagi ke sasaeng. Gue nggak pernah jual info. Orang-orang berusaha beli info di gue, tapi nggak pernah gue peduliin. Bahkan sasaeng yang gue kenal dari akun itu pun nggak pernah gue kasih tahu soal lo. Gue udah hapus akun itu. Kalau perlu, gue bakal ngaku ke Big Hit, deh."

Aku mengangguk, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Ucapan Kyunghee tadi membuatku sedikit terguncang. Bukan hanya pengakuan gilanya, ancamannya pun membuat perasaanku tak karuan.

Aku menggeleng. Ini bukan saatnya membiarkan iblis betina itu menguasai dan mempermainkan emosiku.

"Aktifin akun lo yang itu lagi," kataku.

"Buat apa?"

"Gue bakal jelasin. Gue butuh bantuan lo."

Masih dengan wajah bingung, Naina mengangguk.

*

"Kenapa kau tidak berpamitan saat pulang? Aku menyempatkan untuk bertemu denganmu."

"Maaf." Aku menutup pintu kamar sambil mendengarkan suara berat di seberang telepon. "Ada sesuatu yang harus kuselesaikan."

Yoongi menghela napas berat. "Baiklah."

"Kau sudah pulang?"

"Sudah."

Aku memandang Naina yang baru keluar dari kamar mandi masih dengan rambut basah.

"Yoongi-ssi."

"Ya, Bae?"

Aku tersenyum kecil. "Aku mencintaimu."

Naina menyentuh dadanya, memberikan gestur dan ekspresi pura-pura kesakitan karena tertusuk panah.

Di seberang, Yoongi tertawa. "Kenapa tiba-tiba? Biasanya tidak pernah bilang begitu di telepon?"

"Kau tidak?" Nadaku naik.

Ia tertawa lagi. "Selamat malam." Lantas, menutup sambungan.

Mulutku menganga. "Dia biarin gue bilang begitu tanpa jawaban?" Mataku memelotot.

Naina terbahak. "Biasalah, tsundere. Banyakin kesabaran." Ia tertawa lagi.

Aku mendecak lidah dan meletakkan ponsel ke atas meja, lalu pergi mandi. Sekitar setengah jam kemudian, aku kembali sambil menggosok rambutku yang basah. Naina sudah tertidur dengan telinga disumpal earphone.

Aku mengalungkan handuk dan meraih ponsel di meja. Ada satu pesan dari Yoongi. Ia memberikan sebuah link. Sebelah alisku terangkat. Aku mengeklik link yang diberikannya dan tersambung dengan sebuah playlist di Spotify.

Bibirku mengembangkan senyuman semringah. Tak kusadari mataku berkaca-kaca. Aku mengusap pelupuk mataku yang sudah basah.

Ia mengirim satu pesan lagi untukku.

*****

Apa tidak ambyar? Hatiku seperti sego kocheng yang ga dikaretin.

Btw kemaren kan gue tanya umur ya. Berhubung semua ceritaku itu bisa dikategorikan temanya lumayan berat. Ternyata selain 20 sampai ada yang 30, ada juga yang underage :""""")

Untuk yang underage mohon kebijakannya dalam membaca ya, Dek :")

Karena cerita ini sejak awal tujuannya ga cuma menye-menye uwu aja. Ada banyaaaaaak banget hal penting yang pengen kutuangin di cerita ini juga. Di part-part ke belakang nanti banyak adegan kekerasannya (?) dan bakal makin ambyar kemeratak 💔

Jangan lupa voment biar acu semangat juga lanjutin uwu 😗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro