#29
Aku memandang ponsel itu cukup lama. Bibirku menganga, tidak percaya dengan penglihatanku sendiri. Kuletakkan ponsel itu di meja, membereskan buku dan menutup laptop.
Begitu masuk ke kamar Naina, kulihat ia sedang mencatok rambutnya di sana. Ia memandangku selama beberapa saat dan kubalas dengan tatapan tajam. Aku tak mengatakan sepatah kata pun, langsung mengambil ransel, mengemasi baju-bajuku dari lemarinya.
"Ngapain lo?" tanyanya.
Pertanyaannya tak kujawab. Aku bergegas cepat keluar kamar dan memasukkan buku serta laptop yang kutinggalkan di meja. Dari belakang, Naina mengikutiku. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan melihat kegusaranku.
"Lo mau ke mana??" tanyanya. "Jawab dong kalau ditanya!"
Sebelum melenggang pergi, aku memutar badan menghadapnya, lantas mendaratkan tamparan ke pipinya hingga membuatnya terkejut. Matanya membeliak kaget.
"What the...."
"Gue nggak nyangka aja lo begini sama gue." Aku menaikkan hoodie dan berbalik badan, berjalan gusar meninggalkan apartemen Naina.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam saat aku berjalan di trotoar dengan langkah lesu. Kumasukkan kedua tanganku ke kedua saku hoodie sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ngeri juga kalau tiba-tiba ada sasaeng yang menyerangku seperti waktu itu.
Aku membuka ponsel. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Naina dan pesan yang ditinggalkannya. Tampaknya, ia sudah tahu alasanku marah.
Persetan.
Aku memutuskan tak kembali ke dorm karena malas melihat wajahnya kalau benar-benar mencariku ke sana. Aku berhenti di halte, menunggu bus. Berhubung Bangtan ada jadwal di luar kota untuk keperluan syuting, aku jadi tak mau mengganggu mereka, apalagi Yoongi.
Aku menaiki bus menuju Gangnam. Tepatnya ke kantor agensi. Sepanjang jalan, aku menyandarkan kepala pada kaca jendela. Sejak tadi, aku mematikan ponsel menghindari panggilan Naina. Aku sedang malas diganggu dan ingin mengosongkan pikiran.
*
Jam segini, masih ada beberapa staf dan trainee yang berlatih. Aku berpapasan dengan beberapa orang yang tampak bingung dengan keberadaanku. Aku hanya memberikan senyum simpul, melanjutkan langkah menyusuri koridor studio, lalu masuk ke Genius Lab. Wow. Aku cukup terkesima karena ia tidak kunjung mengganti password dan mempercayakan ingatanku—dan Jungkook.
Aku melempar ransel ke sofa, melepas hoodie dan hanya memakai tank top. Kulempar badanku duduk di sofa panjang sambil mengeluarkan ponsel untuk menghidupkan. Aku berniat memesan makan.
Oh, btw, sekalian izin ke empunya studio. Setelah memberikan kabar, aku mengeluarkan laptop dan melanjutkan tugasku.
Mendengar bel di depan, spontan aku melesatkan pandangan ke pintu. Waduh, siapa yang mencet bel? I mean, Bangtan kan ke Gyeonggi? Tak mungkin orang sini tidak tahu.
Namun, tetap saja aku membuka pintu. Mataku membulat begitu mendapati Adora berhenti di hadapanku.
"Oh. Benar ternyata. Aku tadi melihatmu lewat di koridor dan bikin penasaran. Maaf." Ia melayangkan senyum ramah. "Aku... aku pikir kau tadi hantu."
Aku tertawa mendengar ucapan konyolnya. "Hm... aku pinjam tempat ini karena tidak punya tempat lain untuk tidur."
"Kenapa di sini?" Matanya mengerjap. "Kau mau menumpang di apartemenku?"
"Tidak, tidak. Aku di sini saja."
Gadis itu menggaruk kepalanya. Ia mengangsurkan ponselnya padaku. "Masukkan nomormu. Kau bisa menghubungiku kalau butuh bantuan."
"Ah, trims." Aku memberinya nomorku. Ia mengirim pesan singkat ke nomorku.
"Simpan ya. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa," katanya. "Mau kutemani dulu?"
Aku menggeleng. "Tidak. Aku ada banyak kerjaan."
"Oh. Ok. Bye." Gadis berkulit putih susu itu melambaikan tangan dan meninggalkanku.
Aku memandang pesan yang dikirimkannya.
*
"Berhubung kau sibuk sekali, aku akan meninggalkan pesan suara saja," kataku, merekam suara dan mengirimkannya ke Yoongi. "Well, sebelumnya maaf kalau lancang, aku butuh tempat tidur sementara." Aku berhenti sebentar, lalu beranjak dari sofa, mengelilingi studio. "Aku bertengkar dengan sahabatku, jadi aku butuh tempat." Aku berhenti di meja kerjanya, lantas duduk di kursinya, berhadapan dengan komputer besar lengkap dengan sound system dan lainnya yang tak begitu kutahu. Namun, pandanganku tertuju ke satu arah.
Seringai kecil muncul di bibirku. Aku menyeret bingkai foto yang memerangkap sebuah gambar. Foto kami berdua yang diambil di Daegu.
"You're so cute," kataku, tersenyum kecil. Aku menggesernya lagi ke tempat semula dan bersendang dagu, mengamati peralatan kerjanya.
Setelah makan malam dan menyelesaikan tuhas, aku berakhir tidur di sofa lebarnya setelah mengambil selimut yang dilipat di dalam bufet. Aku menghidu selimut itu dan mencoba menutup mata. Aku hafal beragam aroma parfum yang selalu ia pakai bergantian. Dan selimut ini seperti percampuran semua aroma itu.
"Aku merindukanmu," bisikku, sebelum memejamkan mata.
*
Aku terbangun dengan banyak notifikasi di ponsel. Naina yang sangat meramaikannya. Aku mengabaikan pesannya dan membuka yang lain. Ada beberapa balasan Yoongi. Ia mengirimkan pesan suara dan juga beberapa kali mencoba menghubungiku pukul tiga subuh.
Sambil mengucek mata, aku melihat jam di layar. Sudah pukul sembilan. Sepertinya aku terlalu lelap.
Aku mulai menyisir pesan-pesan yang tertimbun. Kebanyakan adalah ucapan yang dikirim teman-teman di Indonesia dan keluargaku. Mulutku ternganga.
"Damn," umpatku sambil melompat bangkit dari sofa, merapikan selimut, dan mulai bergegas untuk mandi dan bersiap-siap.
Aku tertawa membaca pesan di grup keluarga.
Kubalas satu per satu pesan-pesan yang masuk, termasuk di grup JinHit Entertainment. Yang lebih dulu mengucapkanku di grup itu adalah Seokjin, diikuti yang lain, kecuali Yoongi dan Jungkook. Aku pun sudah memeriksa pesan dari Yoongi. Ia hanya menjawab pesan suaraku tanpa memberiku ucapan.
Sialnya, aku terbangun di pagi hari ulang tahunku dengan keadaan tak baik-baik saja sejak insiden sasaeng dan pertengkaran dengan Naina.
*
Di kampus pun, aku tak bisa berkonsentrasi saat dosenku menjelaskan soal estetika sebuah karya pahatan patung yang sedang menjadi bahan ajar. Walaupun aku berhasil menjawab pertanyaan spontan, dosenku tetap menangkap gelagatku yang tidak bisa fokus.
Aku melihat Naina yang berjalan tergesa-gesa dari jauh. Spontan, aku memalingkan wajah dan berlari menghindar, ke luar kampus, jalan kaki menyusuri trotoar sambil berdoa agar tak berpapasan dengannya.
Di tengah jalan, ponselku berbunyi. Panggilan dari Yoongi.
"Knock knock who's there?" tanyanya.
"Shut up." Aku memutar bola mata dan tertawa. "Baru sempat pegang ponsel, huh?"
"Baru sempat berbicara denganmu, lebih tepatnya."
"Aku sudah tidur jam sebelas malam."
"Ada masalah?"
"Sedikit." Aku melangkah masih dengan ponsel di telinga.
"Temui aku di rooftop Big Hit sore nanti. Aku dan yang lain sedang dalam perjalanan pulang."
"Sepenting itukah sampai mencuri waktu di sela kesibukanmu?" Aku memberikan nada hiperbolis.
Ia terkekeh. "Aku merindukanmu."
"Kau sudah bilang begini berkali-kali sampai aku bosan."
"Pokoknya, kita sempatkan ketemu di sana. Dah."
Sambungan terputus. Ia bahkan tak mengucapkan selamat atau apa? Aku mendesah panjang.
*
Sore hari, sesuai dengan permintaannya, setelah menyelesaikan jam kerja paruh waktuku, aku ke rooftop dan sadar sampai di sana lebih dulu. Sepi. Hanya ada angin semilir yang bertiup.
Aku menyandarkan tangan pada birai pembatas. Berkali-kali aku mengecek pesanku. Ia lupa atau memang terlambat sih? Bodohnya, aku tetap menunggu sampai pukul lima.
"Maaf sudah membuatmu menunggu lama."
"Hm. Aku sudah terbiasa menunggumu." Aku menutar badan sambil tersenyum kecut. "Jadi, kau punya waktu berapa lama bersamaku di sini? Aku akan menggunakannya dengan sangat baik. Our free time is too precious."
"Apakah itu keluhan?" tanyanya sambil menghampiriku. Begitu jarak di antara kami hanya beberapa jengkal, ia tersenyum sekilas. "Aku punya banyak sekali pertanyaan, tapi akan kusimpan untuk nanti, setelah selesai rekaman. Mau menunggu lagi?"
Aku mencebik. "Hm. Tugasku kan memang selalu menunggu." Nadaku mencemooh, membuatnya terkekeh.
Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong bagian dalam jaket kulitnya. Kemudian, menunjukkannya padaku. Mataku membulat lebar ketika jemarinya membuka kotak tersebut dan menampakkan isinya. Sebuah kalung dengan bandul bulat berukiran konstelasi bintang dengan ukuran dainty yang mungil.
"Aku membelinya saat di Jepang dan sengaja kusimpan untuk hari ini. Sebagai hadiahmu," katanya, lantas berpindah ke belakangku untuk memakaikannya di leherku.
"Wah, kau penuh kejutan, ya?" Aku menutupi perasaan senangku dengan nada mengejek.
"Sama-sama," katanya setelah mengaitkannya.
"Terima kasih," kataku menanggapi cemoohnya. Lantas, berbalik badan menghadapnya. "Aku tidak pernah memberi tahunu soal identitas pribadiku."
"Aku tahu dari SNS-mu."
Aku membeliak. "Jadi, kau sengaja punya akun palsu sekadar memata-mataiku?"
"Ish, jangan berburuk sangka. Beberapa anggotaku memang punya akun pribadi yang tidak diketahui publik."
Aku tersenyum. "Kau akan kembali lagi?" Kutengok jam di pergelangan tangan. "Mungkin, kita akan bertemu lagi setelah kau selesai?"
Ia mengerucutkan bibir tanda berpikir. "Aku tidak bisa janji, tapi akan kuusahakan. Akan kukabari."
Aku mendengus kesal. Kuraih bandul kalungku dan mengamatinya.
"Hoseok membantuku mencarikannya. Aku bodoh sekali kalau soal memilih hadiah," katanya.
"Ucapkan terima kasih juga padanya karena aku sangat menyukainya." Aku tersenyum. "Terima kasih sekali lagi." Padahal, aku berharap bisa menghabiskan malam ini dengannya, tanpa batas waktu.
Ia menepuk puncak kepalaku pelan. Aku meraih tangannya dan menyingkirkannya dari kepalaku.
"Stop doing that."
"Kau tak suka?"
"Aku lebih suka dipeluk."
Ia menyeringai, lantas menelukku. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya, menyandarkan kepalaku di dadanya hingga bisa kudengar detak jantungnya.
Saat mataku berayun ke satu arah, aku mendapati Jungkook berdiri di dekat pintu, mengamati kami.
*****
Maap baru update. Sibuk banget sama kerjaan kantor 🤧
Coba spam komentar di sini biar rame 😛
Kayaknya bakal lanjut Sabtu ya, semoga ga sibuk wkwk.
Btw kepo, umur kalian berapa aja ya? 🙃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro