#24
*
Naina mendengarkan keluh kesahku dengan saksama. Aku merasa bodoh dan menyedihkan sehingga berulang kali tertawa sekadar menghapus rasa malu.
"Wah... gue jadi malu." Aku mengusap pipi yang basah oleh air mata.
"Lo di mana?"
"Gue di luar. Lihat kendaraan lalu-lalang di bawah."
"Hah? Jangan aneh-aneh! Apa perlu gue telepon Yoongi, nih?"
"Nggak usah. Gue nggak apq. Cuma butuh udara segar buat berpikir." Aku menyandarkan tangan pada birai jembatan. "Nanti lo malah dikira sasaeng."
"Lo kapan balik, sih?"
"Besok."
"Coba lo alihin aja perhatian ke yang lain."
"Tugas kampus gue kayaknya udah cukup. Gue tutup ya, Na. Makasih. Nanti gue telepon lagi."
Aku mengembuskan napas setelah menyudahi percakapan. Ada banyak pesan yang masuk. Kebanyakan dari Jungkook yang menanyakan keadaanku. Ia mencoba menelepon, tapi aku tak mengangkat. Dan, pesannya selalu sama. Menanyakan keadaanku.
Ah... anak ini. Biarpun kadang menyebalkan, ia punya hati yang lembut. Semoga tidak ada yang menyakiti hati selembut ini.
*
"Kenapa kau tiba-tiba diam?" Pertanyaan itu dilempar Yoongi malam hari saat ia mengambil minum di dapur sedangkan aku fokus dengan tugas di laptop.
Aku memandangnya. "Tidak apa. Lanjutkan kesibukanmu."
"Soal Kyunghee..." Ia mengusap pelipos. "Kami bukan apa-apa."
"Kenapa memangnya?"
"Aku harus mengklarifikasi."
"Kenapa harus klarifikasi?" Sebelah alisku terangkat.
"Karena tidak ingin ada kesalahpahaman."
Untuk apa? Kalau aku salah paham, kenapa? Aku mengedikkan bahu. Pura-pura sibuk dengan laptop. Duduk tenang di balik meja bilik sambil menyeruput kopi.
Yoongi meletakkan cangkirnya di meja dan duduk di seberangku. Ia melipat tangan. Sedikit menunduk untuk melihat wajahku yang sejak tadi kusembunyikan.
"Apa?" tanyaku ketus.
"Kedengarannya kau kesal. Kenapa?"
"Aku tidak kesal. Hanya banyak tugas saja."
Ia menutup laptopku tiba-tiba, membuatku menyergah.
"Yah!!!"
"Yah?" Ia mengulang. Nadanya mengintimidasi. "Panggil namaku dengan benar."
Aku memutar bola mata kesal. Saat tanganku membuka laptop, ia menahannya. Aku melesatkan tatapan tak main-main.
"Aku harus menyelesaikan tugasku."
"Jangan bohong. Kau sudah menyelesaikan tugasmu kemarin." Ia mendesah panjang. "Kau sudah bilang padaku kemarin. Lupa?"
Ah, sial. Sepertinya aku tidak bisa berbohong jika di dekatnya. Aku meraih cangkir dan menyeruput kopiku. Besok kami harus ke bandara pagi-pagi. Taehyung bilang akan langsung menunggu kami di sana karena tak akan sempat mampir ke sini.
"Kenapa kau menghubungi JK hanya untuk menanyakan soal Kyunghee?"
Aku praktis tersedak. Jungkook sialan!!! Kupandang Yoongi yang menunggu jawabanku. Matanya menuntut jawaban.
"Dia hanya khawatir. Kau tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Jadi, dia meneleponku dan menceritakan semuanya."
Duh, jawab apa, ya? Apakah jujur? Aku bahkan tak berani memandang ke arahnya.
"Tatap mata lawan bicaramu saat dia mengajakmu bicara," katanya.
Aku mengembuskan napas panjang dan mengangkat dagu.
"Aku hanya penasaran," kataku. Bukan 'hanya' sih. Memang sudah penasaran. "Kau menyukai produsermu?" Pertanyaan itu langsung kutembakkan.
Sebelah alisnya terangkat. Sepertinya kaget dengan pertanyaanku. Bukan soal Kyunghee, melainkan Soohyun.
Ia menggigit bibir bawah sedikit tanpa menghapus pandangannya dariku.
"Yang mana?"
"Yang mana? Di Big Hit produser ceweknya ada berapa?" nadaku naik.
"Soohyun?" Ia terkekeh. "Kenapa bisa menyimpulkan begitu?"
"Bukan menyimpulkan. Aku mendengarmu mengatakan itu."
"Oh." Ia mengangguk. "Jadi, tadi kau sempat menguping pembicaraanku dengan Kyunghee. Sampai mana? Belum sampai selesai, kan?" Ia menyeringai.
Aku mendengus. "Seharusnya bukan jadi urusanku." Aku mengangkat laptop dan beranjak berdiri. Ia menahan tanganku.
"Aku belum selesai bicara dan tidak suka jika diperlakukan begini. Satu hal yang perlu kau tahu."
Aku mengerjapkan mata. "Kenapa jadi marah padaku?"
"Aku tidak marah. Kenapa kau selalu salah menangkap maksudku?" Nadanya terdengar kesal. Ia memutari pantri pembatas dapur dan ruang tamu untuk berhadapan langsung denganku. "Dengarkan. Aku perlu kau mendengarnya." Sekarang, nadanya melunak.
"Aku dengarkan."
"Aku perlu bertanya, kenapa jika aku menyukai Soohyun? Keberatan? Kenapa harus keberatan?"
"Aku tidak keberatan," sangkalku.
Ia menekan pergelangan tanganku. "Bohong."
"Hentikan." Aku mencoba menyingkirkan tangannya, tapi genggamannya semakin erat. Ia menungguku menjawab. Aku memberanikan diri menatapnya balik walaupun debar jantungku sudah bertalu-talu dan napas mulai cepat. "Kau benar-benar ingin tahu?"
"Aku tidak suka dibohongi."
Aku mengatupkan bibir rapat. "Aku cemburu." Setelah mengucapkan itu, rasanya aku ingin melompat ke luar angkasa.
Kupikir, ia akan menertawakan jawabanku. Rupanya tidak. Yang dilakukan hanya diam seolah menuntutku memuntahkan semuanya.
"Saat kau sakit waktu itu, kau pasti sangat berharap Soohyun yang datang, kan? Aku merasa bodoh. Aku selalu denial." Aku menunduk sekadar menyembunyikan ekspresi maluku.
"Naif," balasnya.
Aku spontan mengangkat dagu. "Naif?"
"Aku berekspektasi tinggi pada mahasiswa SNU sepertimu. Ternyata, kau naif sekali. Menyimpulkan sesuatu tak berdasar."
Aku memang naif dan tak akan kusangkal.
"Aku memang berharap kau yang datang saat itu. Aku sangat menderita hanya bisa berharap dan berangan-angan kau datang. Aku bersyukur kau yang datang."
Ucapannya membuat badanku seakan membeku. Aku mengerjapkan mata.
"Soohyun...."
"Ini bukan soal dia. Bisakah kau berhenti membahasnya? Aku menyukainya, ya. Itu dulu. Setelah aku move on dari Kyunghee. Dan itu sudah lama, Bae. Aku mengubur perasaan itu. Bukan karena kontrak bodoh dengan agensi. Dia yang memilih jalannya sendiri. Aku tak memaksa."
Aku mengalihkan perhatian. Sialan. Kok jadi malah salah tingkah begini. Apakah ini waktunya untuk kabur? Aku menatap laptop, menimbang akankah membawanya kabur atau tetap di sini. Tapi, buat apa tetap di sini??
"Maaf," kataku, tanpa memandangnya. "Sudah berburuk sangka."
"Kau minta maaf tapi tidak melihatku?"
"Aku terlalu malu sekadar melihatmu."
"Jawaban macam apa itu?" Ia menangkup wajahku dan menggerakkannya untuk menatap dirinya.
Bukannya dia sama saja? Kadang enggan menatap lawan bicaranya. Si berengsek ini.
"Yah, lepaskan." Aku mencoba menarik tangannya dari pipiku.
"Yah? Sudah berapa kali kau memanggilku dengan 'yah'? Kau sendiri tidak suka saat aku panggil begitu. Panggil Oppa."
"Tidak mau."
Ia tertawa kecil dan mendekatkan wajahnya. "Tidak mau?"
Aku menggeleng.
"Kalau jadi pacarku, mau?"
*****
GIMANA??? MAU GA NIH??????? 🌝🌝🌝
Bab kali ini singkat karena sengaja gw cut pas lagi begini hehe. Lanjut kapan enaknya? 🤪
"Kalau kamu mau jadi pacarku, nggak?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro