#21
Bibirku mengerucut ke depan. Aku memeluk lututku sendiri sambil merenungi ucapan Yoongi tadi.
Malam ini, aku menginap di apartemen Naina. Sejak kejadian pertikaian di asrama, Naina tidak mau kembali ke sana dan memaksaku menemaninya tidur di apartemennya. Aku melihat Naina sedang mencoba-coba baju sambil berdandan. Katanya, untuk persiapan datang ke konser "Epilog" Bangtan tanggal 8. Ia memutar badan sambil menunjukkan penampilannya.
"Gue cantik, nggak?"
"Cantik," balasku. Taehyung juga bilang cantik, kok. Maaf, Na. Aku tak akan mengucapkan itu.
"Lo nggak dapat free pass ke konser mereka, apa?"
Sebenarnya, Jimin memberikan aku free pass dan memintaku datang. Aku cuma bilang akan menimbang-nimbang terlebih dahulu.
"Lihat sikon."
Naina mendecak lidah. Apa aku kasih tahu ya soal rencana Yoongi yang mengajakku berlibur ke Daegu? Aku menggigit bibir bawah. Tapi... ini kan termasuk privasi. Naina seorang penggemar. Bukannya meragukannya, tapi aku hanya khawatir.
"Yoongi nggak nyariin lo apa?"
"Ngapain nyariin gue?" tanyaku balik.
Naina mulai melepas anting-anting dan memasukkannya ke kotak perhiasan. "Lo sama dia kan udah pernah kerja bareng. Kalau dia nyariin lo ke asrama gimana?"
"Nggak mungkin, lah. Jadwalnya banyak, kali. Mana ada waktu buat hal nggak penting. Apalagi buat gue." Aku menjulurkan lidah jijik. Lagi pula siapa aku.
"Kado gue udah?" Ia berganti baju dan meletakkannya kembali ke lemari. "Taehyung bilang apa?"
Bilang lo cantik. "Bilang makasih."
Naina tersenyum gemas dan mengentak-entak kaki. Ia meletakkan punggung tangan ke pipi. "Suatu saat, gue bakal bisa dekat sama lo, Tae. Gue akan kenalin lo ke anak kita. Taena." Ia mengambil Taena dari meja belajar dan memeluknya erat.
Sudut bibirku terangkat. Kalau ia masih bertingkah seabsurd ini, mana mungkin aku membawanya ke Taehyung agar lebih dekat.
"By the way, El. Yoongi mau ke Daegu?"
"Hah??" Aku spontan berteriak. KOK DIA TAHU?
"Jangan salah paham, nih. Ada sasaeng yang bocorin info. Mereka bilang Yoongi sama Taehyung udah booking tiket pesawat ke Daegu. Buat tiga orang."
HAHAHAHAHA SASAENG BERENGSEK. Kenapa aku jadi ikutan tidak nyaman dan merasa terancam?
Naina menyipitkan mata. "Kalau lo nggak jawab ya... nggak apa. Gue cuma takut ada apa-apa dan bikin perjalanan Yoongi sama suami gue terganggu gara-gara sasaeng sialan." Naina mendecak lidah kesal.
Aku melipat bibir. "Hm... iya...."
"Jadi benar orang ketiganya lo?" suara Naina naik empat oktaf. "Anjir. Udah sedekat apa lo sama Bangtan?!"
Sedekat gue mau dikenalin ke orang tuanya Yoongi wkwk.
"Ini cuma ajakan temen. Gue kan nggak pernah ke Daegu. Mumpung gratis, lho."
Naina meremas-remas Taena. "Ih, gue iri sama lo. Sumpah."
Aku mengangkat kedua pundak.
Naina mengembalikan Taena ke meja dan mendekati ranjang, lalu melemparkan dirinya untuk rebahan.
"Lo marah? Karena gue diajak ke Daegu?" tanyaku. Bingung harus menanggapi seperti apa.
"Gue marah," balas Naina tanpa memandangku. Ia memutar badan, membelakangiku. "Karena gue malah tahu dari sasaeng, bukan dari lo."
"Ya... kan gue bingung mau gimana. Ini kan privasi." Aku tidak akan minta maaf karena aku tak salah. Ini demi melindungi privasi Bangtan.
Naina mendengus. "Gue juga pengen kali deket sama mereka. Gue sampai bikin fansite, rebutan sama Nuna V biar di-notice Taehyung, ikutin jadwal resmi mereka. War tiket biar dapat posisi enak buat fancam. Saingan gue jutaan. Lo tinggal kirim chat nyasar ke nomor Suga bisa deket sama mereka. Hmph."
Aku mengembuskan napas panjang. "I don't want this kind of life, Na. Gue kejebak. Bagi penggemar kayak lo, mungkin berkah. Bagi orang biasa kayak gue, malapetaka. Gue nggak mau ikut-ikutan hidup nggak tenang. Diteror sasaeng, diikuti paparazzi, di-bully K-Netz yang lebih dakjal daripada netizen Indonesia. Gue kejebak."
"Kalau lo ngerasa kejebak, kenapa nggak keluar aja?" Naina memutar badan untuk memandangku. "Segampang minta resign dan nggak berhubungan lagi sama mereka, kan?"
"Nggak segampang itu. Gue terikat perjanjian sama Big Hit buat ngungkapin sasaeng yang belakangan ini neror Bangtan."
"Terus?"
"Gue baru kasih username Twitter orang-orang yang neror gue di DM, tapi mereka udah deactive. Masalahnya, bukan cuma sasaeng yang ngikutin mereka aja. Tapi, sekaligus insider yang jual info soal Bangtan ke mereka."
"Lo tahu pergerakan sasaeng sedetail itu."
Namjoon yang memberi tahu. Aku hanya tersenyum. "Pokoknya, tugas gue berat. Bukan cuma ngebucin kayak lo."
Naina mengusap rambut. "Sori, El."
Aku merebahkan diri di sebelahnya. "Gue cuma bingung. Gue pengen cerita ke lo, tapi lo ARMY, sih. Apa mending lo keluar dari ARMY aja biar gue nggak beban mental kasih cerita ke lo?"
Naina menjentikkan jari. "Kalau gitu gue bakal keluarin kartu non-ARMY gue. Jadi, selama lo cerita soal Bangtan, gue bakal pura-pura bukan ARMY. Oke?"
Aku terkekeh. "Boleh."
"Gue udah nonaktifin kartu ARMY gue. Sekarang, cerita."
Aku memandang langit-langit. "Yoongi bilang dia mau ngenalin gue ke ortu dia. Kan kalau di Indo itu sama kayak dikenalin ke camer nggak, sih?"
"HAH?!" Naina berteriak. "LO NGOMONG APA?!"
"Lo kan lagi mode non-ARMY."
"Oh iya, lupa." Naina berdeham dan mengubah ekspresi. "Dia bilang apa lagi?"
"Nggak bilang apa-apa. Gue cuma iyain." Aku menaikkan satu tangan ke atas kepala. "Terus...." Aku berbaring miring menghadap Naina. "Dia punya panggilan khusus buat gue."
"Apa tuh?"
"Bae."
"Bae for baby?" Naina tertawa terbahak-bahak. Ia mendadak berhenti tertawa dan memekik sambil memelotot. "No way."
"Kenapa?" tanyaku bingung.
"Nama 'Bae' means 'inspiration', El. Secara nggak langsung dia bilang lo inspirasi dia. Dia pasti naksir sama lo!"
*
Berhubung ini private schedule, tidak ada pengawalan. Tidak ada manajer atau asisten. Ini murni liburan pribadi di mana mereka akan menjadi 'orang biasa' untuk sementara waktu. Namjoon pulang ke Ilsan, Jhope ke Gwangju. Seokjin tetap di Seoul karena kedua orang tuanya yang datang menjenguknya. Jimin dan Jungkook ke Busan. Dan, aku kini bersama dengan Taehyung—juga Yoongi, pastinya—, duduk di VIP lounge menunggu panggilan masuk ke pesawat. Aku yang hari ini memakai jaket bertudung, kacamata hitam, topi, dan syal sengaja duduk agak jauhan dari mereka berdua. Sial, kenapa aku jadi ikutan ribet begini, ya?
Taehyung duduk bersebelahan dengan Yoongi, mengobrol sambil bermain ponsel. Aku tersenyum. Sebab, sejak tadi sebetulnya aku sedang mengirim chat di grup khusus di mana ada Bangtan dan beberapa staf yang dekat dengan mereka, termasuk aku.
Aku memandang dua gadis yang duduk di dekat kami sambil mengangkat ponsel dan tampak memotret. Aku beranjak dari tempat duduk, berdiri sambil pura-pura mondar-mandir menelepon, menghalangi pandangan dua gadis itu. Kedua gadis itu menatapku dengan sepasang mata yang tajam ingin membunuh. Aku menatap mereka berdua, memelotot.
"Lihat apa kalian?" sengalku.
"Minggir," kata salah seorang dari mereka.
"Kenapa kalau aku tidak mau minggir?" Aku pura-pura mematikan telepon. Lalu, berkacak pinggang. "Bandara ini punya mbahmu?"
"Cewek gila ini," salah satunya lagi mendecak lidah.
Pada akhirnya, pengeras suara mengumumkan kami agar segera naik ke pesawat. Yoongi dan Taehyung sudah beranjak lebih dulu. Sebelum kedua gadis ini mengikuti di belakang, aku lebih dulu lari untuk melindungi mereka.
"Dia mau mati, ya?" salah seorang bertanya dengan nada mengancam begitu aku memblokir mereka lebih cepat. Berdiri di belakang Yoongi.
Aku memutar kepala ke belakang, melihat dua gadis itu yang melesatkan tatapan membunuh.
"Sasaeng kalian mengerikan," bisikku untuk Yoongi di depan.
"Kenapa kau ladeni?"
"I tried to protect you, Yoongi-ssi," balasku dengan nada hiperbolis.
Satu per satu dari kami yang berbaris men-scan tiket kami, sebelum masuk ke garbarata. Berhubung kami naik di kelas bisnis, tidak terlalu banyak orang yang berada di garbarata. Sialnya, dua cewek tadi membuntuti di belakang.
Lebih sial lagi karena mereka mengambil tempat duduk di seberang bangku Yoongi dan Taehyung. Aku melipat tangan di depan dada. Begitu kedua gadis itu membuka masker dan memperlihatkan wajah, aku merekam keduanya. Beberapa kali mereka menengok ke arahku. Sebelah alisku terangkat. Keduanya duduk dengan tenang. Tapi, sesekali memandangi Yoongi dan Taehyung sambil memotret.
Aku menyambungkan ponsel dengan Wifi pesawat.
Yoongi mengirim pesan.
Aku memandang Yoongi di depanku. Taehyung sibuk mendengarkan musik, sedangkan Yoongi bermain ponsel. Dua sasaeng mereka masih mengamati.
Begitu Yoongi beranjak menuju toilet, salah seorang dari mereka ikut berdiri. Aku lebih dulu menyerobot dan melewati mereka. Gadis berambut panjang itu menatapku tak suka.
"Apa masalah bocah sialan ini?" Aku mendengar ia memakiku. Ia akhirnya menyerah dan kembali ke tempat duduknya. Sedangkan aku masih menunggu di depan pintu sambil mengawasi mereka.
Yoongi masih di dalam. Sudah cukup lama. Aku mengetuk pintu dan berbisik.
"Kau baik-baik saja?"
"Hm," ia membalas di balik pintu. Sepertinya ia berdiri dan bersandar di pintu.
"Butuh sesuatu?"
"Tidak."
Aku melipat tangan di depan dada. Seorang pramugari memintaku masuk ke toilet lain. Aku bilang aku ingin menunggu di sini dulu.
"Tapi, ini cukup berbahaya, Nona."
"It's ok. Tunggu sebentar." Aku tersenyum manis hingga akhirnya pramugari itu mengalah dan membiarkan aku berdiri di depan toilet.
"Yoongi-ssi, kau mabuk udara?" tanyaku lagi.
"Tidak."
"Jangan bikin aku gelisah." Aku memandang Taehyung yang balik menatapku. Kuberikan ia kode kalau Yoongi tidak mau keluar. Taehyung mengirim pesan padaku.
Taehyung tidak membalas lagi. Ia hanya menatapku dan mengedikkan kepala memintaku kembali.
"Aku akan kembali," kataku ke pintu. "Tidak apa? Apa perlu kupanggilkan pramugari?"
"Tidak perlu." Suaranya pelan sekali.
Aku mencebikkan bibir dan memutuskan kembali ke kursiku.
Sekitar beberapa menit kemudian, Yoongi kembali lagi sambil menutup wajahnya dengan hoodie hingga tak terlihat sedikit pun. Ia duduk di kursinya. Sepanjang jalan, aku membagi perhatian antara Yoongi dan dua sasaeng yang masih memperhatikan. Bahkan, sampai pesawat mendarat di Bandara Daegu.
Yoongi dan Taehyung bergegas pergi. Aku mengikuti di belakang. Kedua sasaeng itu juga. Di imigrasi, mengambil koper, sampai di pintu keluar.
"Yah, bagaiamana, Hyung? Mereka masih mengikuti. Apa kita telepon Manajer Sejin?"
Yoongi tak menjawab. Mobil jemputan mereka rupanya sudah menunggu dan siap di depan. Kedua sasaeng berlari seperti kesetanan mengejar kami.
Aku spontan memutar badan dan menghentikan mereka berdua.
"Berhenti mengikuti," kataku seraya menahan kedua lengan mereka. Sementara itu, Taehyung dan Yoongi sudah masuk ke mobil.
"Berani-beraninya kau menyentuh kami?" Salah seorang dari mereka berteriak. Tanganku ditepis.
Begini, lho. Aku tidak pernah berani kasar di negara ini karena sadar diri kalau aku pendatang. Tapi, mereka sudah membuatku muak dan naik darah.
Saat keduanya menghambur hendak mendekati mobil yang masih menunggu, aku menarik tangan salah seorang dari mereka dan menelikungnya ke belakang. Gadis berambut pendek yang melihat temannya kukunci berhenti dan berseru.
"Lepaskan dia!"
"Jangan mengikuti kami, kubilang," kataku.
"Memangnya kau siapa?"
"Aku bodyguard mereka."
"Omong kosong apa ini?" Gadis berambut panjang yang kukunci tangannya berteriak. "Lepaskan!"
Aku melepaskannya, lalu melenggang cepat sambil merapikan rambutku. Yang berambut pendek menarik hoodie-ku. Aku memutar badan dan menarik tangannya, lalu kudorong ia sampai terjerembap. Ia meringus kesakitan. Kusingkirkan rambutku yang menutupi wajah sambil bertolak pinggang.
"Big Hit akan membuat tuntutan. Tunggu saja." Aku menunjuk kedua gadis itu dan menggerakkan ibu jariku seperti menggorok leher. "Mampus lu pada anying. Sasaeng goblok."
Begitu kembali ke mobil dan duduk di sebelah Yoongi, Taehyung yang ada di jok samping sopir bertepuk tangan.
"Waaah. Noona, kau hebat sekali." Ia tersenyum lebar dan bertepuk tangan lagi. "Noona jjang!"
"Aku suka bertengkar dengan cowok saat sekolah. Ini biasa saja." Aku menaikkan kedua bahu. Perhatianku berhenti ke Yoongi yang diam saja sambil memandang keluar jendela dan menggigit ibu jari. "Kau baik-baik saja?"
Ia mengangguk. Aku memandang Taehyung yang balik menatapku. Bibirnya membentuk garis lurus hingga membuat pipinya menggembung. Ia menatap lurus ke depan dan mengobrol dengan sopir sepanjang perjalanan meninggalkan bandara.
Aku tidak tahu kenapa Yoongi mendadak diam. Karena dua sasaeng tadi? Atau karena hal lain?
"Are you ok?" tanyaku, bergeser lebih dekat dengannya. Aku meraih tangannya, mencegahnya menggigit kuku lagi. "Jangan keseringan begini." Dan mengusap tangannya. "Kau cemas?" Aku menggenggam tangannya.
Taehyung membulatkan matanya memandang kami dari kaca depan. Ia pura-pura tak mau melihat lagi.
"It's ok."
"Aku punya gangguan kecemasan," bisiknya. "Keberadaan kedua orang tadi memicunya. Maaf sudah membuat khawatir."
"Aku akan bicara pada Manajer Sejin untuk memproses mereka. Aku sudah mengambil video mereka." Ya... semoga saja kedua bocah sialan tadi bukan dari kalangan atas seperti petinggi atau pejabat. Susah untuk memproses golongan-golongan seperti ini.
Yoongi memandangku. "Terima kasih."
Aku melepas tudung hoodie dan topinya. "Kau bawa antidepresan?"
Ia mengangguk.
"Butuh sesuatu lagi?"
Lalu, menggeleng. Aku mengangkat tangannya dan memperhatikan kukunya yang sejak tadi digigit.
"Lihat, ini sampai terluka." Kuusap ibu jarinya perlahan. "Ada kebiasaan lain yang bisa kau lakukan selain menggigit kuku saat kau cemas?"
"Mencium bubuk merica?" balasnya, lebih seperti pertanyaan. "Aku biasanya melakukan itu."
"Kalau kau tidak punya atau tidak membawanya?" tanyaku. "Seperti sekarang ini."
Ia hanya memandangku, mataku. Dan, balik menggenggam tanganku. "Kau."
"Hah? Kenapa?"
"You're reducing my anxiety."
Saat ia mengucapkan itu, aku mengedipkan mata beberapa kali diiringi jantung berdebar. Sementara itu, Taehyung membuka mulut dan menggigit kepalan tangan, melirik kami dari kaca depan.
"Oh." Aku bingung menanggapi seperti apa. Kulirik Taehyung yang tersenyum sambil menggigit kepalan tangannya.
"Aku boleh tidur di pangkuanmu?" tanya Yoongi.
WOILAH ANJIR KENAPA JADI BEGINI?!
"Y-ya?"
Aku kasihan dengan Taehyung dan sopir yang menjadi obat nyamuk.
Yoongi menyandarkan kepalanya di pangkuanku. Ia memejamkan mata. "Terima kasih, Bae. Terima kasih selalu ada saat aku membutuhkanmu."
*****
UWUUUUUUUUUU MO NANGIS DENGAN KEHALUAN INI 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭 Mana gue sambil dengerin album barunya TXT 😩
Btw, gue mau sekalian keluarin uneg-uneg sejak kemarin lusa 🥺
Dear, Kookie
It's ok for being not ok, Kook. Soal kejadian kemarin dijadikan bahan pembelajaran saja meskipun tidak ada dari kami yang membenarkanmu waktu itu. Walaupun begitu, kami selalu mencintai kamu.
You're precious to us.
Kami tahu kamu menghabiskan masa kecil dan muda di Big Hit, untuk menghibur kami, untuk meraih mimpimu. You just need your time, right? I'm sorry that I can't be there for you but we will always support and love you.
Kookie anak baik. You can make mistakes. It's ok. You're still human after all.
Please make us the reason you're happy and stay. I love you, Kook. We love you 🥺
Gue mau nangis rasanya dan kepikiran. Bukan karena kasusnya, tapi khawatir sama keadaannya. Semoga kakak-kakaknya bisa jadi penghiburnya saat begini 🥺💜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro