Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#17

Setelah mengucapkan itu, Jungkook memalingkan wajah dan menyusupkan jemarinya ke helaian rambut.

"Pergilah," katanya.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. "Kau yang minta aku ke sini."

"Aku minta kau pergi."

"Bocah sialan." Aku mendengus kesal. Ia enggan memandang ke arahku, bahkan saat aku beranjak berdiri. Sebelum membuka pintu, aku melihat anak itu masih menekuri komputer.

Aku menggelengkan kepala, kemudian memutuskan keluar. Langkah kakiku sangat cepat. Pun, aku enggan menoleh ke belakang. Akan lebih mudah bila tak memikirkan apa-apa sambil keluar dari kantor.

Begitu sampai di depan kantor Big Hit, angin malam menyapa, membuatku bergidik dingin. Aku mengusap-usap lengan dan membuka ponsel. Naina mengebom dengan banyak pesan, memintaku segera pulang karena ia ingin makan bersamaku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju halte sambil bersedekap. Langkah kakiku terhenti. Aku memutar badan, memandang gedung Big Hit. Sabar, cuy. Sebentar lagi aku pulang dan tak akan bertemu orang-orang di sini.

*

Naina mendecak lidah menikmati kelezatan jajangmyeon yang dibelinya dan dimakan di asramaku. Aku memandangnya, tapi tak nafsu dengan makanku. Padahal, sejak tadi aku lapar.

"Eh," Naina memulai gosipnya begitu selesai dengan makan malamnya. Mulutnya masih dipenuhi dengan minyak. "Di grup sasaeng katanya lagi ramai."

"Kenapa?"

"Ada yang dapat info dari orang dalam salah satu media massa. Katanya, ada wartawan yang sebenarnya memergoki Yoongi lagi sama cewek."

Aku mengerjapkan mata. "Oh ya?" Dan mengusap kuku. "Terus kok nggak rame?"

"Kayak nggak tahu industri di sini aja lo. Kalau belum keluar beritanya, berarti masih asumsi. Media kayaknya masih ngumpulin bukti-bukti sampai akhirnya berani buat dirilis ke publik."

"By the way, media play apaan, sih?"

"Media play? Hmm macem-macem sih kalau di sini. Itu salah satu cara buat promosi atau malah nelikung saingan. Bisa buat promosi artis sendiri, bisa juga malah dipakai agensi pesaing untuk pengalihan isu." Naina mengusap mulut dan meneguk soju dari mulut botol. "Nggak usah kaget. Di sini mah udah biasa kayak begitu."

Aku menggigit buku-buku jari.

Pukul sebelas malam. Naina sudah tertidur di kasur dengan posisi memenuhi seluruh tempat. Aku mengambil selimut, bantal, dan menggelar tikar untuk tidur di bawah. Kubuka ponsel sekadar mengecek pesan. Kosong. Aku mengembuskan napas panjang, memandang langit-langit.

Pukul dua pagi. Aku masih belum bisa tidur. Aku berselancar di internet untuk membaca artikel-artikel berita.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Mataku memelotot melihat nama yang terpajang di layar. Buru-buru aku bangkit dan berlari keluar kamar. Aku berdeham dan mengetes suara, sebelum menjawab panggilan Yoongi.

"Apa?" tanyaku ketus.

"Kenapa tidak tidur?"

"Bukan urusanmu, kan?"

"Akan jadi urusanku kalau kau sakit."

Aku menjauhkan ponsel dari telinga dan menggeram. Lantas, mengembuskan napas panjang dan berbicara lagi.

"Kedengarannya kau peduli padaku."

"Kalau kau sakit, aku bingung mencari penggantimu."

Aku meremas tangan gemas dan kesal. "Kan ada Soohyun."

"Dia bukan asistenku."

Bola mataku berputar. Jadi, karena aku asisten, aku diperlakukan semena-mena, begitu?

"Kau menyebalkan sekali." Aku mendesah pendek. "Apa yang kau mau?"

"Kau mendadak pulang tanpa pamit."

"Aku tidak mau mengganggumu bekerja."

Terdengar desahan berat di seberang. "Aku membutuhkanmu."

"Untuk apa?"

"Untuk berkonsentrasi."

Sebelah alisku terangkat. "Kenapa aku?"

Terjadi kesenyapan selama beberapa saat. "Entahlah."

"Kau mau aku bagaimana?" Aku mendecak lidah.

"Temani aku mengobrol selagi aku bekerja sampai kau tertidur."

Aku terkekeh. "Aku bukan ibumu."

"Kau asistenku."

Bacot.

"Ya ya aku temani." Aku menguap. Sambil mendengarnya berceloteh, aku membawa bantal dan selimut ke depan. Kuputuskan untuk tidur di sofa dengan lampu padam.

Ia terus-menerus menceritakan banyak hal. Aku mendengarnya dan menanggapi sekenanya saja. Mataku sudah berat.

"Aku kesusahan mengeja namamu. Aku panggil pakai nama lain boleh?"

Sambil mengerjapkan mata yang mengantuk, aku menggumam. "Terserah." Ia tampaknya sedang mengutak-atik keyboard-nya sehingga terdengar bunyi denting piano samar.

"Bae."

"Bae?" Aku tertawa. "Bae Suzy? Kalau begitu boleh!"

Terdengar suara tawa pelan di seberang.

"Kau sudah tidur?"

"Belum."

"Mau mendengarkan instrumen ini? Akhir-akhir ini aku sedang mengerjakan lagu untuk Mixtape juga. Mungkin, kau mau mendengar instrumennya."

"Coba mainkan. Apa judulnya?"

"Entahlah... mungkin... So Far Away? Aku berencana mengajak solois lain untuk lagu ini." Ia mulai memainkannya dengan ketukan pelan dan lembut. Sambil memainkannya, ia menceritakan sedikit tentang lirik yang akan ditulis. Suaranya yang rendah ditambah alunan piano itu semakin membuat kantukku tak tertahan.

"Bae?"

Samar-samar aku mendengar suaranya, tapi bibirku cukup berat untuk sekadar menggumam. Aku sudah di ambang batas mimpi. Mataku sudah memejam sejak tadi.

"Terima kasih. Selamat tidur."

*

Naina menggerutu sepanjang perjalanan keluar kampus. Aku memeriksa jam tangan. Seharusnya dua jam lagi aku sampai di kantor.

"El, gue mau makan malam bareng temen-temen ARMY gue nanti. Mau ikut nggak?"

"Jam berapa?"

"Jam delapan. Munpung besok Sabtu, nih. Ikut gue dong. Yuk!"

"Hm." Aku mengangguk mengiyakan. Naina memelukku dan mengucapkan terima kasih.

"Aku pergi dulu, ya. Mau kerja."

"Ya udah. Jangan pulang telat lagi, ya! Nanti gue jemput ke asrama lo."

Aku mengacungkan ibu jari, lalu berlari menjauh.

Duh, aku benar-benar capek harus bolak-balik dari kampus ke kantor Big Hit. Belum lagi kalau lama mendapatkan bus atau ramai.

Cuaca sangat cerah hari ini. Mentari menyinari Seoul cukup hangat, tidak sedingin hari-hari sebelumnya. Setidaknya aku bersemangat karena cuaca secerah ini membuat suasana hatiku bagus.

Begitu sampai di kantor Big Hit, aku melihat Choi Daniel keluar bersama seorang trainee lain yang belum pernah berkenalan denganku.

"Hai, Noona!" Ia melambaikan tangan. "Belakangan ini aku jarang melihatmu."

"Aku 'dirumahkan' sama Bang Si Hyuk atas sebuah insiden di bandara." Aku terkekeh.

"Wah... kupikir kau dipecat."

"Jangan sembarangan." Tapi, aku kan memang akan segera angkat kaki dari sini.

"Oh, kenalkan." Daniel memperkenalkan anak di sebelahnya yang terlihat lebih muda darinya. "Salah satu trainee yang akan debut denganku nanti. Kang Terry."

Anak lelaki itu tersenyum sopan padaku. Hidungnya sangat mancung bak perosotan anak TK. Matanya bulat, lebih besar daripada Jungkook. Tampan sekali.

"Dia staf paruh waktu di sini," kata Daniel menjelaskan. "Kami pergi dulu ya!" Ia melambaikan tangan padaku dan melenggang bersama Terry keluar kantor.

Wah... trainee Big Hit ganteng-ganteng coy. Kalau saja aku lahir agak telat dikiiit saja biar bisa menggaet mereka.

Aku menunggu Bangtan menyelesaikan latihan koreografi dengan duduk santai di Genius Lab. Ah... melihat keyboard di studio ini, aku jadi teringat sesuatu. Aku tersenyum kecil.

Sebenarnya, aku bingung dengan sikapnya. Terkadang, ia bisa sangat menyebalkan, terkadang pula bisa bersikap manis walaupun tak ditampakkan secara gamblang.

Aku membaca salah satu bukunya dan duduk di sofa. Mejanya agak berantakan dengan bekas kaleng bir berserakan. Aku beranjak dan membereskannya dengan membuang sampah-sampah di sana.

Suara pintu studio terbuka membuatku terkesiap kaget. Kupikir Yoongi sudah datang, ternyata malah Jungkook.

"Ke mana Yoongi?" tanyaku.

"Masih bersama Jhope dan Rapmonie Hyung." Ia meletakkan sebuah kemeja persegi ke atas meja, sepertinya punya Yoongi. Sebelum akhirnya berbalik untuk pergi.

"Jungkookie," sapaku, membuat ia berhenti dan memutar badan, menunggu kalimatku selanjutnya. Aku menggaruk kepala. "Kau... tidak bersungguh-sungguh soal waktu itu, kan?"

"Yang mana?"

"Saat kau bilang takut menyukaiku?" Aku tersenyum keki. Percaya diri sekali aku. Sudah pasti ia bercanda.

Ia tersenyum miring dan simpul. "Aku bersungguh-sungguh. Kenapa? Kau takut kalau suatu saat nanti aku benar-benar menyukaimu?"

Aku mengedipkan mata berkali-kali. "Kau bisa saja membuatku canggung, Kookie-ah."

Pintu studio dibuka. Pandanganku berpindah ke arah Yoongi yang membagi perhatian antara aku dengan Jungkook.

"Hyung." Jungkook mengalihkan perhatiannya dariku, memandang Yoongi. "Bagaimana jika aku menyukai Noona ini? Kau keberatan?"

Yoongi termangu sejenak. Memperhatikan aku dengan saksama, lalu terkekeh. "Berhenti bercanda. Sana, pulanglah dulu."

Menanggapi perintah Yoongi, Jungkook hanya tersenyum, lalu melenggang pergi. Senyum dan tatapannya aneh. Seakan menyiratkan pesan yang mungkin tidak disadari oleh Yoongi.

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Memikirkan tadi.

"Jangan terlalu dipikirkan." Yoongi seakan bisa membaca pikiranku. "Dia memang suka bercanda."

"Kelihatannya tidak."

"Kenapa? Kau berharap dia bersungguh-sungguh? Lalu pacaran dengannya dan hidup bahagia seperti cerita dongeng? Begitu?"

"Kenapa kau sewot?" Sebelah alisku terangkat. Yoongi mendesah pendek dan melepas kemeja yang menutupi kausnya. Ia melemparkan kemeja itu sembarangan.

Aku mendecak dan merapikannya.

"Aku akan ke Jepang," katanya. "Kami," ia meralat.

Bukan kita wkwk. Ah lagian aku mau belajar untuk ujian. Buat apa ikut.

"Aku belajar untuk ujian," kataku. "Berapa lama kalian di sana?"

"Tiga hari."

Lama juga ya.... Aku mengerucutkan bibir. "Mau kusiapkan sesuatu?"

"Tidak usah."

"Aku akan meminta Seokjin Oppa membangunkanmu pagi-pagi karena, kata Taehyung, kau susah sekali dibangunkan. Atau aku yang menggantikan Seokjin Oppa?"

"Bae."

Aku bahkan lupa ia mengganti panggilanku. "Apa?"

"Kenapa kau tidak pernah memanggilku Oppa seperti ke Seokjin Hyung?"

Aku mengusap tengkuk. "Aku tidak mau."

"Kenapa?"

Karena memikirkannya saja sudah membuat jantungku berdebar tak karuan. Aku juga tidak tahu kenapa.

"Pokoknya tidak mau," aku bersikeras.

Ia menghampiriku dengan pandangan mengintimidasi hingga membuatku terduduk di sofa.

"Aku tanya kenapa?" tanyanya lagi, dengan intonasi lebih rendah, semakin dekat dan menunduk hingga menyisakan beberapa senti jarak di antara kami.

"Kenapa aku harus melakukannya?" tanyaku dengan nada tenang, walaupun jantungku sudah meronta-ronta dan paru-paruku menciut.

"Itu kan perintah?"

"Aku tidak mau menaatinya."

Ia terdiam selama beberapa saat, lalu melanjutkan, "Berarti kau memilih untuk dihukum."

*****

Ramein sini kolom komentar buat gw lanjutin lagi. Hujat aja ga apa, tapi tar aja pas abis buka.

Jangan pundung gaes. Kayaknya di sini ga ada adegan untuk mencaci maki. Besok aja deh ah yang bikin kalian maki-maki 😝

Bukber sama mereka gaes. Waktu itu lagi kemusuhan ama Yoon jadi Jimin nawarin duduk di sebelahnya 😌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro