Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#16

Baru berapa lama aku di sini sudah jadi korban media play? Tolong ingatkan aku ya untuk buang daleman di pantai. Biar kesialanku ikut terbuang.

"Terus bagaimana?" tanyaku.

Baru beberapa saat pertanyaan itu keluar, keberadaan mobil menyita perhatian. Mobil hitam besar itu berhenti di samping kami. Tanganku langsung ditarik Yoongi untuk memasuki mobil itu.

Widih, udah kayak adegan drama Korea.

Di mobil itu, salah seorang manajer Bangtan yang kutahu bernama Song Hobeom duduk di samping sopir, lalu menoleh ke arah kami di belakang.

"Aku sudah punya feeling jelek. Wartawan pasti sedang berkeliaran. Sudah yang ke berapa kali ini?" Ia mendecak lidah.

"Maaf, Hyung." Yoongi tampak menyesal.

Aku mengerucutkan bibir. "Anu, maaf juga, Manajer Song."

"Kenapa kau jadi minta maaf?" Sebelah alis Manajer Song Hobeom terangkat. "Ah, iya, kau kenapa bertengkar dengan fan di bandara?"

"Dia duluan yang cari gara-gara."

"Tolong jaga sikapmu. Kau belum pernah kena marah Bang PD, ya?"

"Biar aku yang akan bicara dengan Bang PD," Yoongi menyahut.

Baik aku maupun Manajer Song menoleh ke arahnya.

"Kenapa harus kau?" tanya Manajer Song.

"Iya, kenapa harus kau?" tanyaku.

Yoongi membagi pandangan. "Kau kan asistenku. Aku bertanggung jawab terhadapmu."

"Nggak usah bikin baper, deh," bisikku.

"Bapereu? Apa itu?"

Aku terbahak mendengarnya.

"Yah, yah," Manajer Song menerobos pembicaraan. Tangannya berayun. "Kau sepertinya bakal kena masalah sendiri dengan Bang PD. Kalau dating scandal-mu keluar tahun ini, kau pasti tamat."

"Mana ada orang yang percaya dating scandal seorang Min Yoongi?" Aku tertawa. "Orang-orang tahunya dia tukang tidur dan tidak mau keluar dari studio atau dorm." Tawaku terhenti begitu mendapatkan tatapan lekat Yoongi. "Maaf."

"Ya ya aku tahu aku dikenal sebagai Suga yang suka tidur, pemalas, dan sebagainya," lanjutnya. Nadanya cukup sinis. "Aku bahkan tidak tidur saat subuh. Aku nokturnal. Jam tidur kugunakan untuk bekerja. Aku kekurangan waktu istirahat."

"Iya, tahu. Kau pekerja keras. Tapi kan image itu sudah telanjur melekat." Bibirku mengerucut.

"Terima kasih, Hyung," kata Yoongi kepada Manajer Song.

"Aku akan mengantar kau pulang." Manajer Song menatapku. "Dan, kau." Lantas berpindah ke Yoongi. "Bawa mobilmu."

"Iya...." Yoongi menurut.

"Sebagai ucapan terima kasih, kau harus bernyanyi di pernikahanku suatu saat nanti."

"Iya...."

Aku baru sadar mobil ini berputar-putar, tidak mengikuti jalur biasa.

"Arah asramaku kan bukan di sini?" tanyaku.

"Kami sengaja berputar-putar untuk mengecoh wartawan di belakang." Manajer Song menunjuk kaca spion. Ada mobil yang tampak aneh di belakang kami.

Wartawan di sini benar-benar gila. Pantas saja banyak idola yang depresi. Sebagai warga +62 yang punya budaya santuy, hal ini baru buatku. Di Indonesia mah kena skandal justru semakin terkenal. Huft.

*

"Anu... Anda akan memecat saya?" Mataku melirik takut pada Bang PD yang duduk sambil mengetuk jemari di meja.

Ia sedang kesal atau wajahnya memang seperti ini, sih? Sangar dan bikin takut.

Bang PD mengembuskan napas panjang. "Pertama, kau bertengkar dengan fan di bandara...."

"Dia duluan yang mencari gara-gara! Dia mem-bully saya hanya karena tidak bisa melihat Bangtan dengan jelas!"

Bang PD tampak tak peduli dengan penjelasan itu. "Kedua, kau... membuat Yoongi nyaris terciduk wartawan."

Aku menunduk. "Maaf." Lha, padahal bukan aku yang salah. Bukan aku yang mengajaknya keluar. Tapi, aku malah diam dan membiarkan kesalahan itu kutanggung. "Saya tidak tahu dampaknya bisa besar."

"Kau sedang ada di Korea Selatan. Budaya dan kehidupan industri hiburan di sini mungkin sangat berbeda dari negaramu." Ia mengetuk meja beberapa kali. "Kau menyukainya?"

"Tidak!" aku berseru lantang, lalu tertawa. "Tentu saja tidak." Aku menggaruk kepala yang tak gatal.

"Kau sudah menandatangani kontrak. Kalau salah satu pasal kau langgar, konsekuensinya bukan sekadar pemecatan. Kau tahu itu, kan?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian, mengangguk. "Denda yang besar."

Bang PD tersenyum. Tapi, matanya seakan tak ikut tersenyum. Senyumnya aneh sekali.

"Kau boleh pergi."

"Tunggu. Anda tadi bilang nyaris. Apakah... masalah soal wartawan itu selesai?"

"Itu bukan urusanmu."

"Ah, oke. Saya akan pergi." Aku beranjak dan membungkuk, sebelum melenggang keluar ruangan.

Aku kaget bukan kepalang melihat Jimin sudah berdiri di depan ruangan. Kuembuskan napas panjang.

"Jimin-ah, kau mengagetkanku saja."

Cowok itu tersenyum hingga membuat matanya menyipit membentuk garis lurus. "Noona, mau temani aku ke mal?"

"Tidak. Aku tak mau ada masalah lagi."

"Tenang saja. Kali ini aku mengajak Manajer Jigaemae. Justru, kalau Noona pergi denganku, publik tidak akan mencurigaimu sebagai kekasih Yoongi Hyung."

Aku tertawa. Jimin menaikkan alis bingung.

"Jimin-ah. Jangan gunakan kata itu."

"Yang mana? Kekasih?"

"Itu menggelikan dan membuatku jijik sekali."

"Lalu, kau mau mendengar kata 'pacar' saja?"

"Tidak dua-duanya." Aku mendecak lidah. "Ya sudah, ayo. Idemu bagus. Cerdas." Aku memberinya jempol.

Jimin tersenyum semakin lebar. Matanya lenyap. Ia tampak senang bisa mengajakku pergi ke mal.

Kami pergi bertiga. Ini pertama kali aku diajak oleh Jimin dan mengobrol banyak dengannya. Ia sangat lembut dan sopan saat berbicara denganku. Wajah dan nadanya juga manja. Menggemaskan sekali.

Orang-orang yang melihat kami berbisik-bisik. Beberapa dari mereka mengambil foto diam-diam.

"Permisi, jangan mengambil foto." Manajer Jigaemae berkata sigap pada seorang perempuan yang memotret tadi. Ia meminta ponsel perempuan itu dan menyuruhnya menghapus dengan nada sopan. Perempuan itu tersenyum malu dan minta maaf.

Karena tak enak hati, Jimin memberikan senyuman padanya dan melambaikan tangan.

"Karena hal seremeh itu, aku hampir kena korban wartawan," katanya. "Dulu saat keluar dengan asistenku di mal, banyak yang menyebarkan fotoku di media sosial. Rumor-rumor tak berdasar menyebar sangat cepat."

"Ada konfirmasi atau penyangkalan dari Big Hit?"

"Tidak. Itu akan semakin menambah rumit. Jadi, perusahaan membiarkan berita itu. Bang PD hanya meminta beberapa orang Big Hit untuk mengatasinya secara personal tanpa tercium oleh media."

Wow. Seperti kasusku waktu itu. Yang dipikir sasaeng. Haha.

"Berarti, soal wartawan yang menguntitku kemarin lusa...."

"Serahkan saja pada Bang PD. Otaknya cerdas. Dia tahu apa yang harus dilakukan tanpa menimbulkan masalah yang semakin pelik." Kami memasuki gerai Saint Laurent. Aku mengekori Jimin untuk memilih baju. "Bang PD agak alergi dengan skandal. Karena dulu salah satu grup perempuan di Big Hit pernah kena skandal luar biasa. Dia bahkan sampai skeptis dengan trainee perempuan. Mungkin trauma. Jadi, maaf ya kalau dia agak keras. Apalagi menyangkut 'skandal'. Orangnya sangat disiplin."

Aku mengangguk. Tiba-tiba saja, aku teringat cerita Jungkook. "Eh, JK pernah bilang padaku. Soal staf yang keluar karena menyukaimu."

Praktis, Jimin menoleh. Matanya membulat, semakin membuatnya terlihat menggemaskan. "Jungkookie bercerita padamu? Wah... anak ini. Wah...." Ia mendecak lidah dan menubrukkan kepalan ke telapak tangan. "Aku akan mencubitnya kalau pulang."

"Jangan. Dia mungkin hanya ingin memberiku peringatan untuk tidak melakukan kesalahan yang sama."

Sebelah alis Jimin terangkat. "Kau menyukai salah satu dari kami?"

Aku menatapnya agak lama. Lalu, terkekeh. "Tidak!"

"Siapa? Pasti Seokjin Hyung karena dia tampan?"

"Bukan."

"Taehyung?"

"Dia bukan seleraku."

"Bukan seleramu?" Nadanya meninggi. "Orang seganteng Taehyung?"

"Bukan! Aku tidak menyukai kalian. Berhentilah."

"Apa jangan-jangan aku? Wajahku kan imut dan seksi." Ia menjilat bibir menggoda.

"Kau mau mati, ya?"

"Maaf, Noona." Ia mengubah raut wajah menjadi polos lagi. Tiba-tiba ia menceletuk. "Yoongi Hyung, ya?"

"Sudah dibilang, aku tidak menyukai kalian." Aku memukul lengannya pelan.

Ia cekikikan dan mengambil salah satu kemeja. "Sebenarnya, masalahku agak rumit." Ia memandangku. "Aku yang menyukainya lebih dulu."

Aku membulatkan mata. "Hah?" Ada jeda sedikit. "Staf yang keluar? Apakah... asisten yang menemanimu berbelanja di mal?"

Jimin menggaruk kepala yang tak gatal. "Bukan. Dia salah satu kameramen yang mendokumentasikan Bangtan Bomb."

"Gila." Aku mengatupkan telapak tangan ke bibir.

"Ah, jangan dibahas. Aku jadi merasa bersalah lagi." Jimin mengamati kemeja di tangannya. "Tapi, kalau kau punya masalah yang sama, aku bisa menjadi penasihatmu."

Aku tertawa. "Tidak akan. Toh, aku tak lama di sini. Aku akan segera pulang ke negaraku. Jangan kangen, ya."

Jimin tersenyum. "Aku coba dulu, ya." Ia lantas diantar oleh pramuniaga menuju tempat ganti.

Percakapan tadi membuat perasaanku mendadak tak enak.

Aku mendesis kesal. Padahal, aku sudah bilang saat kami papasan di kantor, bahwa aku dan Jimin akan pergi ke mal.

"Noona, bagaimana? Bagus tidak?" Jimin muncul dengan kemeja yang dipilihnya tadi.

Aku mengacungkan jempol. "Bagus!" Lantas, memikirkan chat tadi. "Sepertinya, aku harus kembali ke kantor."

"Kenapa buru-buru? Kita bahkan belum makan."

"Yoongi memintaku kembali."

"Ah.... Oke. Ayo kembali."

"Kalau kau masih mau belanja di sini, tidak apa. Aku bisa kembali sendiri."

"Tidak. Aku akan ikut. Ayo." Ia buru-buru kembali ke ruang ganti dan membayar bajunya ke kasir.

*

Aku mengecek jam tangan. Sejak tadi, aku menunggu di lobi. Sebab, ia belum memberi kabar lagi. Kalau sedang sibuk kan aku tidak enak untuk nyelonong masuk.

"Kenapa kau di sini?" Suara Hoseok membuyarkan perhatianku. Di tangannya ada segelas Starbucks.

Aku mengangkat kepala. "Menunggu Yoongi."

"Oh.... Dia di studio. Langsung saja ke sana."

"Tidak sibuk?"

Ia menaikkan bahu. "Sepertinya tidak. Kami sudah melakukan editing." Senyumnya merekah. "Aku pergi dulu, ya!" Ia memberikan salam perpisahan dengan dua jari di pelipis, lantas keluar sambil menyeruput minumannya.

Ya sudahlah. Aku langsung saja ke sana. Aku memberi tahu kalau aku akan masuk ke studionya.

Begitu sampai di depan, aku menimbang untuk menekan bel atau langsung saja. Setelah berhompimpa dengan diri sendiri, pada akhirnya aku memutuskan untuk menekan kode pintunya.

Terbuka. Wow, ia tidak mengganti kode setelah aku mengetahuinya?

"Buat apa kau memintaku kembali? Aku sedang belanja dengan Ji—"

Alih-alih Yoongi, aku menemukan Adora yang duduk di depan layar komputer. Ia memutar kursi ke belakang, agak terkejut melihatku.

"Bagaimana kau bisa masuk?" tanyanya.

"Bukankah harusnya aku yang tanya?"

Ia menatap langit-langit, tampaknya berpikir bahwa ucapanku sungguh bodoh. "Aku sedang bekerja."

"Di studio orang?"

"Yoongi Oppa yang memintaku ke sini."

Bocah tengik sialan. Aku tidak mengumpat Adora. Ia tidak salah kok.

Aku tersenyum. "Oh. Oke."

Tak berselang lama, si empunya studio muncul. Di kedua tangannya terdapat dua cup ramyun.

"Kau sudah datang?"

Kiw sidih diting.

Yoongi memandang dua makanan di tangannya. "Ah, kau mau?"

"M...."

"Bikin sendiri di dapur, ya." Ia masuk ke studio dan mengangsurkan satu cup untuk Adora.

Oalah lanangan jancuk.

Sudut bibirku terangkat. "Aku tidak lapar." Tapi, perutku berkata sebaliknya. Keroncongan. "Kalau kau masih sibuk, aku pergi dulu."

"Oh ya, tadi aku mau minta tolong titip makanan saat kau keluar. Tidak jadi."

"Setidaknya balas pesanku," kataku.

"Aku sibuk. Maaf." Ia menyeret kursi dan kembali berkutat dengan komputer di sebelah Adora. Mereka terlibat obrolan.

Tanpa mengucap selamat tinggal, aku berlalu pergi. Memasukkan kedua tangan ke saku jaket denim longgar sambil melenggang lesu menyusuri studio. Saat itu pula, aku berpapasan dengan Jungkook. Kami berhenti.

"Hai," sapaku.

Jungkook melongokkan kepala ke belakangku. "Dari Genius Lab? Bukannya dia sibuk?"

Bola mataku berputar. "Aku mau pulang." Lalu, melenggang melewati Jungkook.

Tiba-tiba, tanganku dicekal hingga membuatku berhenti. Aku memutar badan ke belakang.

"Daripada pulang, mau bantu aku?" tanyanya sambil mengedikkan kepala menunjuk arah studionya.

"Baiklah."

Aku mengikuti Jungkook menuju Golden Closet. Ia membukakan pintu untukku, sebelum masuk dan menguncinya.

"Aku sedang berlatih mengedit video. Kau tahu kan kalau aku seseorang yang perfeksionis? Jadi, kumohon, bantu menilainya." Ia menatapku memohon. "Noona."

"Oke. Mana."

Jungkook menyeret kursi lain di sebelahnya dan memintaku duduk. Ia mulai menunjukkan video buatannya. Aku menikmati selama beberapa saat video buatannya.

"Sudah bagus, kok."

"Ah, Noona, bukan itu jawaban yang kumau."

Aku terkekeh. "Sini, kukasih tahu." Lalu, menunjukkan beberapa bagian yang menurutku kurang sambil memberikan masukan. Jungkook tampak antusias dengan pendapatku. Ia bahkan langsung mempraktikkannya dan memintaku melihatnya.

"Aduh... pinternya adikku." Aku mengacak-acak rambut batok kelapa Jungkook saking gemasnya.

Ia menghindar. "Jangan lakukan itu."

"Kenapa? Aku gemas, tahu." Aku mencubit pipinya.

Ia menghindar lagi dan berkutat dengan komputer. Matanya sempat melirikku.

"Jangan sampai membuat aku menyukaimu."

*****

Uluh uluuuuuh baper si adek. Makanya jangan pake hati.

Ada yang sama? 🤪

Aku bakal posting komentar kalian yang menarik di sini yak 🤣🤣🤣

Tinggal interaksi sama siapa nih yang belum? 🌝 Di bab ini interaksi sama Jimin dan nyelip si Jhope bentar. Sisanya di bab selanjutnya ~

Btw, cerita ini bakal ngarah ke angst juga kayaknya 💩

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro