#15
"Kenapa gue ngerasa kesepian ya sejak Bangtan berangkat ke Dubai?" Naina menyandarkan dagu di atas meja.
Sebelah alisku terangkat. "Iya...."
"Hah?" Ia menyadari ucapanku. "Maksudnya, lo kesepian gara-gara Bangtan ke Dubai?"
Spontan, aku memandangnya. "Nggak gitu. Gue ngerasa lo nggak rame aja kayak biasanya. Ngebucinin mereka sampai gue bosen dengernya." Aku melanjutkan mengetik di laptop sambil menyeruput teh hangat.
"Bye the way, gue mau cerita." Nada Naina agak dikecilkan. Kalau sudah begini, pasti topiknya tidak biasa. Aku pun pasang telinga. "Sasaeng-nya Yoongi mulai cari tahu cewek yang lagi deket sama dia."
Praktis saja aku tersedak. Anjir, kenapa aku merinding, ya?
"Dih, nggak usah kaget begitu." Naina menyatukan alis. "Gue udah dapat bocoran, tahu. Beberapa dari anggota grup yang ngumpulin info dari sasaeng bilang, dia lagi deket sama produser Big Hit."
Ada kelegaan sekaligus kekecewaan. Lha, kenapa harus kecewa. Kupandang Naina yang menampakkan raut wajah serius.
"Lo tahu kan orang-orang itu? Maksud gue, sasaeng Bangtan? Kasih info dong. Gue kepo."
"Gue nggak tahu. Gue cuma berteman sama anggota grup yang beli info dari sasaeng. Kalau terlibat langsung, nggak pernah. Paling pas... beli info doang kita ngobrolnya hehe. Mereka mana berani nunjukin hidung."
Aku mendecak lidah. "Kirain lo kenal sasaeng."
"Ya... gue cuma tahu sedikit gerak-gerik mereka."
Bibirku mengerucut ke samping. "Sasaeng bahaya nggak, sih?"
"Bahaya. Kalau mereka tahu lo pacaran sama Bangtan." Naina terkekeh. Aku membuka mulut sedikit. "Lo bakal abis."
Aku mendecak lidah. Industri hiburan Korea kenapa seram sekali sih. Naina memotong kuku, sedangkan aku melamun lagi. Kupandang ponsel. Hm... kabar mereka bagaimana, ya? Apakah akan mengganggu kalau kuhubungi? Tapi, mereka tidak lama kok di Dubai. Naina pun akan mengajakku ke Incheon untuk menyambut mereka.
Sialan. Aku malah kangen dia.
*
Wah, sepertinya aku sudah mulai gila. Masa hanya dengan balasan seperti itu aku tersenyum semringah?
*
Hari ini aku benar-benar menemani Naina ke Incheon untuk menyambut Bangtan yang baru pulang dari UAE. Naina sudah bersiap dengan kamera berlensa besar dan bangku kecil—demi mendapatkan foto Taehyung yang bagus, ia rela naik bangku. Emejing. Naina bilang, ia ingin membuka fansite. Uang saku pemberian ayahnya digunakan untuk membeli kamera dengan lensa jumbo yang sepertinya bisa bersanding dengan lensa Dispatch.
Tidak seperti penggemar lain yang berjubelan, Naina memilih di tempat lain yang banyak dihadiri fansite lainnya pula. Naina tak ingin kalah dengan fansite itu dan tampil sangat mencolok walaupun wajahnya ditutupi masker dan topi. Ia memakai bando bertuliskan Taehyung. Katanya, dengan begitu Taehyung akan melihat ke arahnya dan otomatis foto yang diambil bisa bagus.
Yha, kalau begitu saja mah aku tinggal melambaikan tangan, pasti Taehyung menoleh dan menyadari keberadaanku. Syombong amat.
Suara teriakan penggemar mulai memekkan telinga. Aku bahkan tak bisa melihat ke arah rombongan Bangtan yang mulai keluar. Naina sudah bersiap dengan kamera dan naik tangga. Aku menggigit bibir. Tadi malam, saat berkirim pesan dengan Namjoon, ia bilang Yoongi terlihat sedikit sakit. Namun, Yoongi tak mengatakan hal itu padaku, sama sekali. Aku jadi dibikin khawatir.
Dari sini, aku tak bisa melihat Bangtan. Hanya sosok semampai Namjoon dengan senyum berlesung pipit manis yang kulihat di antara jubelan penggemar. Duh, apalagi Yoongi kan kecil, mana kelihatan. Wkwk.
Aku hanya ingin memastikan ia tidak sakit kok! Dengan gesit, aku membelah lautan penggemar. Taehyung sempat melambaikan tangan. Ketika melihatku, ia membuka mulut dan tersenyum lebar membentuk persegi. Badanku didorong-dorong oleh penggemar di belakang. Aku mendesah kesakitan saat merasakan cubitan. Di saat itu pula, kulihat Yoongi yang berjalan tergesa-gesa sambil menunduk. Dahiku mengernyit. Ia memang tampak tak sehat. Ia bahkan tak sadar aku berdiri di dekatnya. Disapa juga mustahil, teriakan penggemar di dekatku benar-benar memekakkan telinga. Badanku sampai ditarik ke belakang sangat kuat oleh seseorang. Aku terjatuh dan melihat sialan kampret itu mencoba menerobos.
"Yah!" teriakku lantang.
Gadis itu hanya menoleh dan tak memedulikanku. Ia berjinjit berusaha memotret Bangtan dengan kamera besarnya.
Aku mendecak lidah. "Jalang sialan."
"Kau bilang apa?" Gadis itu menyadari ucapanku.
Aku berdiri dan berhadapan dengannya.
"Kau tak punya mata, hah?" tanyaku.
Ia tertawa. "Hai. Orang asing, tahu diri dan tempat." Ia mendorong bahuku sangat keras, berkali-kali, membuatku mundur ke belakang.
Dengan cepat, aku menahan tangannya. Ia merintih kesakitan. Kerumunan penggemar yang tadinya meneriaki BTS pun berpindah memandang keributan kami.
"Jangan mentang-mentang kau orang sini, kau bisa memperlakukan aku seenaknya." Aku memelintir tangan gadis itu sampai membuatnya berteriak kesakitan. Kamera di tangannya yang bebas terjatuh.
"Kau merusak kameraku!" teriaknya.
Salah seorang gadis lain datang dan memisahkan kami dengan mendorong badanku cukup keras.
"El!" Naina berseru dari atas bangku. Ia cepat-cepat turun, mengalungkan kamera, dan menghampiriku sambil menjambak rambut gadis yang mendorongku tadi. "Stupid bitches!"
Terjadi pertikaian sengit. Naina dengan si teman dan aku dengan si gadis tadi. Gadis tadi berusaha meraih rambutku, tapi aku bisa menghindari tangannya dengan menepis keras dan mencengkeramnya. Penggemar lain bersorak-sorai, meminta petugas untuk memisahkan kami. Aku masih bergulat dengan sengit. Gadis tadi mendorong badanku keras sampai aku terhuyung ke belakang dan menubruk dada seseorang. Seketika, penggemar di sekitarku ricuh.
"Jungkookie!!!"
"Ya ampun, Jungkook!"
"Aaah, Jeon Jungkook!"
"Jungkook-ssi!"
"Dia benar-benar memegang gadis itu!"
Aku mengerjapkan mata dan menoleh ke belakang, mendapati Jungkook yang menahan bahuku.
"Kau tidak apa, Noona?" tanyanya, seolah tak mengenalku.
Bodyguard Bangtan seketika memutar berusaha mengamankan keadaan. Manajer Sejin berbisik ke telinga Jungkook, memintanya segera pergi. Pria berbadan besar itu menatapku sekilas. Tentu saja ia mengenaliku.
"Aku tidak apa," kataku.
Jungkook menatap Naina dan dua gadis tadi. Mulut Naina ternganga sangat lebar. Ia bahkan tak memedulikan rambutnya yang acak-acakan.
"Jungkook-ssi! Aku mencintaimu!" teriak Naina sambil melompat-lompat.
Petugas bandara mengamankan Naina dan dua gadis tadi. Aku memejamkan mata rapat. Gemas. Kupandang Jungkook yang balik menatapku.
"Kau ini memang bar-bar, ya," katanya pelan.
Aku menahan diri agar tak mencubitnya. Ia tersenyum semanis madu.
"Noona, lain kali hati-hati." Lantas, menundukkan badan sebelum berlalu dengan Manajer Sejin dan semua bodyguard. Penggemar lain berlari mengikuti Jungkook, sementara aku diminta ikut oleh petugas bandara.
Hah... sial.
*
Naina terbahak. Bahkan sampai malam ini, di asramaku, ia terbahak. Ia menganggap kejadian di bandara sangat menggelikan. Padahal, aku sudah waswas, khawatir dengan statusku sebagai mahasiswa pertukaran di sini. Aku menekan dahi, merasa pening.
"Gila! Nggak nyangka gue bisa ketemu JK dalam keadaan kayak tadi. Tahu gitu gue dandan dulu," katanya sambil menuangkan soju ke gelas kecil. Ia sudah hampir menghabiskan satu botol. Wajahnya pun sudah memerah. "Lo beruntung banget, tahi! Bisa dipegang JK! Gue kudu beli sepatu puluhan juta baru bisa pegang JK!"
Bola mataku berputar. "Tidur sana."
Naina tertawa lagi dan meneguk minumannya. Ia mendesah panjang. Sepertinya, ia sudah mulai setengah sadar. Kadar toleransi alkoholnya sama buruknya denganku—aku urutan pertama karena tak bakal sanggup menghabiskan satu botol.
"Sialan kampret berdua tadi. Belum tahu siapa gue!" Ia menepuk dadanya. "Gue hafal nih ya muka orang berdua itu. Kalau konser gue bully nanti!"
"Heh! Nggak boleh begitu." Aku mencoba menyingkirkan gelas dan botol soju itu dari Naina yang terbahak-bahak. Ia mengoceh, lalu terjatuh di sofa. Suara dengkurannya terdengar tak lama kemudian.
Aku mendesah panjang. Kutuang soju ke gelas kosong yang baru dan meminumnya sedikit.
"Si berengsek itu kenapa nggak tanya keadaanku, ya?" Aku menatap layar ponsel yang kosong. Baru Jimin yang menanyakan kabarku setelah insiden tadi. Ia bahkan berdoa agar aku tak kena masalah dan dipanggil ke kantor.
Aku memijat pelipis dan menghabiskan satu teguk. Ponselku bergetar.
Bola mataku membulat membaca pesan dari Yoongi yang mengabarkan sudah ada si depan asramaku.
*t
"Kau gila?" tanyaku setelah berhadapan dengannya. Ia menyandarkan punggung pada dinding batu yang memisahkan jalanan dengan asramaku.
"Harusnya aku yang bilang begitu setelah melihatmu bertengkar di bandara"
Lalu, kenapa ia tidak datang, alih-alih Jungkook?
"Aku malas meladeni hal sesepele itu," jawabnya, seolah bisa mendengar kata hatiku.
Aku menyeringai. "Iya, percaya."
"Kau baru minum?"
Aku buru-buru menggeleng dan menggoyangkan tangan. "H-hanya sedikit! A-aku bukan peminum. Sumpah."
"Aku tak peduli."
"Lalu, kenapa tanya?" Nadaku naik setengah oktaf. "Kata Namjoon kau sakit di sana."
Ia menggeleng. "Temani aku."
*
Aku menoleh ke kanan-kiri, mencari keberadaan manajernya. Ia tampaknya sadar dengan kegelisahanku.
"Aku datang sendiri," katanya setelah satu tegukan minuman.
"Justru itu," kataku. "Bagaimana kalau ada Dispatch?"
Ia menyeringai. "Kenapa? Takut terciduk?"
"Aku tidak mau wajahku dipampang di mana-mana dan mendapatkan teror dari penggemarmu."
"Target utama mereka sebenarnya bukan aku."
"Lalu?"
"Jungkook." Ia menuang lagi. "Dan Jimin."
"Kenapa?"
"Fanbase mereka sangat besar di sini." Yoongi memandangku. "Berita mereka sangat menjual."
"Taehyung? Dia kan punya banyak penggemar yang meledak. Dan... gila." Aku mengambil Naina sebagai referensi.
"Mereka menyerah menguntit Taehyung karena tidak bisa membedakan teman atau pacar. Dia social butterfly yang punya banyak sekali kenalan, baik laki-laki atau perempuan. Dispatch terkenal akan ketajaman analisis. Mereka menjual berita-berita kontroversial yang bersumber dari banyak bukti. Bagi mereka, Taehyung terlalu sulit ditebak."
Aku mengusap bibir, mencerna. "Seperti Lambe Turah, ya...."
Tanpa kusadari, Yoongi telah menghabiskan satu botol soju.
"Jangan banyak minum. Siapa yang mengantarmu pulang nanti!"
Ia malah menanggapiku dengan kekehan kecil. "Aku bisa menghabiskan lima."
"Tetap saja." Aku memukul lengan kanannya cukup keras. Ia spontan mendesis kesakitan. Bola mataku membulat. "Kenapa?"
"Tidak apa."
"Kau baru saja mendesis kesakitan." Aku melayangkan tangan, memberi gestur memukul, ia spontan memegang bahu kanannya. Ia tak mau membuka suara, alih-alih menghabiskan minumnya.
Dengan cepat, aku mengetik sesuatu di Google untuk mencari jawaban. Sebelah alisku terangkat saat memandang Yoongi.
"Bahumu pernah cedera?"
Ia membulatkan matanya. "Tahu dari mana?"
"Haesh. Kau kan idol. Tinggal ketik di Google sudah ketemu." Aku menunjukkan layar ponsel. "Bahumu sakit? Seharusnya kau di rumah saja dan istirahat. Kenapa malah ke sini? Dasar bodoh."
Ia memandang gelasnya cukup lama, sebelum menenggak isinya. "Aku mengkhawatirkanmu, bodoh."
"Hah?" Aku mengedipkan mata berkali-kali. "Katakan sekali lagi." Aku tersenyum hiperbolis. "Kau khawatir gara-gara insiden di bandara?"
"Aku khawatir karena Bang PD memanggilmu ke kantor besok."
Praktis saja senyumku lenyap. "Sial." Aku akan dipecat?
*
"Kau pernah kerja di delivery?" tanyaku saat kami berjalan menuju pulang. Yoongi menceritakan penyebab cederanya. Aku menggigit buku-buku jari. "It must be hurt. Kenapa tidak keluar saja dari Bangtan? Kau tidak bisa seperti ini terus-menerus, kan?"
Ia berhenti dan memandangku lekat. "Jangan bicara begitu."
"I was just stating fact."
"Itu membuatku tidak nyaman."
"Hm. Maaf." Aku mengucapkannya dengan tulus. "Maaf."
"Aku punya banyak tujuan," lanjutnya. "Dan, akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya."
Bibirku rasanya terkunci sehingga tak bisa memberikan balasan. Aku hanya mampu memandangnya. Raut wajahnya menunjukkan kesungguhan walaupun sedikit tertutup topi hitam.
Aku berpikir sejenak. "What's your biggest goals?"
"Money. Fame. Success."
"Kalau begitu, kau akan lebih menderita."
"Aku tidak peduli."
Bibirku mengatup rapat. "Yoongi-ssi, suatu saat, ketika kau mendapatkan semuanya, kau akan mengerti maksudku."
Aku mengembuskan napas panjang, hendak melanjutkan langkah, tapi tanganku ditahan. Badanku ditarik dalam dekapannya. Tangannya melingkar di sekitar kepalaku.
"Jangan angkat kepalamu," katanya.
Jantungku mendadak berdebar.
"K-kenapa?"
"Wajahmu akan terpampang," lanjutnya. "Ada wartawan."
"Dispatch?"
"Entahlah." Aroma musk di tubuhnya semakin membuat debar jantungku semakin menjadi-jadi. Sialan.
"Entahlah??"
"Mereka berjumlah banyak."
"Kok bisa?"
"Media play. Ada yang sengaja membayar mereka."
*****
AKU KECIDUK GAES
Ada yang masih baca? Btw banyak hal yang sekadar halu dan diubah loooh. Jangan dibaperin. Biarpun aku bakal kasih dark side of kpop di sini, tapi sebagian besar fiktif.
Tahun 2016 Bangtan ke KCon di Abu Dhabi ya bukan Dubai wkwk. Fiktif gaes. Enak kan ngehalu 😌
Pasti kalian menebak-nebak apakah JK ada rasa dengan si Noona uwu 😌
Coba bayangin didekap di dada begini :) opo ra modyar kowe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro