#14
Aku mengembuskan napas panjang. Baru saja, aku menghubungi Naina, mengatakan padanya kalau aku masih 'disuruh bos' dan akan menginap di 'restoran'. Ia tidak bertanya lebih jauh. Hanya saja, ia sedikit kesal karena mendengar teman asramaku di kamar sebelah sangat berisik.
Bibirku mengerucut ke depan. Aku memandang Yoongi yang sudah tertidur lagi di sofa dan kuselimuti. Aku melayangkan bogeman di udara, memberikan gerakan seperti ingin memukul.
"Ngerepotin orang aja."
Aku berkacak pinggang. Kalau keluar dari studio, aku tidak akan bisa masuk lagi karena tidak tahu kata sandinya. Lalu, kalau dia kenapa-kenapa di sini bagaimana? Kugaruk kepala yang tak gatal. Kok aku jadi seperti ibunya sih.
Kudekati ia dan merapikan selimutnya lagi yang hampir terjatuh. Aku sudah meminta tolong pada Namjoon untuk membelikan plester kompres. Rak bukunya menyita perhatianku. Aku beranjak sekadar mengamati beberapa buku yang disimpan. Ada buku Banana Yoshimoto yang berjudul About Her. Mataku mendapati buku lain. Life Lesson oleh Elisabeth Kübler-Ross dan David Kessler. Aku mengambil dan duduk untuk membacanya di keremangan lampu studio ini. Wow. Jiwanya kelam sekali. Ia membaca buku tentang misteri kehidupan dan bagaimana menghadapi kematian. Wah... Ada apa sih dengan jiwanya?
Kuletakkan buku itu ke meja dan hendak meraih ponselku di pinggiran meja. Tiba-tiba saja, tanganku diraih. Membuatku kaget hingga ponselku terjatuh. Genggamannya sangat kuat. Matanya masih memejam, tapi ia terus menggumam. Sepertinya, ia sedang mengigau. Kubiarkan dulu genggamannya di tanganku. Selama beberapa saat, sampai akhirnya mengendur dan dilepaskan. Tangannya mengayun jatuh. Aku mengangkat tangannya dan memosisikannya di atas perut agar nyaman.
Aku bersendang dagu mengamatinya. Caranya tidur lucu sekali. Bibirku mengembangkan senyum lebar. Sadar dengan reaksiku, buru-buru aku mengubah raut wajah dan menampar pipiku. Sangat keras. Mikir apa cuk.
Kudengar suara tombol kunci yang ditekan dari luar. Begitu pintu dibuka, mataku membulat. Jeon Jungkook masuk ke studio dengan kantong belanjaan. Ia melepas tudung hoodie hitamnya dan meletakkan kantong belanjaan ke atas meja.
"Namjoon Hyung sakit perut. Aku yang menggantikannya," kata Jungkook.
"Kau tahu kata sandinya?" tanyaku kaget.
"Tentu saja. Aku sering ke sini." Ia memandang Yoongi. "Biar aku saja yang mengurusnya. Noona bisa pulang."
"Kau gila apa?" Nadaku nyolot. "Ini sudah jam sebelas." Kuketuk jam tanganku berkali-kali.
"Lalu, kau mau tidur di mana? Di sini?"
Aku menggaruk kepala. "Aku bisa tidur di mana saja."
"Aku dan yang lain akan kembali ke asrama. Atau, mau aku gantikan? Biar aku yang menjaganya di sini."
"Tidak, tidak. Kau pulang saja. Anak di bawah umur jangan kelayaban."
Mendengar nada mengejekku, Jungkook membulatkan mata besarnya. "Yah, aku sudah mau menginjak usia dua puluh tahun."
"Usia internasionalmu bahkan belum genap sembilan belas tahun." Aku mendorong badannya. "Eh, kasih tahu kata sandinya, dong."
"Tidak mau."
"Kasih tahu." Aku menjitak kepalanya.
"Aduh!" Ia mengusap-usap kepalanya. "Noona, kau sangat kasar."
"Habisnya kau nakal sekali!" Aku mengembuskan napas dan mengacak-acak rambutnya. Seperti seorang kakak pada adik. "Sudah, sana pulang. Aku pastikan Hyung-mu baik-baik saja."
"Kenapa aku harus percaya padamu?"
"Aish. Setan cilik ini." Aku melayangkan tangan di udara. "Kau pikir aku mau ngapain dia?"
Jungkook mendengus. Ia memasukkan kedua tangan di saku hoodie. "Kalian bisa jadi pasangan yang cocok kalau sama-sama kasar begini."
"Apa kau bilang?"
"Tidak. Aku pulang. Dah."
Sebelum Jungkook menutup pintu, aku menarik tudung hoodie-nya sampai membuat ia tertarik lagi ke dalam.
"Kasih tahu kata sandinya."
"Aduh, iya iya." Ia menyerah, lantas memberi tahu kata sandi studio ini. "Aku pulang." Ia menaikkan tudung hoodie dan melenggang pergi. Kututup pintu studio, menghela napas panjang.
Tingkahnya masih seperti anak kecil. Ya... aku maklumi sih. Sebab, ia kan maknae di sini. Tingkahnya pasti masih kekanakan.
*
Alarmku berbunyi lantang. Aku menggapai-gapai mencari keberadaan ponsel, masih dengan wajah terkubur di bantal. Belum ketemu, tapi suara alarm sudah mati. Aku menggumam dan kembali tidur.
Loh, siapa yang matiin?
Buru-buru, aku membuka mata dan memutar badan setelah tidur dalam keadaan tertelungkup. Astaga! Aku mengentak kepala, memaksa bangun, sambil menampar pipiku. Kukucek mata dan berkedip.
Wew. Aku masih di studio. Seingatku, semalam aku tertidur dalam keadaan duduk di sofa pendek. Namun, aku sudah berpindah di sofa yang lebih panjang, berselimut, dalam keadaan sangat nyaman.
Begitu berhasil mengumpulkan kesadaranku, aku mendapati Yoongi berdiri di depanku sambil menyeruput secangkir minuman.
"Astaga, kok aku di sini?" Aku mengusap wajah dan rambut yang acak-acakan.
Yoongi mendecak lidah dan meletakkan minumannya di meja. Rupanya, ia yang tadi mematikan alarmku.
"Kau menyetel alarm jam empat, lima, enam, dan tujuh. Tapi tidak bangun-bangun juga. Buat apa pasang alarm sebanyak itu kalau kau saja malas bangun?"
Sudut bibirku terangkat. Kenapa ia yang malah mengomeliku.
"Bukankah kau sakit?" tanyaku. Aku memandang keadaan sekitar yang sudah rapi. Buku Elisabeth Kübler-Ross dikembalikan ke rak. Sampah-sampah bekas aku makan semalam sudah dibuang beserta plester kompres yang semalam kupasang di dahinya.
"Aku tidak ada waktu untuk sakit," katanya enteng. "Bangun dan mandi sana."
"Aku tidak bawa baju. Gara-gara kau, sih."
"Pinjam Adora."
Kedua alisku terangkat. "Siapa?"
*
Pintu studio produser Big Hit bernama Adora terbuka setelah kuketuk. Gadis berambut pirang pendek seleher itu mengintip dari balik pintu. Oh. Ini satu-satunya produser cewek di Big Hit yang kata Naina ikut mengisi suara dan memproduseri beberapa lagu Bangtan.
Aku tersenyum kecut.
"Halo?" tanyanya.
"Hai." Aku menunduk memberi salam. "Maaf mengganggu pagi-pagi begini." Tidak terlalu pagi juga sih karena sudah jam delapan.
"Ah! Kau staf baru, ya?" Ia membuka pintu lebar dan membiarkan aku masuk. "Yoongi Oppa baru saja mengabariku."
Cih. Panggil Oppa segala.
Aku tersenyum hiperbolis. "Oh. Dia sudah mengabari." Aku mengangguk. "Aku ke sini mau pinjam baju."
Ia tertawa. Sepertinya kaget dengan kalimatku yang langsung pada inti tanpa basa-basi. Adora mempersilakan aku duduk. Ia mencari bajunya di lemari kecil di studio ini.
"Aku baru saja sampai di sini jam tujuh untuk mengerjakan lagu baru. Untuk come back Bangtan," katanya. "Seharusnya, Oppa mengerjakannya denganku semalam. Tapi, dia tidak merespons chat dan panggilanku—"
"Dia sakit," aku menyela. "Jadi, aku merawatnya," kataku percaya diri.
"Wah. Sungguh?" Nadanya naik tak menyangka. Aku mengangguk. "Luar biasa. Dia jarang mempercayai orang asing."
"Aku bukan orang asing," nadaku semakin naik, membuat Adora mengerjapkan mata. "Aku... kan asistennya." Aku mengusap belakang telinga.
Adora terkekeh. Ia menyodorkan padaku bajunya. Tinggi kami hampir sama. Postur badannya juga sama seperti diriku.
"Terima kasih," kataku.
Aku berpamitan pada Adora dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Begitu pintu tertutup, aku memandang bajunya. Lalu, mendesah panjang.
Sekitar setengah jam kemudian aku sudah rapi setelah berganti baju dan berdandan. Sweter Adora memang tidak terlalu pendek atau panjang. Pas. Hanya saja lebih kedodoran di tubuhku—sepertinya selera Adora memang baju-baju oversize.
Begitu sampai di depan Genius Lab, aku menimbang akankah membuka sendiri atau menekan bel secara sopan. Aku memilih opsi kedua. Hanya sekali dan pintu dibuka. Ia memandangku dari ujung kepala sampai kaki. Sweter berwarna kuning bertuliskan KOBE dan jumpsuit denim. Yoongi mengatupkan bibir rapat seakan menahan diri agar tak tertawa.
"Kenapa?" tanyaku senewen. Ia menggeleng, lalu keluar dari studio.
"Kau lucu kalau pakai baju Soohyun."
"Soohyun?"
"Adora," ralatnya.
Adora teroooos. Aku hanya tersenyum kecut.
"Ayo makan di luar," ajaknya.
"Kau kan kemarin sakit. Lebih baik tidur saja di dalam lagi atau pulang."
"Tidak bisa. Sudah kukatakan, aku tidak ada waktu untuk sakit." Ia melenggang pergi dan kuikuti.
"Kita makan berdua?"
"Tentu saja tidak. Aku mengajak Jungkook."
Aku mendesah panjang. "Sepertinya, dia tidak menyukaiku."
"Dia bukan tidak menyukaimu. Dia hanya canggung dengan orang baru."
Rupanya, Jungkook sudah menunggu di lobi, sibuk dengan kamera slr-nya. Begitu melihatku, Jungkook memberikan reaksi heran. Sebelum mendengar pertanyaan atau komentarnya soal baju Adora, aku membungkam mulutnya dengan tangan dan memintanya jalan.
*
Kami memilih tempat makan yang tidak terlalu ramai dan berada di lantai paling atas di gang sempit. Ya... aku bisa memaklumi, susah memang kalau sudah jadi idol. Gerak mereka pasti tidak bebas.
Aku melihat sisi lain Jungkook saat ini. Ia boleh saja kekanakan, tapi kemampuannya banyak sekali.
"Kenapa kalian tidak mengajak yang lain?" tanyaku.
"Mereka biasanya tidak sempat sarapan dan langsung ke kantor," jawab Yoongi.
"Hyung, kau sudah lebih baik, kan? Noona ini kemarin bilang akan merawatmu dengan baik."
Sudut bibirku terangkat. Coletahnya banyak sekali sih. Kupikir ia sangat pendiam.
"Aku baik-baik saja. Seharusnya kau pikirkan dirimu sendiri."
"Aesh. Aku kan kuat karena masih muda. Kau sudah tua. Jadi wajar aku cemas."
Aku tertawa. Tak berselang lama, ponsel Yoongi bergetar. Ia meminta waktu sebentar untuk mengangkat panggilan dari orang tuanya dan meninggalkanku bersama Jungkook.
"Kau masih sekolah, kan?" tanyaku.
"Kenapa?" Jungkook balik bertanya.
"Tidak apa." Aku memandangnya dengan saksama, melihatnya menghabiskan sarapannya. Caranya mengunyah entah kenapa malah mengingatkanku dengan seekor kelinci. Imut sekali.
"Aku dengar kau tidak lama di sini?"
"Ya... sampai Agustus? Setelah itu aku kembali ke negaraku."
"Baguslah," katanya.
"Baguslah?" Nadaku naik. Aku nyaris menjitak kepalanya. Ia malah terkekeh.
"Kau sudah dengar peraturan dari Bang PD-nim, kan? Staf dilarang menaruh rasa pada artis."
Aku yang tadinya hendak minum pun tak jadi. "Apa maksudmu?"
"Aku hanya mengingatkan. Banyak kejadian seperti itu dan berakhir beberapa staf yang memilih mengundurkan diri. Seperti yang pernah terjadi pada seorang staf yang suka pada Jimin Hyung. Padahal, dia sangat baik."
Aku mendecak lidah. "Aku sudah bilang aku hanya sampai Agustus di sini. Tenang saja." Aku menyeruput minuman.
"Kau suka pada Yoongi Hyung, kan?"
Mendengar kalimatnya, aku tersedak. "Jangan bicara ngawur."
"Ah, jangan bohong. Aku bisa menebak, tahu." Ia menyeringai memamerkan gigi kelincinya. "Itu pun kalau kau siap patah hati."
Sebelah alisku terangkat tak mengerti. "Patah hati? Kenapa?"
Jungkook memandangku dari balik mata bulatnya. "Yoongi Hyung dan Adora saling menyukai. Mereka hanya sama-sama gengsi untuk mengakui perasaan mereka dan takut."
Aku berhenti berkedip selama beberapa saat, lalu tertawa. "Kenapa kau kasih tahu! Dasar bodoh! Jangan sesumbar hal seprivat itu di depan orang asing!" Aku memukul lengannya, membuat ia meringis kesakitan.
"Aku kan berbaik hati padamu. Biar kau tidak bernasib seperti staf yang menyukai Jimin Hyung."
Aku mendecak lidah dan mengacak-acak rambutnya gemas. Ia menghindar dan merapikan rambutnya lagi.
"Tenanglah. Aku bekerja secara profesional," kataku. Jungkook menanggapinya dengan senyum simpul.
Sial. Kok ucapan bocah ini malah menggangguku, sih? Entah kenapa, rasanya sesak sekali. Bibirku mengerucut kesal. Semakin kesal saat melihat Yoongi datang. Ia duduk lagi dan kembali menekuri ponsel.
Aku jadi mengingat saat kami di warung tenda. Saat ada panggilan masuk di ponselnya dan memintanya segera kembali ke studio.
Aku baru ingat nama yang tertera saat itu adalah "Soohyun".
Aku teringat juga ucapan Adora tadi. Saat mengatakan punya rencana mengerjakan lagu kemarin malam.
Jadi, saat ia memohon padaku agar tetap menemaninya malam lalu, ia mengira aku adalah Soohyun?
*****
Nih bonus foto Taehyung yang baru diupload di Weverse
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro