Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#13

Aku mendecak lidah. Ini kedua kalinya aku mendapatkan pesan bernada ancaman seperti ini. Semoga saja orang-orang ini termasuk golongan orang iseng.

Perhatianku tersita pada Naina yang masih mengobrol panjang, menceritakan soal BTS yang membuatku hanya bisa menghela napas panjang. Ia memberi tahu TMI para anggota sambil membacanya di internet. Sepulang dari kampus, ia memang sedang main ke asramaku sambil membawa banyak makanan ringan. Hari ini aku sedikit lega karena bebas tugas. Yoongi bilang, ia butuh konsentrasi untuk mengerjakan Mixtape pertamanya.

"Tipe ceweknya Taehyung gue banget, tahu!" celetuk Naina yang sejak tadi mencocokkan dirinya dengan Taehyung. "Tuh, rambut gue panjang, lurus, lembut." Ia mengibaskan rambut. "Gue juga cute, bisa aegyo. Gue juga hemat!"

Aku mendesis. "Hemat apaan kalau lo aja beli Puma sampai puluhan juta." Sudut bibirku tertarik mengejek.

"Gue bakal jadi orang yang hemat abis ini."

"Halah, lambemu."

Ia tertawa. "Denger nih, tipe ceweknya Min Yoongi."

Praktis, aku memandangnya dan tak sadar tengah mencondongkan badan.

"Ah... suka banget gue cowok kayak begini. Nggak neko-neko. Yang penting bisa memahami kesibukan dia, bisa ngendaliin emosi dia, merawat dia dengan baik, enak diajak ngobrol, blak-blakan..." Naina memandangku. "Kayaknya lo cocok sama dia."

Aku tersenyum malu-malu sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Masa, sih?"

Naina kembali membaca. "Ah... nggak nggak. Lo anaknya berisik parah. Dia suka cewek yang kalem."

Aku mendesis.

"Tapi, kalau dari penampilan dan karakter lo..." Ia seolah menyensorku dengan gestur jari membentuk kamera. "Lo itu sebenernya bisa jadi tipe ideal Jungkook. Apalagi dia suka sama cewek yang lebih tua."

Aku terkekeh. "Udah, ah. Nggak usah ngayal lo. Kurang-kurangi baca FF Y/N di Wattpad."

"Jodoh nggak ada yang tahu."

"Iya. Tapi tahu diri juga."

Naina meremas keripik dan menjejalkannya ke mulut. Aku mengutak-atik laptop lagi untuk berselancar di internet.

"Eh, bokap lo jadi ke Seoul?" tanyaku.

Ekspresi Naina langsung berubah. Ia menelan keripiknya dan terkekeh. "Nggak jadi."

"Sibuk sama kerjaan lagi?"

"Ngurus sidang perceraian sama nyokap gue."

Aku melongo. Ia mengucapkan itu seakan hal tersebut adalah hal lumrah. "Maaf."

Ia tertawa lagi dan mengibaskan tangan di udara. "Ah, nggak apa. Gue baik-baik aja kok." Tapi, aku melihat kedua matanya yang berusaha keras membendung air mata. "Gue pipis dulu, yak." Ia lantas melempar bantal sofaku dan berlari terbitit-birit ke kamar mandi.

Aku memutar badan, melihat pintu kamar mandi sudah ditutup. Ah... kasihan sekali sih dia. Ponsel Naina di meja bergetar. Aku memungut dan beranjak dari sofa menuju kamar mandi. Sebelum mengetuk, kudengar suara isak tangis di dalam yang teredam suara air mengucur di wastafel. Membuatku mengurungkan niat untuk mengganggunya. Kupandang layar ponsel. Panggilan dari papanya.

"By the way, kalau lo butuh gue panggil aja ya. Oh ya, katanya lo mau lihat BTS di Incheon, kan? Nanti gue temenin."

Ia membalas, "Hm. Makasih, ya. Ini mata gue lagi sakit."

Bibirku mencebik. Ia masih saja berbohong. Padahal, menangis di depanku kan tidak masalah.

Aku kembali ke sofa dan meletakkan ponsel Naina ke tempat semula. Lalu, meraih ponselku yang sudah dipenuhi notifikasi.

Sebelah alisku terangkat. Aku langsung menelepon Namjoon, khawatir ada sesuatu yang mendesak.

"Halo?"

"Ah! Aku minta maaf kalau mengganggu. Tapi, ini agak urgent."

Aku mengedipkan mata beberapa kali. "Ada sesuatu yang gawat dengan..." aku agak berbisik, "Yoongi?"

Namjoon tampak kaget di seberang. "Bukan, bukan. Iya, dia tidak keluar dari studio sejak tadi. Tapi, maksudku meneleponmu karena hal lain. Bisa kau datang ke kantor? Sebelum jadi gawat."

Haesh. Apa lagi, sih? Aku membuang napas panjang. Panggilan terputus begitu aku menyetujui permintaannya. Ya elah... baru juga istirahat.

Aku segera mengambil jaket dan tas, kemudian memakai sepatu.

"Naina! Gue pergi dulu, yak! Ada urusan penting sama kerjaan gue! Nanti pulang gue bawain sesuatu, deh!" teriakku.

"Iya!" Naina balas berteriak dari kamar mandi. "Gue lagi boker. Udah sana!"

Aku terkekeh. Kulangkahkan kaki secepatnya keluar dari asrama.

*

Menjelang senja, udara musim semi yang masih sedikit dingin berembus menggelitik leherku. Aku mengusap leher sambil berjalan cepat mendekati gedung Big Hit. Di lobi, aku berpapasan lagi dengan Choi Daniel yang duduk di sofa tunggu.

"Noona! Kau datang malam-malam begini?"

Aku mendesah. "Aku ada perlu dengan Namjoon. Bye!"

Bocah itu melambaikan tangan padaku. Sesuai petunjuk Namjoon, aku menemuinya di Mon Studio—well, terima kasih Kim Taehyung atas room tour tempo hari.

Tidak seperti Genius Lab, Mon Studio tak memberikan akses kunci. Aku tinggal mengetuk dan dari dalam Namjoon membuka pintu.

"Wah, cepat sekali."

"Ada masalah urgent apa?" tanyaku seraya masuk ke studio.

Namjoon tersenyum, menampakkan lesung pipit yang manis. "Maaf. Aku butuh bantuanmu untuk konsultasi lirik lagu."

"Yah! Namjoon-ah!" Aku memukul lengannya. "Aku ngos-ngosan lari dari halte ke sini cuma untuk itu??" Aku tertawa tak bersuara.

Namjoon mengatupkan telapak tangan sambil memejamkan mata rapat. Cute sekali.

"Maaf. Benar-benar maaf," katanya. "Ini urgent karena album kami akan keluar bulan Mei. Aku butuh konsultan." Sekali lagi, ia melayangkan senyuman manis. "Aku membaca puisi-puisimu, lho. Itulah sebabnya aku minta bantuanmu juga."

Tunggu. Hah?

"Puisi? Kau tahu dari mana?" Bola mataku berkedip beberapa kali.

Namjoon menggaruk kepala yang tak gatal. "Kau meninggalkan buku catatanmu di studio Yoongi Hyung. Jadi... aku membacanya."

Aku mendecak lidah. Namjoon meminta maaf lagi karena menganggap tindakannya tak sopan. Ia mengatupkan telapak tangan.

"Tolong bantuannya."

Pada akhirnya, aku menerima permintaannya. Kami duduk di sofa. Ia mulai mencoret-coret tulisannya di buku catatan, sedangkan aku mengamati sambil bersendang dagu. Begitu ia menyelesaikan liriknya, aku melihatnya.

"Tulisanmu sudah bagus, Namjoon-ah."

Ia tersipu malu. "Aku tidak terlalu percaya diri. Coba, menurutmu, bagian ini bagusnya seperti apa?" Ia menunjuk beberapa larik.

Aku menelengkan kepala ke satu sisi dan menggumam. "Yang ini agak ganjal, ya?"

"Ya, kan? Bagaimana bagusnya?"

Aku mencoret-coret kertas itu dan mengambil beberapa opsi kata yang lebih indah dan pas.

"Untuk membangunkan aku dari mimpi yang kujalani sepertinya lebih cocok." Aku tersenyum.

"Wah... benar. Bagus. Trims! Aku akan memberikan credit kalau lirik dariku disetujui. Kau mau nama apa?"

Aku menggeleng. "Tidak, tidak. Aku kan minor. Tulis saja namamu semua. Aku hanya membantu sedikit."

"Yah, tidak bisa begitu."

"Tidak apa." Aku mendorong kertasnya. "Judulnya apa?"

"Hm, entahlah. Untuk sementara kami menamainya "Save Me". Btw, terima kasih banyak sudah mau direpotkan." Ia tertawa malu.

"Yang lain ke mana?" tanyaku.

"Hm... Seokjin Hyung, Hoseok, Jimin, dan Jungkook latihan koreografi tambahan. Taehyung berlatih vokal. Yoongi Hyung di studio." Namjoon memiringkan kepala. "Dia bahkan tidak keluar sangat lama. Sebentar lagi kami ada jadwal pemotretan di Dubai. Kami tak punya cukup waktu mempersiapkan album spesial ini. Hah... dia bekerja sangat keras.

"Kenapa kau biarkan?" Nadaku naik seperti seorang kakak yang memarahi adiknya.

"Percayalah, dia sangat keras kepala. Di antara kami saja, cuma Jungkook yang bisa leluasa masuk ke studionya." Ia terkekeh. "Kau mau diantar pulang? Aku akan meminta Sejin Hyung mengantarmu."

"Tidak, tidak. Aku bisa pulang sendiri."

Namjoon menyatukan alis tak sependapat. "Sudah malam, lho."

"Tidak apa. Aku juga mau cari sesuatu untuk temanku."

Pada akhirnya, Namjoon menyerah dan membiarkanku keluar studionya seorang diri—aku biarkan ia melanjutkan kegiatannya berkutat dengan persiapan albumnya.

Masih di koridor, perhatianku tertuju ke Genius Lab. Ia sedang apa, ya? Aku jadi mendadak khawatir.

"Aduh, ngapain khawatir sih." Aku memukul kepala. Tapi, tidak sopan juga kalau tidak menyapanya.

Kuputuskan untuk mendengar kabarnya saja, setelah itu pulang. Hehe.

Aku memencet bel. Cukup lama, sebab ia tak kunjung membukanya.

"Yoongi-ssi." Aku mengulang panggilan itu walaupun ia tak senang. "Kudengar kau tidak keluar sejak tadi. Bukannya apa, aku hanya ingin tahu kabarmu." Aku mendecak lidah. "Iya, iya, aku khawatir nih." Tidak terlalu blak-blakan, ya?

Muatamu. Itu sudah blak-blakan.

Aku memencet bel lagi. Ia tidur kali? Kucoba meneleponnya. Ia tak kunjung menjawab. Aku pun mengirim banyak chat.

Hanya centang satu. Huft. Aku menekan bel berulang kali secara membabi buta.

Sampai akhirnya, pintu dibuka, membuatku terkejut. Wajah Yoongi tampak kusut. Rambutnya berantakan.

"Kau tidak apa?" tanyaku, sedikit khawatir.

Ia memandangku dari balik matanya yang nyaris segaris. "Kenapa ke sini?"

"Namjoon menghubungiku. Dia minta bantuan..." Aku menghentikan perkataanku lantaran sadar ia sedang tak baik-baik saja. Tangannya menahan kosen pintu seakan berusaha menjaga keseimbangan.

Aku menyentuh dahinya. Panas sekali!

"You got fever. Mau kupanggilkan teman-temanmu?" Aku sudah akan beranjak untuk memanggil Namjoon di studionya sampai tanganku diraih.

"Jangan."

"Kau kan mau ke Dubai. Kalau sakit begini bagaimana? Atau kupanggilkan dokter saja, ya?"

Ia menggeleng. Lantas, tiba-tiba saja meletakkan dahinya di bahuku dengan napas memburu.

"Jangan pergi dulu," bisiknya. "Tolong temani sebentar."

*****

Tadinya mau update kemaren tapi akunya lagi banyak kerjaan 🤣 Ga apa ya telat dikit 😌

HBD Yoongi 🌝 coba tulis harapan kalian buat Yoongi di sini 😗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro