#10
Aku mendecak lidah. Orang ini apakah memang selalu sedingin ini kepada semua orang?
Lo kan bukan siapa-siapa, ya iyalah dia nggak nanggepin.
Dewi batinku berbisik mengejek. Aku berbaring ke kanan sambil memandangi layar ponsel. Pikiranku berputar pada janji yang kukatakan kepadanya minggu lalu. Janji untuk memberikan info tentang sasaeng grupnya yang akhir-akhir ini semakin meresahkan.
Aku dan Naina sudah baikan. Well, lebih tepatnya cewek itu tidak bisa marahan terlalu lama. Ia akan mencariku sekadar menumpahkan kesal, lalu kita kembali berbagi cerita. Seperti kemarin, ia berusaha mati-matian mengorek informasi soal kejadian di hutan. Aku pun menjawab seperlunya.
"Dia cuma kasih gelang gue kok. Abis itu gue blokir dia. Takut ah nanti jadi bumerang," kataku waktu itu.
"Gila lo ya. Kan itu kesempatan bisa deket ama idol. Apa gue perlu bikin masalah dulu sama Taehyung biar di-notice?"
"Nggak usah aneh-aneh. Please banget. Lo nggak mikir apa orang kayak mereka bakal stres banget gara-gara fans kayak lo? Mending lo jadi fans modal kuota aja deh biar nggak aneh-aneh. Kasihan, tahu. Mereka juga manusia."
Naina mendecak lidah. "Iya iya."
"Kalau lo nggak tobat, gue nggak mau nemenin fansign nih?"
"Jangan dong!"
"Lagian nggak bersyukur banget lo. Kan lo udah menang fansign dan bakal ketemu bias lo." Bola mataku berputar.
"Itu juga butuh pengorbanan." Bibir Naina mengerucut. Ia memain-mainkan Taena, boneka yang dibilang anaknya dengan Taehyung, sambil menggerutu. "Gue beli Puma sampai tiga puluh biji tahu."
Reaksiku saat itu tentu membuka mulut sebesar bola pingpong. "Gila. Nggak waras lo? Terus sepatunya mau lo apain, jir?"
"Mau gue jual lagi. Ada juga yang gue bagi-bagiin ke ARMY di Twitter." Ia malah tertawa cekikikan. Seperti tak ada beban sudah mengeluarkan banyak uang hanya untuk mendapatkan kesempatan fansign.
Ya sudah sih. Toh duit dia. Lagi pula ia lahir sebagai sendok perak. Silver spoon. Orang tuanya memberi uang saku yang banyak untuk menjamin kehidupannya di Korea. Dan, mereka tak peduli dikemanakan semua uang itu. Mereka membiarkan putri mereka berfoya-foya menghabiskan uang hanya untuk menjadi penggemar idol.
*
Aku benar-benar mengantar bocah sialan ini ke tempat fansign. Sejak empat jam, aku mendengar teriakan para penggemar di dekat gedung yang digunakan untuk fansign. Mereka berbaris dan tak berhenti mengoceh. Aku hanya mengamati barisan penggemar itu agak jauh sambil melipat tangan depan dada. Kulihat Naina sempat ribut dengan penggemar lain karena masalah sepele. Sementara itu, pengggemar yang tak bisa masuk berkumpul di dekat gedung sambil meneriakkan nama member satu per satu. Fanchant.
"Jadi, gue di sini cuma buat ngelihatin fansnya BTS?" Aku mendecak lidah. Kurang baik apa aku sebagai teman yang mau-maunya menemani ke tempat seramai ini.
Tak berselang lama, keriuhan semakin memuncak kala sebuah mobil datang. Aku memiringkan kepala begitu melihat seseorang keluar dari mobil. Kepalaku menengadah, berusaha melihat ke celah-celah keriuhan penggemar yang sudah menyemut diadang bodyguard.
Kan aku jadi penasaran. Curiosity kills the cat memang.
Aku ikutan maju sekadar ingin tahu. Seganteng apa sih anggota BTS. Haha.
Aku berhasil mengambil tempat yang masih kosong di barisan terdepan. Di saat bersamaan, salah seorang anggota dengan bahu lebar, berkaus dan bertopi pink melewati barisanku sambil melempar senyum ramah.
Aku membuka mulut. "Oh... itu yang namanya Kim Seokjin. Wah. Gila. Aslinya lebih ganteng ya daripada di foto. Buseeet. Kinclong cuy. Masa depannya pasti cerah nih punya handsome privilege."
Aku sempat terhimpit penggemar lain yang berebutan ingin mengabadikan anggota yang melewati mereka. Sudah!!! Aku menyerah!!! Aku tidak bisa terus-terusan berdesakan di antara penggemar yang berteriak di telingaku.
Sampai keberadaan seseorang dari balik tubuh bodyguard muncul. Ia berjalan tergesa-gesa. Langkahnya lebih panjang dan tak sabar daripada anggota lain yang masih menyapa dengan ramah. Min Yoongi.
"Min Yoongi, you're so rude." Aku mendecak lidah melihatnya berjalan gusar tanpa memandang berkeliling sedikit pun.
Ia mungkin tak menyadari keberadaanku. Syukurlah. Daripada dicap munafik ketahuan berdesak-desakan di antara kerumunan penggemar.
Sampai akhirnya semua anggota masuk ke gedung ditutup dengan lambaian tangan salah seorang anggota yang tersenyum lebar bagaikan mentari yang bersinar sangat cerah di pagi hari.
*
Di restoran yang berdekatan dengan gedung acara fansign, aku menggulir foto-foto yang diunggah Naina di akun Twitter-nya. Ia mengungkap sangat bahagia pada akhirnya bisa bertemu dengan idolanya.
Aku tersenyum melihat postingannya yang entah mengapa malah membuatku senang. Sesederhana ini ya membahagiakan diri sendiri. Eh, tidak sederhana juga anjir. LO DI-NOTICE IDOLA LO APANYA YANG SEDERHANA.
Pada akhirnya bocah ini berinteraksi dengan idolanya tanpa membuat ulah. Aku sudah ngeri kalau ia nekat menghalalkan segala cara demi bisa berinteraksi dengan Taehyung.
Ya mau tidak percaya... tapi bagaimana ya. Naina itu cantik sekali. Sayang kelakuannya saja yang edan.
Tapi, agak menyedihkan sekali aku menunggu seorang diri di restoran Jepang. Mangkukku juga sudah habis.
Hingga tak terasa, waktu bergulir begitu cepat. Aku sudah mengantuk dan menempelkan pipiku di atas meja. Ketiduran.
Suara orang-orang terdengar berseliweran di antara batas kesadaranku. Sampai akhirnya aku terbangun ketika seseorang menepuk pundakku berkali-kali. Kepalaku terangkat. Seorang wanita tua, pemilik restoran, berkata akan segera menutup restoran. Aku mengucek mata dan melihat ke ponsel.
Jam sepuluh malam.
Bola mataku memelotot. Aku pun segera membayar ke wanita tua itu sambil mengucapkan maaf. Lalu, bergegas keluar dari restoran sambil mencoba menelepon Naina. Ponselnya tak aktif. Aku mengecek WhatsApp. Banyak notifikasi yang belum kubuka.
Mampuslah aku. Aku mengacak rambut. Kurogoh tas dan mengeluarkan dompet. Ah, sial. Uang tunaiku tidak cukup. Aku tak membawa kartu kredit atau ATM karena kupisahkan di dompet khusus kartu. Dan dompet itu kutinggal di kamar.
Sial sudah. Aku celingukan. Jalanan sudah agak sepi. Aku berjalan seorang diri sepanjang trotoar yang temaram, mencari halte bus terdekat sambil sesekali mengecek Naver Map. Aku menggaruk kepala. Kenapa arahnya kacau sekalih sih? Aku justru dibuat berputar-putar tanpa tujuan.
Dan, akhirnya, tersesat. Bagus. Bagus sekali! Baterai ponselku tinggal dua persen.
"AH BERENGSEK KENAPA GUE SIAL AMAT SIH!" Aku berteriak kesal di jalanan kecil. Beberapa restoran tampak masih buka. Suara tawa pengunjung sampai terdengar di luar. Aku berjalan sambil menggerutu. Ponselku sudah mati total.
Aku membawa power bank Naina di tasku.
Bodohnya, aku tidak membawa kabelnya.
Aku memukul kepalaku berkali-kali mengutuk kebodohan.
Saking frustrasinya, aku berhenti dulu di samping restoran yang masih buka. Duduk di dekat pintu samping yang terhubung dengan jalan sempit. Lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Berpikir. Bus sudah tak beroperasi jam segini. Stasiun juga entah di mana.
Kampret!
Kudengar suara bisik-bisik dua orang di dekat pintu.
"Ah... ini membuatku frustrasi. Bang Si Hyuk menolak demo Spring Day buatan Taehyung. Aku sudah berusaha sebaik mungkin."
"Kau sudah berusaha."
"Taehyung tampaknya sangat sedih. Dia sudah berusaha sangat keras. Seharusnya aku bisa meyakinkan lebih keras lagi. Haesh."
"Namjoon-ah. Berhenti menyalahkan diri."
Kepalaku terangkat karena mengenali suara salah satunya. Bersamaan ketika aku menengadah ke samping dan seseorang bernama Namjoon masuk lagi, pandangan Yoongi terkunci kepadaku.
"Kau, kenapa di sana?" tanyanya kaget.
"Mau maling." Aku mendesah panjang. "Aku sedang berpikir bagaimana caranya agar pulang." Kudekatkan kedua telunjukku di pelipis, memejamkan mata sangat rapat, lalu mendesah putus asa. "Radarku hilang."
"Kau mendengar obrolan kami baru saja?"
"Hah?" Aku menoleh ke arahnya lagi. "Obrolan yang mana?" Aku membuka mulut membentuk huruf O. "Oh... demo lagu yang dito—" Belum sempat menyelesaikan ucapanku, tanganku ditarik berdiri dan diseret menjauh dari restoran. "HEH!"
"Jangan bocorkan itu." Suara Yoongi sangat mengintimidasi.
"Aku saja tidak paham maksud kalian." Bola mataku berputar.
"Kau... benar-benar polos atau bodoh, sih?"
"Bodoh jidatmu!" Aku menyela tak kalah kasar.
"Hyung, kau sedang apa?" Seseorang melongokkan kepala dari balik birai pintu restoran. Seorang pemuda yang memakai jaket hitam dan celana kargo besar mengamati kami dengan saksama. Wajahnya yang seperti anak SD menatap dengan pandangan polos.
"Sedang memberi uang ke gelandangan."
GELANDANGAN MATA KAU.
Mulutku bergerak ingin memaki.
"Kita harus pergi," kata bocah itu.
"Duluan saja." Yoongi mengibaskan tangan. "Ah, Jungkook. Bilang ke yang lain aku masih ada urusan sedikit. Sebentar lagi aku menyusul atau kalau mau tinggal saja. Biar aku pulang bersama staf."
"Oke." Walau masih diliputi pertanyaan di wajahnya, pemuda itu, Jungkook, akhirnya berlalu pergi.
"Dengar...." Perhatian si berengsek kembali lagi kepadaku. "Aku tidak pernah mengancam orang yang tak kukenal. Aku hanya minta, jaga rahasia soal pembicaraan tadi."
"Sepenting apa itu bagi kalian?" Aku menaikkan alis. Benar-benar tak paham dengan ucapannya. Demo lagu, Spring Day, Bang Si Hyuk juga siapa lagi.
"Sepenting beasiswamu di sini." Nadanya sarkastis sekali.
Aku terkekeh. "Bukan maksud mengancam juga. Tapi, bagaimana kalau aku membocorkannya?" Sebelah alisku terangkat. "Aku tidak sengaja mendengarnya, secara teknis. Kau tak bisa menuntutku." Aku menghela napas panjang. "Kenapa sih kau berhasrat sekali ingin menuntutku. Sekali-kali aku ingin sekali menuntutmu."
"Kau mau apa lagi?" tanyanya, terdengar kesal.
"Imbalan yang kita bicarakan waktu itu," kataku, mengungkit pembicaraan soal janjiku untuk mencari sasaeng grupnya sekaligus imbalan yang masih belum kuberi tahu. "Kita bermain fair saja."
"Kau mau memerasku?"
Aku mendecak. "Bisakah sekali saja berhenti berprasangka buruk? Aku tidak sejahat itu." Aku melipat tangan di depan dada. "Aku mau—"
"Hyung, ayo. Mobil sudah menunggu di depan." Seseorang bernama Namjoon melongokkan kepala dari pintu. Wajahnya menampakkan kebingungan saat melihatku.
"Duluan saja."
"Kau yakin?"
"Aku akan kembali bersama staf."
Namjoon menggaruk kepala. "Oke. Aku dan Hoseok akan menunggu di studio. Jangan lama-lama." Lelaki itu lantas lenyap di balik pintu dan berseru kepada yang lain di dalam restoran.
"Wah... kau rela pulang belakangan karena aku?" Telunjukku mengarah ke wajahku dan menyengir.
"Kau sudah tahu aku tidak ada waktu berbasa-basi. Aku sangat sibuk. Langsung saja pada intinya.
Perutku berbunyi. Aku menahannya. Padahal, aku sudah makan semangkuk ramen jam delapan tadi.
Aku mendengar desahan frustrasi Yoongi. Tampaknya ia tahu apa yang akan kukatakan sampai menampakkan wajah masam.
*
"Kau punya waktu sepuluh menit untuk makan." Yoongi mengangkat tangan memandang jam yang melingkari pergelangan tangannya.
"Perut dan kerongkonganku kecil. Aku tak bisa makan secepat itu. Kau pikir kita ada di militer?" Aku mulai melahap odeng yang masih mengepulkan asap.
Alih-alih restoran tempatnya makan bersama teman-temannya tadi, aku meminta ditraktir di warung tenda pinggir jalan. Berulang kali ia celingukan sekadar mengamati keadaan. Khawatir ada wartawan atau sasaeng.
"Kasihan sekali," kataku di sela kunyahan.
"Apa?" Mendengar suara pelanku tadi, ia bertanya.
"Kalian sungguh kasihan. Sampai tak bisa menikmati makanan dengan santai."
"Karena aku sedang duduk berdua denganmu."
"Memang apa masalahnya?" Bola mataku membulat.
"Aku tidak mau ada skandal."
Mendengar pernyataan itu, aku terbahak. "Skandal dengan mahasiswa asing? Mana ada yang percaya."
Ia mendesah panjang. "Kau tak akan paham dengan industri hiburan di sini."
"Aku paham. Tapi, orang bodoh mana sih yang membuat skandal mengada-ada?"
Ia memandangku cukup lama sampai membuatku merasa terganggu.
"Cepat katakan maumu," katanya mulai tak sabar. "Aku harus kembali ke studio dan menyelesaikan pekerjaan."
"Ckck. Sabar sedikit." Enak juga ya mengerjai idol. Baru kali ini aku merasa sangat terhibur.
"Kau sengaja mengerjaiku?"
Aku memandangnya. Wah.... ia cenayang?
"Sebentar! Aku hanya ingin makan dulu. Aku tidak akan memerasmu. Itu namanya bunuh diri."
Yoongi mengembuskan napas panjang. Ponselnya di atas meja bergetar. Mataku sempat menangkap nama di layarnya sebelum diangkat.
"Sebentar lagi aku kembali." Yoongi memandang ke meja lain di mana manajernya masih duduk menunggu kami. "Berisik. Aku tak akan mengangkat teleponmu kalau kau masih berisik." Ia mematikannya kemudian. Lalu, menatapku. "Kalau kau masih tidak mau bilang, aku pergi saja." Ia berdiri.
Buru-buru aku berdiri dan mencengkeram tangannya. Ia menatap tanganku. Aku menarik tangan dan menggumamkan maaf.
"Kau akan mengadukan soal ini ke teman-teman dan... manajermu?" Aku memandang pria yang masih mengawasi kami.
"Kenapa memangnya? Takut?"
Aku menengadah dan mencebikkan bibir memberikan wajah memelas. "Sebelumnya, boleh antar aku pulang dulu? Aku tidak punya uang."
"Kau benar-benar tak tahu malu." Ia mengeluarkan uang dari dompet dan meletakkannya di meja.
"Kau baru pertama kali bertemu warga +62 sih." Aku mengambil uang itu dan tersenyum malu-malu. "Terima kasih." Sebelum ia bergerak menjauh lagi, aku membuka mulut. "Anu—"
"Kenapa? Sudah menemukan imbalannya?" Ia mendecak kesal. Sepertinya, ia menuntutku untuk mengatakan imbalan itu bukan hanya karena tawaranku untuk mencari tahu sasaeng, melainkan menjaga rahasia soal demo lagu Spring Day yang ditolak.
"Beri aku pekerjaan lepas."
Ia menyatukan alis.
Aku benar-benar butuh uang nih. Daripada minta imbalan uang dan akan jadi bumerang (aku bisa saja dituduh memeras), lebih baik minta pekerjaan lepas.
Aku mengeluarkan kartu nama yang kubuat sendiri—selama di Indonesia, aku selalu memberikan kartu namaku untuk menawarkan jasa.
Yoongi menerima kartu itu dan tertawa. Sepertinya, ia menganggapku sebagai orang yang tak punya malu.
"Aku bisa melakukan apa saja. Menulis script, membuat konten, mengedit video, menggambar...."
"Bagaimana kalau asisten?"
Spontan, aku berhenti mengoceh. "Pardon?"
"Kau mau jadi asistenku?"
*****
Mau ga gengs? 🌚
Btw, aku lagi bimbang. Aku bingung mau nulis panggilan/sapaan tetep pake bahasa Korea yang diromanisasi atau terjemahan. Soalnya kalo diterjemahin kayak ilang esensinya. Misal Hyung, Eonni, Noona, Oppa kalo diterjemahin kan jadi "Kak", jadi esensinya hilang :")
Gimana menurut kalian? Tetep bahasa Korea yang diromanisasi atau terjemahan? Khusus panggilan nih
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro