4. Skripsi
Mata bulat Za berbinar ketika Alesha bercerita bahwa Farel sudah kembali dari Singapura. Kontras dengan Za, Elard malah manyun mendengar kabar itu.
"Mau apa dia pulang?" tanya Elard acuh tak acuh.
"Lah, emangnya salah kalau dia pulang ke negaranya sendiri?" tanya Za nggak habis pikir.
"Ya kan aneh aja. Udah tiga tahun nggak pernah pulang, giliran Alesha udah mau lulus dia pulang," sahut Elard lagi. Dia mulai kembali memproteksi anak gadisnya.
Za mendesah seraya menggeleng. "Kamu ini selalu saja suudzon sama Farel. Biarin aja sih. Farel kan udah nunggu Alesha lama. Kamu udah nolak lamaran dia dua kali loh, El. Alasannya juga macam-macam. Sekarang kamu cari alasan apa lagi kalau dia balik melamar?" tanya Za menaikkan kedua alisnya menatap suami over protektif-nya itu.
"Nanti aku pikirkan." Elard kembali menekuri piringnya. Tidak peduli pelototan dua wanita di dekatnya itu. Namun, sejurus kemudian dia kembali mengangkat wajah dan langsung mendapati tatapan membunuh dua wanita yang dia sayangi. Elard mengerjap salah tingkah. "Ada apa? Kenapa kalian liatin Baba begitu?"
"Awas aja ya, El. Kalau kali ini Farel nglamar lagi, tapi kamu tolak," delik Za.
Elard mengerutkan bibir. Dia lantas melirik anaknya, Alesha yang duduk di sebelah kanannya. "Memang kalau Farel lamar kamu, kamu mau terima, Sha?" tanya Elard dengan raut setengah hati.
Alesha menggapai gelasnya sebelum menjawab pertanyaan Babanya. Dia teguk isinya sedikit.
"Shasa terima, Ba. Kami udah lama pacaran. Ngapain lagi juga kan?" jawab Alesha, sedikit menggoda. Dan itu berhasil membuat Elard gusar.
"Kamu serius? Kamu kan masih skripsian."
"Om Farel bilang dia bakal bantu aku agar bisa cepet selesai skripsinya."
"Itu namanya curang. Kamu harus bisa ngerjain skripsi kamu sendiri."
"Curang sebelah mana, Ba? Kan cuma bantu bukan suruh ngerjain. Anggap aja dia pembimbing skripsi aku." Alesha menusuk potongan buah apel di piringnya.
"Udahlah, El. Kamu jangan coba menghalangi kebersamaan mereka," timpal Za menyudahi sarapan paginya. Tatapnya beralih kepada Alesha. "Jadi, kapan Farel mau main ke sini?"
"Kayaknya hari ini, tapi nggak tau sih, Nda. Semalam itu dia mau mampir nggak enak karena udah kemalaman." Alesha meraih tisu dan mengelap bibirnya yang basah.
"Gimana rasanya setelah tiga tahun nggak ketemu?" tanya Za kepo sembari menaik-turunkan alisnya.
Seketika Alesha mengingat kembali kejadian tadi malam di apartemen. Kepalanya sontak menggeleng. "Biasa aja kok, Nda," sahut Alesha cepat. Dia segera mendorong piringnya ke tengah lalu beranjak berdiri. Keluar dari celah antara meja dan kursi. "Aku pamit dulu, Baba, Bunda. Pagi ini ada janji sama dosbim." Dia bergegas mencium tangan kedua orang tuanya sebelum melesat meninggalkan ruang makan. Alesha tidak akan membiarkan Bundanya bertanya lebih lagi.
Saat hendak memesan ojek online, ponselnya lebih dulu bergetar dan layarnya menampilkan nama Farel. Senyum simpulnya terbit, dia menerima panggilan itu sembari melangkah keluar gerbang rumah.
"Alesha, hari ini kamu ke kampus?" tanya Farel di ujung telepon sana.
"Iya, ini baru keluar rumah." Alesha celingukan, biasanya dia akan menemukan ojeknya Bibi di area sekitar rumahnya.
"Naik ojek lagi?"
"Iya. Baba kan lebih rela anaknya naik ojek timbang bawa mobil sendiri."
"Kenapa nggak bareng Baba kamu aja?"
"Males ah." Alesha terus melangkah, berharap ada abang tukang ojek langganan Bibinya muncul.
Terdengar helaan napas di ujung telepon. "Nanti siang aku jemput."
"Tapi aku mau bimbingan, takutnya lama."
"Enggak apa-apa. Aku tungguin."
Terpaksa Alesha menaiki ojek online lantaran ojek langganan bibinya tidak muncul. Setelah panggilan dari Farel berakhir dia bergegas menuju kampus. Target kali ini, acc bab satu. Ini menyebalkan ketika yang lain sudah mulai menggarap bab dua dan tiga. Untuk bab satu pun dia masih bolak-balik revisi.
Dua hari lalu, Pak Gilang banyak memberi coretan dengan tinta merah di kertas bab satunya. Dosen itu bilang latar belakang yang dia buat terlalu melebar dan belum spesifik. Sejak tahu dosen pembimbingnya itu Pak Gilang, Alesha sudah menduga ini tidak akan mudah. Meski masih muda dan ganteng—kata teman-temannya—tetapi dosen mata kuliah hukum internasional itu terkenal sadis. Buktinya perkara bab pendahuluan saja bikin kepala Alesha kemebul. Padahal yang lain sepertinya lancar-lancar saja.
***
"Lanjut ke bab dua."
Satu kalimat yang bikin Alesha mengucapkan beribu syukur. Meskipun diucapkan dengan wajah yang teramat lempeng, Alesha tak peduli. Yang terpenting baginya dia bisa lanjut ke bab berikutnya seperti temannya yang lain. Targetnya bulan ini harus bisa sidang proposal.
"Terima kasih, Pak," ucapnya dengan senyum selebar mungkin.
"Tiga hari lagi kamu bisa datang dengan bab dua kamu."
Senyum lebar yang tadi merekah mendadak surut. Tiga hari woy! Pak Gilang benar-benar suka mengajak bercanda.
"Apa itu nggak terlalu cepat, Pak?" tanya Alesha seraya menggaruk pelipisnya.
Pak Gilang yang sudah berhadapan dengan pekerjaan barunya setelah melempar kalimat yang bikin Alesha bahagia itu mendongak.
"Makin cepat bukannya makin baik? Memang kamu nggak mau mengejar teman-teman kamu?"
Kalau sudah begini artinya dosen bermuka datar itu tidak mau dibantah. Alesha pasrah saja. "Baik, Pak."
Tidak ingin berbasa-basi lagi, Alesha pun pamit undur diri. Dia bergerak dan berbalik menuju pintu. Namun belum sempat mengangkat tangan guna membuka pintu, Pak Gilang memanggilnya.
"Kamu belum sarapan?"
Dahi Alesha mengernyit mendengar pertanyaan itu. Tidak biasanya Pak Gilang bertanya hal remeh temeh itu kepada mahasiswa. Selain bermuka lempeng, dia juga terkenal irit bicara. Paduan yang pas sih menurut Alesha.
"Muka kamu sedikit pucat," lanjut pria itu menatap Alesha.
Secara otomatis Alesha meraba pipinya. "Ma-masa sih, Pak? Saya sudah sarapan kok."
Pak Gilang mengangguk, tatapannya kembali kepada dokumen di atas mejanya lalu entah menulis apa di sana. "Tidak usah terlalu dipikirkan. Selama kamu mengerjakan sesuai sistematika fakultas, semua akan baik-baik saja," ucap Pak Gilang tanpa sembari memekuri pekerjaannya.
Alesha dibuat melongo. Tumben sekali Pak Gilang memberinya petuah yang sedikit adem. Apa dia salah minum obat? Untuk beberapa saat Alesha terbengong. Namun, saat tatapnya kembali bertemu dengan tatap Pak Gilang, dia meringis.
"I-iya, Pak. Siap. Kalau gitu saya permisi." Alesha membungkuk sekilas sebelum benar-benar beranjak dari ruangan Pak Gilang.
Di luar Iren, temannya yang juga mendapat satu dosen pembimbingnya sama dengan Alesha menyambut.
"Gimana, Sha? Berhasil?" tanya cewek berponi itu begitu melihat wajah cantik Alesha nongol.
Alesha mengulum senyum lantas merentangkan tangan. Itu sudah cukup menjadi jawaban. Dan dengan segera Iren menghambur ke pelukan Alesha.
"Wuih! Selamat ya, Sha! Semoga kita bisa maju sidang proposal bersama," ucap Iren penuh semangat.
"Tapi ...."
Mendengar kata tapi, Iren sontak menjauh. "Tapi apa?"
"Masa Pak Gilang minta gue buat nyerahin bab duanya tiga hari lagi," ujar Alesha mencebik kecewa.
"Bab dua kan berisi tinjauan teoritis. Gue yakin lo bisa meski cuma tiga hari. Jangan mau kalah sama Jojo. Dia bisa loh dua hari selesai satu bab."
"Muka gila, jangan samain gue sama dialah. Otak gue kan pas-pasan."
Iren menepuk jidatnya sendiri. "Gue tau teori cewek cantik belum tentu otaknya berisi, tapi nggak nyangka teori itu beneran ada di kehidupan nyata."
"Sialan!" umpat Alesha lantas keduanya tertawa.
"Kita nge-es dulu aja gimana? Biar kepala lo adem," ajak Iren merangkul bahu Alesha.
"Boleh deh."
Keduanya ketawa-ketiwi sembari meninggalkan lorong ruangan para dosen. Alesha tidak tahu saja, bahwa sedari tadi dari balik pintu Pak Gilang mengawasinya.
Farel kayaknya bakal dapat saingan lagi, Gaes.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro