11. Permohonan
Semoga nggak ada yang ngamuk setelah baca bab ini. Hihi. Happy reading Gaes. Jangan lupa tap love.
Mount Elizabeth Hospital
"Nikahin Angel, Rel. Aku mohon."
Farel mengangkat wajah kaget. Matanya yang memerah melebar mendengar perkataan itu. Dia tahu semua orang di sini mengharapkan keajaiban, tapi ucapan Alen tadi benar-benar tidak masuk akal.
"Sori, aku cuma mau ngabulin impian dia yang terakhir sebelum dia pergi," lanjut Alen putus asa.
Farel yang sekarang masih duduk di ruang tunggu tertawa tanpa suara. "Dan kamu pikir aku mau melakukannya atas perintah kamu?"
"Rel, aku yakin umur Angel enggak akan lama lagi. Seenggaknya aku ingin melihatnya bahagia sebelum Tuhan memanggilnya. Dan aku tau dia cinta banget sama kamu. Impiannya bisa menikahi kamu selain membesarkan nama perusahaan yang kalian buat bersama." Alen mengucapkan itu dengan pandangan menunduk.
"Omong kosong."
Jelas saja Farel tidak terima. Wanita itu sudah pergi tanpa peduli dengan kondisi adiknya selama ini, dan dia tiba-tiba datang mau menjadi superhero dengan menyuruh Farel menikahi adiknya? Hebat sekali dia.
Farel berdiri dan menunjuk Alen. "Dengar ya, Angel akan sembuh tanpa aku harus nikahin dia," ucapnya lalu beranjak melangkah, meninggalkan koridor.
"Tapi Angel bilang sendiri tadi. Dia ingin menikah dengan kamu, Rel. Apa salahnya sih kamu kabulin permintaan terakhir dia?" seru Alen, kali ini air matanya merembes.
Farel yang tadinya ingin meninggalkan wanita itu berhenti berjalan. Dia mendengar isak tangis dari wanita itu.
"Aku memang bukan kakak yang baik. Aku hanya ingin membuatnya bahagia di hari-hari terakhirnya. Selama ini aku terlalu banyak salah padanya."
Farel menarik napas panjang dan lalu menengadahkan kepala. Drama apa lagi ini? Farel jelas tidak akan mengikuti perkataan Alen yang tidak masuk akal. Menikahi Angel? Yang benar saja!
"Kondisi Angel makin lemah. Aku nggak kuat melihatnya kayak gitu. Jadi, aku mohon. Hanya sebentar kamu akan menjadi suaminya." Alen terus memohon. Tangisnya membuat dandanannya berantakan. Namun itu sama sekali tidak membuat Farel iba. Dia sangat tahu Alen itu seperti apa.
"Angel akan sembuh, dia akan hidup lebih lama. Jangan bicara seolah-olah dia bakal mati besok," ujar Farel geram.
"Tapi dokter bilang—"
Farel dengan cepat mengangkat tangan. Menyuruh wanita itu berhenti bicara. Lalu dengan menahan emosi dia meninggalkan koridor ruang tempat Angel dirawat. Tanpa peduli dengan isakan Alen yang makin menjadi.
"Jika itu benar permintaan Angel yang terakhir gimana?" tanya Fahmi ketika Farel menceritakan tentang kejadian di rumah sakit siang ini. Tentang keinginan konyol Alen.
"Fah, Angel akan hidup. Kenapa kalian berpikir negatif seperti itu terus sih?" ternyata Fahmi tidak lebih menjengkelkan dari Alen.
Fahmi mendesah, dia menyentuh apa pun untuk menghalau sedih yang menyeruak di dadanya setiap kali mengingat Angel.
"Apa kamu nggak liat kondisinya? Makin hari makin memburuk. Kemarin dia membaik berkat kamu. Tapi sekarang dia drop lagi. Bahkan dokter menyuruh kita ikhlas. Bagaimana mungkin dalam kondisi kayak gini kita bisa berpikir positif?" Fahmi mengucapkan itu dengan intonasi yang dia buat setenang mungkin.
Seandainya yang Angel cintai itu dirinya, Fahmi tidak akan berpikir dua kali untuk segera menikahi perempuan yang tidak berdaya itu. Namun, dia juga mencoba memahami kondisi Farel yang sekarang berstatus tunangan orang.
Farel kembali menarik napas berat. Dia tidak berniat membalas ucapan Fahmi. Punggungnya bergerak mundur. Dia menyandar di sandaran sofa yang dia duduki. Tangannya merogoh saku celana mencari benda yang selama kembali ke Singapura jarang dia aktifkan.
Seperti dugaannya. Ada banyak notif masuk begitu dia mengaktifkan kembali ponselnya. Paling banyak notif yang berasal dari Alesha. Gadis itu pasti bertanya-tanya, karena dia belum juga menghubunginya. Pekerjaannya cukup hectic karena satu pondasi mereka sekarang tak berdaya di rumah sakit. Farel terpaksa memundurkan rencananya melepas Smart Edu dan mengambil alih semua pekerjaan Angel.
Dia tahu Alesha pasti menunggu. Apa lagi dia hanya pamit kepada Alesha lewat telepon. Satu notif email muncul dari Nevan. Alis Farel naik sebelah, Nevan tak pernah-pernah mengiriminya email. Jari Farel menekan pelan kotak surat yang langsung muncul begitu aplikasi dengan ikon surat terbuka. Badan surel kosong, bahkan subjek ditulis asal-asalan, namun ada lampiran tersemat. Mau tak mau Farel mengunduh file yang Nevan kirim.
Setelah terbuka, ekspresi wajah Farel sontak berubah. Kedua alisnya menyatu, matanya menyipit, sementara bibirnya melipat. Dia melihat foto Alesha dengan seorang pria. Mereka tampak hendak memasuki mobil. Si pria berpose membantu Alesha membuka pintu mobil.
Serta-merta Farel membuang napas. Dia sangat sadar Alesha itu istimewa. Jika banyak yang suka dia tidak heran. Namun, ketika ada yang mendekati dan Alesha membiarkan, jelas Farel tak suka.
"Kenapa?" tanya Fahmi dengan wajah heran melihat ekspresi Farel.
Farel mengangkat wajah sebentar lalu menggeleng. "Aku ingin melepas Smart Edu."
Ucapan Farel, membuat Fahmi terpaksa menatap sekali lagi lelaki itu. "Apa? Aku nggak salah dengar?"
"Nggak. Sudah lama aku berencana menjual sahamku di Smart Edu."
"Gila kamu. Aku nggak setuju," tolak Fahmi. "Rel, kok bisa-bisanya kamu berpikir melepas Smart Edu. Perjuangan kita buat membesarkan Smart Edu nggak mudah."
"Aku tau."
"Lantas? what's on your mind?" Fahmi menatap heran sahabatnya itu.
"Cepat atau lambat aku akan melepas Smart Edu, karena papa sudah memintaku menerima estafet usahanya."
Fahmi berdecak. "Apa enaknya menjadi ekor orang tua sih?"
"Dan kalau aku terus memegang Smart Edu, aku tidak akan bisa menetap di Indonesia."
"Jadi, kamu mau relain karir kamu demi Alesha?"
"Bukan hanya Alesha, tapi orang tua juga. Aku ingin dekat dengan mereka."
Sekarang giliran Fahmi yang mendesah. "Kalau enggak ada kamu, gimana nasib Smart Edu?"
"Smart Edu akan tetap menjadi perusahaan startup nomer satu. Aku yakin kamu bisa mengembangkannya hingga ke Asia." Farel menutup ponsel dan baru saja hendak beranjak, Fahmi menerima telepon dari rumah sakit dan mendapat kabar jika Angel makin kritis.
Alen sedang menangis tersedu ketika mereka sampai di ruang rawat inap rumah sakit. Wajah sembabnya terangkat begitu melihat Farel, dan dia tidak tahan untuk tidak memeluk lelaki itu.
"Please, Rel. Aku mohon," isaknya penuh harap.
Farel membeku, tatapannya lurus menembus kaca transparan yang memperlihatkan kondisi Angel di dalam ruangan serb putih itu. Wanita itu masih berbaring tidak berdaya. Wajahnya pias dan makin tirus. Farel benar-benar tidak pernah menyangka jika Angel akan ada di masa seperti ini. Angel yang dia kenal begitu energik dan ceria. Farel tidak tega melihatnya di ruang pesakitan dengan kondisi makin memprihatinkan. Bahkan kedua matanya tidak tahan untuk tidak meneteskan air mata.
Dia menghela napas panjang seraya memejamkan mata, lalu dengan pelan kepalanya mengangguk. Dia menyanggupi permohonan Alen untuk menikahi Angel.
Publish, 28 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro