7. SukiGaHana
CATATAN SEORANG PENULIS BAHAGIA
Saya tidak tahu apakah kisah saya dalam dunia literasi ini cukup menarik untuk dibagikan pada orang lain. Namun, saya yakin jika sekecil apa pun sebuah pengalaman, baik maupun buruk, tetap bisa menjadi sebuah motivasi dan dorongan bagi orang lain untuk maju dan terus berkembang.
Saya suka membaca sejak kecil. Komik, buku, novel, koran, majalah. Saya hanya tidak bisa diam dan mengabaikan setiap rangkaian kata yang ada di sekitar saya, bahkan meski itu hanya sebuah potongan kecil kertas koran. Namun, buku favorit saya adalah buku cerita bergambar. Kebiasaan ini diturunkan dari ayah saya. Beliau bahkan kerap membelikan saya banyak buku bacaan dibandingkan mainan. Sehingga julukan Kutu Buku sudah saya dapatkan sejak saya SD. Sayangnya, banyak teman sepermainan yang justru mengucilkan saya karena hal tersebut. Jadilah saya lebih suka berdiam di rumah sembari membaca dibandingkan bermain dengan teman-teman seumuran.
Hobi membaca saya meningkat sewaktu memasuki usia SMP. Setiap hari, saya selalu memakai uang saku untuk menyewa komik. Bahkan, dalam satu hari saya bisa menyewa hingga beberapa kali. Namun, saya masih belum begitu suka dengan novel. Dulu, mata saya serasa berat hanya dengan melihat tebalnya. Membayangkan membaca buku setebal itu tanpa gambar sudah terasa melelahkan. Apalagi dulu belum banyak novel dengan genre yang sesuai untuk remaja seusia saya.
Keengganan saya mengenal novel hilang saat kelas 3 SMP. Saat FTV mulai menguasai tayangan di TV. Saya suka greget dengan endingnya yang seringkali tak sesuai harapan. Sebagai catatan, FTV waktu itu menurut saya lebih berkualitas karena ceritanya tidak asal-asalan. Judul-judulnya pun tidak nyeleneh. Iseng, saya mencoba menulis sendiri sebuah cerita dengan ending yang saya inginkan. Hanya berupa sebuah cerpen. Terpengaruhi juga oleh tabloid remaja yang cerpennya sering saya baca saat ke perpustakaan sekolah. Saat itu, saya senang sekali karena bisa menyelesaikan sebuah cerita. Tidak peduli meski EBI berantakan dan kata-kata yang digunakan masih semau saya.
Kelas satu SMA, saat membuat sebuah cerpen yang saya sadur dari sinopsis sebuah komik serial cantik. Saya ingin sekali memiliki komik tersebut, tetapi apa daya ongkos tak mampu. Pada masa itu, kondisi keuangan keluarga saya memang sedang buruk. Sebuah komik atau novel menjadi barang mahal yang harus saya pertimbangkan puluhan kali untuk dibeli. Namun, kondisi itu justru membuat saya semakin giat menulis. Menciptakan banyak kisah yang ingin saya baca tetapi tak dapat saya miliki. Cerpen-cerpen yang saya tulis di buku tulis tersebut beredar di kalangan teman-teman dan memiliki cukup banyak pembaca setia. Saya sangat bersemangat waktu itu, hingga ada yang mengusulkan agar saya mengirimkannya ke majalah.
Sebuah mimpi baru pun tercipta. Saya ingin karya dan nama saya suatu saat tercetak di majalah. Menjadi kebanggaan orangtua dan teman-teman. Serta bisa sedikit meringankan beban keuangan keluarga. Namun, lagi-lagi nyali saya ciut saat melihat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Saya tidak punya komputer untuk mengetik. Warnet saat itu masih menjadi tempat yang mahal untuk saya. Apalagi rekening untuk menerima upah jika cerita saya diterima. Sesuatu yang mustahil saya miliki. Sungguh, waktu itu saya merasa sangat down. Merasa keadaan sangat tidak adil pada saya. Kondisi itumembuat saya sempat berhenti menulis dan memutuskan untuk bekerja begitu lulus sekolah.
Setelah bekerja, saya justru kehilangan semangat untuk menulis. Cerita-cerita saya terbengkalai. Dan, butuh waktu yang sangat lama hanya untuk menyelesaikan satu cerita. Hingga salah seorang teman kerja membawa novel LONDON karya Windry Ramadhina. Entah kenapa melihat buku tersebut membuat saya merasa termotivasi kembali. Terlebih setelah membaca isinya. Saya pun mulai aktif mencari hal-hal tentang kepenulisan. Memanfaatkan media sosial yang mempermudah saya mencari informasi maupun teman-teman dengan minat yang sama. Saya juga mulai berani mengirimkan naskah ke penerbit mayor, meskipun selalu ditolak. Juga mengikuti event-event yang diadakan beberapa penerbit indie. Alhamdulillah, rasa percaya diri saya semakin tumbuh karena setiap cerita yang saya ikutkan selalu berhasil lolos. Hingga akhirnya saya mengenal wattpad di tahun 2016.
Awal mula masuk dunia wattpad, saya hanya menjadi pembaca. Mengamati dan mencari tahu berbagai macam gaya kepenulisan. Saya masih belum berani mempublish sebuah cerita dengan berbagai pertimbangan. Belum punya follower, teknik kepenulisan yang masih amburadul, hingga minder dengan cerita buatan saya sendiri. Untung-untungan, saya akhirnya memberanikan diri menulis cerita pertama saya berjudul Spring in Our Hearts. Cerita remaja yang saya masih tidak yakin bisa memikat hati pembaca. Saya juga mencoba untuk promosi dan mencari follower. Meski saat itu masih awam, saya bersyukur belum pernah promosi di kolom komentar cerita orang lain. Karena belakangan saya tahu kalau itu sangat tidak disukai oleh para penghuni wattpad. Saya juga tidak berani mengikuti grup-grup kepenulisan karena takut tidak bisa konsisten. Saya juga tipe orang yang sulit beradaptasi dengan sekumpulan orang banyak. Saya lebih sering diam jika berada dalam situasi tersebut.
Cerita saya saat itu benar-benar sepi pengunjung. Satu vote saja sudah bisa membuat perasaan saya bahagia. Terlebih jika ada yang berkomentar. Namun, saya justru mengalami writer block saat cerita tersebut mencapai viewer sekitar 900an. Saya akhirnya hiatus dan hanya berkeliaran di wattpad sebagai pembaca. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah grup yang cukup berjasa buat saya. Grup tersebut bukan grup kepenulisan seperti kebanyakan. Tidak mengedepankan diskusi teknik kepenulisan. Setiap anggota hanya memiliki jadwal untuk berkunjung ke cerita grup lain sesuai jadwal. Sistem tersebut membantu cerita saya memiliki peningkatan viewer cukup banyak. Bahkan, saya masih berkomunikasi dengan teman-teman dari grup tersebut meski grup bersangkutan sudah tidak aktif. Oh, ya, cerita yang saya ikutkan waktu itu adalah cerita baru. Bersetting Korea Selatan dengan judul My Blackberry.
My Blackberry menjadi cerita pertama sekaligus satu-satunya yang berani saya ikutkan banyak event di wattpad. Selain karena jadwal publish yang konsisten seminggu sekali, saya merasa cerita tersebut juga memiliki peluang lebih besar untuk disukai. Meski pencapaian saya dengan cerita tersebut belum bisa dikatakan tinggi, saya percaya jika ketekunan akan membuahkan hasil. Kenapa saya bilang begitu? Karena dibandingkan promosi gila-gilaan, saya memilih lebih fokus untuk menyelesaikan cerita dengan baik. Tidak menghalalkan segala cara. Menjadikannya sebuah tanggung jawab yang harus dipenuhi. Karena menjadi penulis juga berarti memikul tanggung jawab lebih pada pembaca.
Pencapaian terbesar saya di wattpad adalah menjadi finalis dari Belia Writing Marathon Batch 2. Bergabung bersama orang-orang yang memiliki lebih banyak pengalaman di sana membuat saya minder. Apalah saya? Follower tak mencapai 300 orang dan belum pernah menerbitkan satu buku pun. Satu-satunya hal yang saya miliki di sana sebagai finalis adalah keberuntungan. Namun, saya sadar jika itu pun membutuhkan ketekunan dan tekad. Dan, saya terus berusaha menjalankannya sampai sekarang. Terbukti dengan penikmat cerita saya yang bertambah. Meskipun tak seberapa, di sanalah nilai perjuangan kita dapat terlihat. Menulis sesuatu yang tetap dalam batas normal, tak mengikuti trend dan menjadi penggiat literasi tanpa perlu mencipta sensasi.
Ada satu teman saya yang mengenal dunia wattpad pada masa yang sama dengan saya. Dari dia, saya belajar untuk tidak menyerah dalam menulis. Tidak peduli dengan jumlah viewer atau votes. Menganggap bahwa tujuan utama saya menulis adalah kepuasan diri. Terkenal, dapat banyak teman atau bahkan memiliki penghasilan dari penulis adalah bonus. Dan, saya akui, prinsip itu membuat saya lebih nyaman dan semakin mencintai menulis.
Dulu, saat keadaan membuat saya tak bisa menggapai mimpi menjadi penulis, saya berpikir untuk berhenti dan menyalahkan keadaan. Namun, sekarang saya justru mensyukuri keadaan. Karena sesuatu yang instan seringkali tak baik dan tak bisa bertahan lama. Allah SWT memberi saya jalan yang tepat meski tak mulus. Karena menjadi penulis bukan hanya sekadar menginspirasi atau membuat orang lain senang dengan kisah yang kita sajikan. Namun, juga upaya membahagiakan diri sendiri.
Munafik jika saya tak ingin menjadi penulis terkenal. Namun, jauh di atas semua keinginan, saya hanya berharap bahagia dengan cara yang sederhana. Dan, menulis adalah cara sederhana itu.
Saya mungkin bukan penulis terkenal. Bukan penulis dengan banyak karya. Bahkan belum memiliki karya yang sudah terbit. Namun, saya adalah penulis yang percaya jika usaha dan doa tidak pernah membohongi hasil. Jika bukan saat ini, maka nanti, di waktu yang lebih tepat menurut Allah SWT.
Amiin.
***
By: SukiGaHana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro