Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. carol_gh04

Perjalanan Mimpi

Saat kecil, kita pasti diperhadapkan dengan pertanyaan membosankan seperti, "Apa cita-citamu saat sudah dewasa?"

Jujur, sampai aku duduk di bangku kelas 6 SD, aku masih belum tahu pasti cita-cita dan mimpiku. Saat ada guru yang melontarkan pertanyaan itu, aku selalu menjawab, "Jadi dokter, Bu."

Namun, nyatanya, aku tidak benar-benar tertarik untuk menjadi dokter. Aku tidak suka membaca, sedangkan dokter harus membaca buku yang sangat tebal. Aku tidak tertarik dengan ilmu sains, sedangkan dokter bekerja atas dasar ilmu itu.

Tapi, saat itu aku masa bodoh dengan 'cita-cita'. Aku masih tidak mau memikirkan cita-cita itu di usiaku yang--saat itu--di bawah 10 tahun. Aku tidak peduli. Yang ada di pikiranku hanya belajar untuk mencapai ranking 1 di sekolah.

Tidak ada yang lebih penting dari itu.

Karena begitulah aku dididik.

Ternyata, hidup membawaku pada beberapa kejadian seru, yang aku sendiri tak menduga akan terjadi itu. Aku kehilangan sahabat baikku sejak TK. Dia tidak pergi kemana-mana. Dia hanya pergi dariku, meninggalkanku, dan berpaling pada orang lain. Dia mengkhianatiku.

Dari situ, aku mulai suka menulis diary yang isinya curhatan tentang dia. Tentang aku yang merindukannya, tentang bagaimana jahatnya ia meninggalkanku, dan tengang kebencianku padanya dan sahabat barunya.

Kemudian, aku mulai mengenal tentang perasaan suka pada lawan jenis.

Dari situ, aku tambah suka menulis. Aku menulis banyak tentang cowok yang kusuka saat itu, kemudian tentang sahabat-sahabat baruku, dan rasa kesalku saat melihat cowok yang kusuka dekat dengan gadis lain.

Aku nyaman menulis. Dan saat itu, pernah terpikir dakam benakku untuk menyeriusi hobi ini. Namun saat aku berbincang dengan Papa, Papa berkata, "Jadi penulis itu susah. Kamu harus banyak menang lomba baru bisa menerbitkan buku." Ucapan Papa membuatku down. Karena itu, aku mengubur cita-citaku untuk menjadi penulis, dan fokus bersekolah.

Tahun-tahun berikutnya terlewati. Semakin hari, aku dikenalkan pada realita kehidupan. Pada manis-pahitnya persahabatan, pada kejutan-kejutan dunia yang tak terduga, juga pada orang-orang yang (seringkali) melukai hanya dengan mulut.

Apa yang awalnya kulakukan saat mendapat semua itu?

Menangis. Ini pasti. Siapa yang tak sakit dikatai dengan ucapan pedas dan hinaan?

Dan, satu lagi, yang--menurutku sekatang--sangat memalukan;

Update status di social media.

Sampai, waktu itu, teman Mama pernah mengirim pesan pada Mama, menanyakan ada masalah apa yang terjadi setelah membaca statusku. Sungguh memalukan.

Waktu terus berjalan. Dan aku bersyukur, saat aku naik ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), pikiranku mulai tumbuh dewasa. Aku tidak lagi suka membagikan rasa sedihku di depan publik dan aku bisa mengatasi berbagai masalahku dengan baik--tanpa harus meminta saran orang lain.

Tapi, satu yang kusayangkan.

Aku berhenti menulis.

Masih kuingat betul. Awal masuk SMP, aku tidak lagi mengetik cerita pendek di laptop seperti yang biasa kulakukan saat SD. Aku juga tidak lagi menulis diary.

Sampai sebuah kejadian (lagi-lagi) mengubahku.

Waktu itu, guru bahasa Indonesia memberi tugas untuk membaca satu novel untuk mengupas unsur intrinsiknya. Mulai dari tema, alur, latar, amanat, dan yang lainnya. Saat itu, aku mendengar beberapa temanku--yang hobi membaca novel--bersorak senang. Mereka kemudian heboh menceritakan berbagai cerita dari novel yang mereka baca. Aku yang saat itu masih labil akan hobi, mulai tertarik dengan novel.

Karena tidak kebagian buku di perpustakaan sekolah, aku meminta Papa membeli novel. Aku membacanya, dan mulai suka membaca novel. Berhari-hari setelah itu, aku menemukan salah seorang temanku meng-upload foto novel milik Ilana Tan, sekaligus memberi review singkat. Aku yang saat itu sedang suka-sukanya dengan novel, meminta mama untuk membelikan novel karya Ilana Tan itu.

Dan, ya ...

Aku jatuh cinta penuh pada ceritanya, pada alur yang tak dapat kutebak, pada diksi yang menyentuh hati. Semuanya. Sampai, aku berpikir, Kenapa aku tidak menciptakan karya yang dapat dinikmati oleh semua orang?

Lalu aku mengenal aplikasi wattpad. Sebenarnya alasan aku mengunduh aplikasi ini hanya untuk belajar vocab dari bacaan-bacaan Inggris, karena dulu aku hanya tahu kalau wattpad hanya menyediakan bacaan berbahasa Inggris.

Namun entah ada angin apa, suatu hari jariku gatel buat lihat-lihat setting di wattpad. Di situ aku baru tahu ada pengaturan bahasa dan bisa diubah ke bahasa Indonesia. Langsung saja kuubah ke bahasa Indonesia. Aku melihat banyak cerita menarik dengan readers yang sudah beribu-ribu terpajang di wall pertama. Melihat itu, aku iri. Dalam hati aku bertanya lagi pada diriku, Kenapa nggak coba nulis?

Bisa dibilang, itu awal mula dari niat untuk benar-benar menyeriusi hobi ini. Aku mulai mempublikasikan karya, yang berjudul, Spring With You. Sudah ku-unpublih mengingat betapa hancurnya tulisan itu. Dialog tag hancur, bahasa yang tak sesuai EBI, dan masih banyak lagi.

Dan aku bersyukur banget saat sedang nyari profile yang nerima feedback-an, aku ketemu satu akun yang menulis di description box-nya, 'member of @jkcommunity'.

Iseng-iseng, aku pencet akun yang dia mention. JK ternyata adalah grub kepenulisan yang berbasis online. Aku sedang hogi waktu itu, JK sedang opem member, langsung saja ku-add line-nya dan mengikuti beberapa syarat untuk dapat bergabung di dalamnya. Aku belajar banyak materi kepenulisan di sini. Mulai mengerti apa itu dialog tag, mulai mengerti apa itu EYD (sebelumnya nggak pernah peduli soal ini kalo nulis), dan banyak lagi. Aku juga bertemu banyak teman seperjuangan dengan hobi yang sama ...

... dan mimpi yang sama.

Ini awal aku berbicara mimpi di luar ranking satu di sekolah.

Aku ingin menerbitkan buku yang berguna bagi masyarakat, yang bisa menginspirasi. Itu mimpiku.

Perjalanan meraih mimpi tak pernah mulus, bukan?

Sama seperti orang-orang pada umumnya, aku merasa down saat readers-ku sepi. Apalagi, dulu, aku pernah meminta orang untuk me-review karyaku. Dan ternyata orang itu nggak lanjut baca karena bosen. Belum lagi, dulu ada satu akun yang nggak aku kenal berkomentar jelek di salah satu ceritaku--yang sudah ku-unpublish karena alurnya memang berantakan.

Di situ aku bener-bener ngerasa jatuh banget. Rasasanya males buat ngelanjutin nulis. Belum lagi, ada beberapa orang terdekat, yang benar-benar aku butuh dukungannya, malah tidak mendukungku. Membuat aku nggak punya semangat buat lanjut nulis. Bahkan sempat terpikir untuk aku mundur dari mimpi ini. Nggak nulis lagi, melanjutkan rutinitas biasa sebagai siswa di sekolah.

Tapi, aku kembali berpikir ...

Kalau aku mundur, kalau aku nggak nulis lagi , lantas, apa manfaat dari semua mimpi yang telah kubangun? Hanya untuk kenangan kalau dulu aku ingin jadi penulis?

Sia-sia.

Ini baru awal saja aku sudah nggak kuat, gimana nanti?

Jadi aku memutuskan bangkit. Sedih itu boleh, tapi jangan dipertahankan. Banyak penulis di luar sana yang mengawali kesuksesan mereka dengan penolakan dan kegagalan. Itu menjadi panutanku. Aku tetap terus menulis untuk meraih mimpi dan cita-citaku, mengikuti beberapa lomba menulis cerpen untuk mengasah bakat menulisku.

Aku jadi ingat lomba cerpen yang kuikuti beberapa bulan lalu. Aku dan dua temanku, yang dikenal suka menulis, diutus sekolah untuk lomba. Tentu saja sebagai teman, kami saling mendukung satu sama lain. Tapi di sini, kami juga musuh. Kami bersaing untuk mendapatkan juara.

Lomba itu diselenggarakan dengan cara langsung mengetik di tempat, tanpa boleh membawa flashdisk atau semacamnya. Jadi peserta harus mempersiapkan diri di rumah. Sebelum hari H, aku mencoba menulis dan memberinya pada guru bahasa Indonesiaku. Dia bilang dia suka ceritaku, menarik dan membuat orang penasaran. Dengan pujian itu pun aku semangat untuk mengikuti lomba itu.

Saat lomba selesai, waktunya pengumuman juara. Dari (kurang lebih) 150 peserta, diambil 30 nominator dan 3 juara umum. Tiga puluh nominator itu dibagi menjadi 10 kategori bahasa, 10 kategori isi, dan 10 kategori organisasi.

Saat diumumkan juara umum, ternyata namaku dan kedua temanku tidak disebutkan. Jujur, aku merasa kecewa. Sangat kecewa. Karena aku sudah berdoa, aku sudah memikirkan ide dari rumah dan mencoba mengetik di rumah. Tapi masih belum berhasil juga.

Namun Tuhan memberi aku kejutan.

Saat diumumkan 10 nominator kategori bahasa, namaku ikut disebutkan pada urutan ke delapan. Aku benar-benar merasa senang. Kedua temanku juga senang atas keberhasilanku, walaupun mereka tidak meraih juara apa-apa.

Dari sini, aku tahu perjuanganku baru awal. Aku akan terus menulis, terus berjuang untuk bisa meraih mimpiku. Berdoa dan berusaha. Aku yakin, hasil tak pernah mengkhianati usaha. Dan yang penting diingat saat sudah berada di pundak adalah ...

Jangan besar kepala, jangan tinggi hati, jangan merasa kamu bisa segalanya.

Sekali kau merasa begitu, Tuhan tak 'kan segan-segan untuk menjatuhkanmu, tak peduli sudah setinggi apa kau berdiri. Orang yang rendah hati akan ditinggikan-Nya, sedang orang tinggi hati akan direndahkan-Nya. Itu panutanku.

Semoga nantinya, aku bisa meraih mimpiku, menemukan jejeran karyaku di toko buku. Jangan pernah menyerah, tetap lakukan yang terbaik.

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro