Sesuatu yang Tak Pernah Terucap
Kadang aku berpikir bahwa pelarian dari segala beban yang kupikul sendiri adalah dengan menuliskan semua pada sebuah kertas. Menggores tinta hitam dengan segala kata umpatan yang selama ini kuterpendam. Mengeluh. Memaki. Menghina bahkan menghancurkan diri sendiri. Tulisan yang biasa kusebut sampah.
Namun segalanya menjadi berarti ketika beberapa waktu lalu, aku memutuskan untuk mengirimkan tulisanku dalam sebuah event kepenulisan yang diadakan oleh sebuah penerbit indie. Di luar dugaan, naskah-naskahku masuk menjadi kontribut sebuah buku. Sangat-sangat membahagiakan dan tak dapat kujabar dengan kata-kata. Dan mulai saat itu, aku memutuskan untuk menjadi seorang penulis. Menekuni dunia kepenulisan.
Jauh dari semua kesenangan itu, respon yang kudapatkan dari keluarga tak begitu bagus. Semua keluarga menentangku. Beropini bahwa menjadi seorang penulis hanya akan menjadi hal yang sia-sia karena kecerdasan yang sebenarnya hanya terletak pada nilai sains dan matematika. Sempat beberapa kali frustasi. Memilih menghapus semua cerita di beberapa tempat publish dan mengurung diri dari dunia luar.
Aku tak berpikir bahwa apa yang mereka katakan adalah yang lebih baik untukku, karena bagaimana mereka menyampaikan terkesan sangat merendahkan dan meremehkan kemampuanku. Terlebih lagi dengan tekanan yang selalu mereka berikan padaku. Aku tak bisa berkutik. Memendam dan memendam. Justru kemampuan menulisku setelah itu menjadi semakin berkembang. Bahkan dalam keadaan terendah, aku dapat menuliskan ribuan kata hanya dalam beberapa waktu.
Bakatku semakin terasah setiap harinya. Waktu demi waktu kuhabiskan untuk sekadar menuliskan dua tiga kata di laptop atau di handphone. Dengan mempublikasi di sebuah grup kepenulisan dan mendapat respon yang baik, aku benar-benar merasa menemukan duniaku.
Terlepas dari semua itu, aku bersyukur karena semua yang kuraih dan semua perubahan yang ada tak lain adalah setelah mengenal K-pop terutama boyband bernama BTS. Menurutku pribadi, aku merasa menemukan sesuatu yang selama ini kucari. Sesuatu yang aku butuhkan. Dan dengan hadirnya mereka, aku jadi semakin mengerti diriku sendiri, yang aku butuhkan hanya sebuah motivasi.
Beberapa kali aku mengalami frustasi terhadap segala hal, entah real life yang cukup berantakan atau hujatan orang yang tak menyukaiku di sosmed. Aku mengalami depresi dan lebih sialnya lagi aku mempunyai trust issue hingga tak dapat dengan mudah mempercayai orang untuk menampung semua keluh kesahku. Aku menderita saat itu. Merasa dunia tak lagi membutuhkanku. Tak ada orang yang mempedulikanku. Bahkan berpikir tak ada satu pun dari mereka yang mengerti keadaanku.
Mereka berpikir bahwa apa yang aku rasakan hanya ajang mencari perhatian. Berpikir bahwa penyakit mental yang aku derita sebagai ajang mencari sensasi. Sejujurnya, aku semakin tertekan. Beberapa kali ada sekelebat pikiran menjijikan yang menggangguku. Membisik agar aku melakukan hal gila seperti mencoba mengakhiri hidupku sendiri, seperti menenggelamkan diri ke dalam lautan luas tanpa upaya untuk selamat atau bahkan menggores dan memutuskan beberapa pembuluh darah hingga berakhir mengenaskan. Bersyukurnya, Tuhan menahanku lewat perantara Ibu. Bersyukurnya, Tuhan masih bersedia menjagaku.
Setiap kali melihat Ibu menangis, aku merasa terpukul. Setiap kali Ibu tertawa atau tersenyum bahagia, aku merasa ikut bahagia juga. Aku berpikir lebih jauh jika iblis itu berhasil melancarkan aksinya mungkin aku tak lagi melihat senyum Ibu justru tangis pilu yang mengiringi setiap langkahku menuju ke tempat terakhir. Aku terlalu takut. Aku sadar bahwa selama ini belum mampu membahagiakan Ibu. Belum mampu memberikan yang terbaik untuknya.
Depresi itu tak kunjung reda hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke psikiater. Setelah itu terjadi, Ibu tahu semua masalahku. Ibu tahu segala keluh kesah yang kupendam selama ini. Dari semua masalah itu, Ibu mendukungku. Mendukung segala yang aku lakukan.
Di sepertiga malam aku kadang terbangun hanya untuk menangis, entah sebab apa. Semua itu mendorongku untuk menuangkan segala kegelisahanku dalam tulisan, sembari mendengarkan lagu dari Agust D atau biasa dikenal Suga BTS dengan judul The Last maupun lagu berjudul First Love. Lagu yang emosional dan penuh makna. Seluruh liriknya menggambarkan bagaimana keadaanku. Kecemasanku. Segala yang tak pernah terucap selama ini.
Di titik terendah seperti itu, tanganku seperti terhipnotis. Kadang tanpa sadar aku menulis ribuan kata sambil menangis. Mengeluarkan segala amarah dan segala rasa lelah yang ada dalam benakku. Itu membuatku sedikit lega. Walaupun sedikit saja, aku merasa sangat lega.
Jauh di lubuk hatiku, aku hanya ingin semua orang tahu segala kecemasan yang tak pernah kusampaikan. Tetapi semua itu kadang tak berjalan dengan mulus. Banyak hujatan yang aku dapatkan. Kritikan pedas yang kadang membuatku semakin tertekan. Terlebih dengan segala aturan-aturan kepenulisan yang membuat kepalaku seperti mau meledak. Kadang semua itu membuatku lelah. Membuatku ingin berhenti.
Menjadi seorang penulis tak mudah, tak seperti yang dipikirkan sebagian besar orang awam. Menjabarkan sebuah adegan lewat kata. Membuat sebuah alur. Membuat pembaca seakan masuk dalam cerita. Menuangkan segala pikiran dalam bahasa yang indah dan membuai itu tak mudah. Ada saat di mana rasa lelah dan stuck itu menghampiri. Saat-saat seperti itu justru membuatku kadang memutuskan untuk hiatus sementara dari dunia kepenulisan.
Sebagian pembaca mungkin menghargai keputusan yang aku ambil, tetapi beberapa memilih memberikan beberapa pertanyaan juga pernyataan yang justru membuatku semakin tertekan. Padahal aku hanya ingin menulis sesuai dengan apa yang aku inginkan. Bukan karena tuntutan.
Tak dapat dipungkiri memang, pembaca menjadi poin penting dalam menulis tetapi beberapa pembaca yang arogan justru membuatku menjadi tertekan. Kata-kata memojokkan yang mereka tulis justru membuatku semakin malas dan semakin takut untuk melanjutkan tulisanku. Kadang tak jarang dari mereka yang meremehkan apa yang telah kutulis dengan begitu keras. Aku tak masalah dengan segala macam kritikan, selama itu membuatku tulisanku lebih baik. Tetapi untuk kata-kata yang menyakitkan, itu membuatku depresi. Hingga aku memutuskan untuk istirahat dari dunia kepenulisan selama beberapa waktu.
Aku memikirkan tulisanku akhir-akhir ini. Mereka terbengkalai. Semakin tak terurus. Semakin hancur. Gilanya lagi, aku tak ada minat sedikit pun untuk melanjutkannya. Dan saat itu, banyak hal-hal seperti membatalkan publish tulisanku di wattpad atau grup facebook dan menonaktifkan akun.
Sejujurnya, aku hanya butuh istirahat. Kadang menulis memang membuatku nyaman tetapi di satu sisi menulis juga menghancurkan moodku. Aku merasa kurang dalam hal menulis akhir-akhir ini, semakin merasa kurang dengan kesibukanku yang membuatku tak menyentuh mereka sedikit pun. Terlebih dengan segala tuntutan di kehidupan nyata yang mengangguku akhir-akhir ini.
Aku tak berpikir banyak. Bahkan apa yang aku tulis kali ini sangat-sangat hancur. Sebenarnya menulis dengan tuntutan sangat berat bagiku. Tetapi sebagai anggota yang baik dari grup kepenulisan Jendela Kata, mau tidak mau aku harus memenuhinya.
By springsugar_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro