13. ciciliave
Dunia Lain
Kecintaanku terhadap dunia tulis menulis diawali dari kebiasaan. Mama selalu membelikanku buku dongeng baru tiap bulannya. Kadang dia menyuruhku memilih kalau belinya waktu belanja bulanan. Kadang dia langsung membelinya sepulang kerja. Sekali beli bisa langsung dua sampai tiga buku. Judulnya pun bermacam-macam. Mulai dari cerita lokal seperti 'Dongeng Kancil dan Buaya' sampai dongeng-semua-anak-pasti-tahu sepeti Cinderella, Gadis Berkerudung Merah, dan Hansel and Gretel. Ya, semua itu berawal karena kebiasaan membaca.
Tiap malam, mama selalu memintaku mengambil satu buku yang nantinya bakal dia bacakan. Nggak seperti kebanyakan anak yang kalau dibacakan dongeng bakal tertidur sebelum cerita selesai, aku malah nggak tidur kalau ceritanya belum sampai kata end. Bahkan, kalau hiperaktifnya lagi kumat, aku bakal ambil satu buku lagi untuk dibacakan karena belum mengantuk. Padahal matanya mama sudah lengket, katanya.
Sampai akhirnya mama bilang, "Mama ngantuk banget, nih. Kamu baca sendiri, ya!"
Aku protes, "Kan aku belum bisa baca, Ma!"
"Nah, makanya kamu harus belajar baca. Besok Mama ajarin, ya!"
Sejak saat itu, aku semangat untuk belajar membaca. Mama nggak lagi membacakan dongeng, tapi aku sendiri yang baca. Bacanya sambil bersuara. Kalau salah, mama mengoreksi. Begitu seterusnya sampai akhirnya aku masuk TK dan kemampuan membacaku lebih lancar daripada teman yang lain. Salah satu dongeng favoritku adalah Tikus Kota dan Tikus Desa. Aku nggak tahu itu karangan siapa, pokoknya aku suka.
Selain suka buku, aku juga suka topi (bukan kopi ya, walaupun sekarang juga suka kopi). Aku suka cerita-cerita tentang magick dan penyihir. Nah, waktu itu musim hujan dan aku punya topi baru. Modelnya segitiga runcing, persis kayak yang biasa dipakai para penyihir. Waktu hujan turun, aku duduk di teras sambil pakai topi terus sok-sokan menyulap langit. Nggak tahu semesta berpihak padaku atau gimana, hujannya reda. Kejadian itu berulang sampai akhirnya aku punya cita-cita konyol jadi dewi hujan!
Sejak saat itu, kalau ditanya sama orang tua, guru, om, tante, kakek, nenek, teman, tetangga, orang sok ramah sok akrab sok kenal, "Cita-citanya besok mau jadi apa?" Bisa ditebak kan jawabnya apa? Mayoritas mereka selalu bilang, "Bukan. Cita-cita itu jadi dokter, guru, presiden, pilot, astronot." Dan itu membuatku kesal karena mereka nggak paham kalau cita-cita kan bebas, suka-suka aku dong mau jadi apa.
Aku yakin 99,99% itu efek karena terlalu banyak membaca dongeng. Mereka menjual mimpi dan menerbangkan imajinasi. Jujur, aku masih bercita-cita menjadi dewi hujan sampai akhir kelulusan SD. Konyol kan? Nah, karena banyak orang nggak paham akan cita-citaku yang mulia ini, aku berpikir ya udahlah kalau mereka nggak paham mungkin aku bisa curhat sama Bobo.
Sejak saat itu, aku rajin kirim cerpen tentang hujan, penyihir, dewi hujan, dewa petir, pangeran awan –yang nggak pernah dimuat di majalah– tiap bulannya. Kirim ke kantor posnya selalu ditemani sama Mbak (sebutanku untuk ART). Sampai akhirnya, waktu kelas 5 SD aku dipilih untuk mewakili SD-ku lomba resensi di tingkat kecamatan!
Cara lombanya, kami diberi satu buku antologi dan diberi waktu sekitar satu jam untuk membaca (bukunya nggak terlalu tebal). Setelahnya, buku dikumpulkan dan kami diberi waktu untuk menulis ringkasan dari apa yang sudah kami baca dalam beberapa lembar kertas. Sekolahku mendapat peringkat tiga! Mulai saat itu, aku mulai serius banyak membaca dan menulis. Aku berlangganan kumcer Bobo tiap bulan. Kadang minta duit ke orang tua, kadang nabung sendiri. Jadi, semacam langganan yang unofficial.
Nah, akhirnya waktu SMP aku mulai sadar kalau cita-cita jadi dewi hujan itu nggak mungkin. Walaupun sedih (dan sebenarnya cita-cita itu masih tersimpan di sudut hati sampai sekarang), aku mencoba untuk move on. Namun, aku masih sering menulis tentang hal-hal di luar nalar meskipun cuma dikumpulkan sebagai tugas Bahasa Indonesia.
Sedari SMP hingga SMA, guru Bahasa Indonesia sudah hapal kalau ceritanya seputar itu dan agak-agak aneh berarti punyaku. Bahkan, aku sempat nggak menyangka kalau guruku masih ingat mantan anak didiknya sampai sekarang! Beberapa bulan lalu, aku bertemu beliau di mall. Aku menyapa dan beliau ingat namaku!
Beliau tanya, "Sekarang semester berapa?"
"Skripsi, Pak." (Yah, buka kartu sendiri)
"Terus mau kerja di mana? Saya punya teman di ... (salah satu media cetak ternama), kalau nanti sudah lulus hubungi saya, ya. Supaya nanti masuknya gampang."
Satu hal yang beliau nggak tahu, aku ambil jurusan yang nggak ada sastra-sastranya sama sekali! Beliau sempat kaget. Kaget karena aku sudah kembali ke jalur yang benar (nggak bermimpi untuk jadi penghuni langit), juga karena nggak percaya 'emang ini anak bisa mikir serius?' –mukanya kelihatan banget! Di satu sisi, aku senang masih diingat setelah beberapa tahun nggak pernah berjumpa. Di sisi lain, aku jadi sedih dan galau karena nggak bisa melanjutkan hobiku di bidang sastra dan kepenulisan.
Selepas menang lomba resensi, aku nggak pernah ikut lomba sejenis itu lagi sampai saat ini. Semasa SMP dan SMA pun, aku cuma rajin dan suka aja kalau dapat tugas menulis cerpen. Aku selalu mengerjakannya dengan serius. Masuk ke dunia perkuliahan, aku merasa hidupku berbeda 180o karena sudah nggak berjumpa lagi dengan pelajaran Bahasa Indonesia, otomatis nggak pernah menulis cerpen. Imajinasiku nggak bisa dikeluarkan. Bisa dibilang, aku nggak punya tempat untuk menyalurkan imajinasiku.
Akhirnya pada bulan Desember 2015, aku menemukan kelas menulis offline yang diadakan oleh Kak Kurniawan Gunadi (penulis tumblr). Jadilah aku mendaftar, apalagi ada tulisan GRATIS! Syaratnya pun cukup mudah, cuma diminta untuk mengirim esai <500 kata tentang alasan kenapa ingin bergabung di Kelas Langit. Beruntungnya, aku adalah salah satu dari 12 orang terpilih! Kelas Langit diadakan selama bulan Januari 2016. Kak Gun –begitu sapaannya– membagikan ilmu pada kami tentang kepenulisan. Di situ kami saling bercerita tentang pengalaman menulis, dapat ilmu dari Kak Gun yang sudah lebih berpengalaman, dapat snack dan minum gratis. Kami pun mendapat dua bukunya, lagi-lagi, secara GRATIS!
Dari situlah aku mengenal tumblr. Kami masing-masing punya akun tumblr dan disarankan untuk rajin posting. Nah, karena waktu itu aku juga lumayan rajin menulis di platform tersebut, aku menemukan LINE group Tumblr Indonesia dan Kelas Puisi. Menjadi anggota Kelas Puisi selama beberapa bulan, akhirnya aku menyerah. Ternyata (bagiku) menulis puisi jauh lebih susah daripada menulis cerita biasa. Aku paling nggak puitis di antara mereka. Jadilah aku cuma mengikuti Tumblr Indonesia. Sampai akhirnya, sekarang aku nggak punya LINE lagi. Akun tumblr-ku () masih ada meskipun sudah nggak pernah posting. Walaupun begitu, aku nggak ingin menghapusnya karena ada banyak kenangan di sana. Apalagi tentang Kelas Langit.
Aku juga menemukan dan bergabung di Kelas Cerpen Batch 2 melalui WhatsApp. Kelas itu berlangsung selama beberapa bulan. Kami saling memberi feedback. Beruntungnya lagi, aku dapat peringkat tiga besar! Sehingga kami bertiga terpilih menjadi mentor untuk Kelas Cerpen Batch 3. Di setiap akhir sesi batch akan ada proyek menulis buku antologi. Itu adalah pertama kalinya aku mempraktekan ilmu dari kak Gun tentang self-publishing. Ternyata ... lumayan ribet sekaligus bahagia karena akhirnya 'punya buku'!
Setelah selesai dengan kegiatan komunitas menulis baik online maupun offline, aku mulai iseng untuk kerja freelance (masih berlangsung sampai sekarang). Beberapa kali aku dapat job dari client, baik dalam maupun luar negeri. Biasanya aku menerima job sebagai content writer, copywriter, ghostwriter, contributor writer, proofreader, virtual assistant, dan translator. Dari situ, aku bisa menyalurkan hobi menulis sekaligus dapat fee.
Aku sudah cukup senang dengan pencapaianku sampai saat ini. Namun, nggak bisa dipungkiri kalau kerja semacam ini, kamu akan dapat peraturan dan harus mengikuti sistem kerja. Belum lagi kalau hasil pekerjaanmu belum sesuai dengan ekspektasi mereka, harus siap dan mau revisi. Dalam hal tersebut, aku merasa kurang bebas dalam berekspresi. Ada batas invisible yang sedikit mengganggu ketenteraman jiwa. Tapi ya namanya dibayar, harus nerimo.
Selain menjadi freelancer, kadang aku juga ikut writing challenge dari untuk meningkatkan kemampuan writing skill. Bahkan, aku sudah membeli domain dan punya platform sendiri. Nantinya, aku berniat menjadikannya bisnis sih (nggak ada kaitan dengan kepenulisan). Sedangkan untuk menjawab writing challenge biasa aku posting di .
Jujur, saat ini peranku di Wattpad baru sebatas reader. Masih belum naik level. Aku punya keinginan untuk menulis di Wattpad. Sayangnya, aku masih belum berani mem-publish ceritaku di dunia orange. Kalau dalam komunitas, karyaku akan dibaca dan diberi feedback oleh orang yang secara langsung sudah aku kenal. Beberapa malah sudah berkomunikasi secara intens. Sedangkan di Wattpad, karyaku bisa dibaca dan diberi komentar oleh siapa saja. Masih ada ketakutan kalau nantinya aku dapat hujatan. Ya, aku gampang down. Itu kelemahanku.
Namun, di sisi lain aku juga ingin tahu apakah karyaku layak dibaca, apakah aku punya pembaca, apakah aku layak disebut author. Beberapa minggu terakhir, aku mulai mencari komunitas menulis di Wattpad dan menemukan Jendela Kata Community. Dari sekian banyak komunitas yang bertebaran, aku merasa cocok cuma dengan komunitas ini. Walaupun saat ini aku belum menjadi member, aku berharap supaya kelak bisa jadi salah satu dari member JK. Semoga tercapai di tahun 2018.
Aku berpikir, kalau ada komunitas mungkin aku nggak malu lagi. Lumayan banget, bisa menambah koneksi sekaligus belajar bareng. Jadi, semisal aku publish work seburuk-buruknya minimal ada yang bacalah kalau aku tergabung dalam komunitas. Beruntungnya lagi, aku mendapat notifikasi kalau ada challenge ini! Tanpa berpikir panjang, aku mulai mention 5 teman, menulis apa yang bisa ditulis, dan berharap bisa dapat tiket masuk jadi member. Kalau bisa menang, bonus plus pakai banget! Pokoknya, aku dimasukkan ke komunitas JK aja udah seneng!
Membaca tulisan kalian, aku tergoda untuk naik kasta menjadi penulis Wattpad. Dari cerita kalian, aku merasa bahwa usahaku selama ini masih datar-datar aja. Let's say I'm a coward. Bahkan, kalian berani publish, nggak peduli kalau pun nggak ada yang membaca dan ada yang nggak suka. It's breath-taking! Aku kasih 4 jempol buat kalian! Makasih sudah mengobarkan api semangat, ya! You're superSTAR!
Intinya, aku ikut challenge ini untuk satu tujuan. Supaya bisa dimasukkan sebagai member JK secara instan, no tipu-tipu (kayaknya, aku terlalu nge-gas ya?). Challenge ini aku harap bisa jadi awal kembali membiasakan diri untuk menulis. Jari ini sudah mulai kaku-kaku, semoga bisa lebih lemes. Kalau masih ada yang posisi kastanya kayak aku, yuk kita mulai upgrade diri sendiri. Lebih berusaha lagi. Nggak ada kata terlambat untuk membuat kebiasaan baru yang bermanfaat. Karena ...
There's no growth in the comfort zone. There's no comfort in the growth zone
Aku sendiri sudah memutuskan untuk berada di zona bertumbuh. Di situ aku nggak akan menemukan kenyamanan, tapi aku akan lebih dewasa. Mungkin awalnya dapat negative feedback dulu nggak apa-apa. Daripada terus-menerus berdiam diri tapi nggak mengembangkan talenta. Yuk, upgrade writing skill kita di tahun 2018! Seperti apa yang dikatakan John Acuff, "The more you fail, the less it hurts, the more you win!"
Saat ini aku masih berada di garis start. Kalau kamu juga masih berada di garis yang sama, kita bisa mulai berjalan, berlari, dan terbang bersama. Kalau kamu sudah berada di tengah perjalanan, lanjutkan perjalananmu! Jadilah panutan bagi kami yang ada di belakangmu. Mari kita gerakkan lagi jari kita yang sudah kaku! Sambut 2018 dengan resolusi yang baru!
Selamat ulang tahun JK! Semoga makin jaya!
Semoga aku punya kesempatan untuk berkenalan dengan orang hebat seperti kalian.
Semoga JK bisa jadi duniaku yang lain.
Semoga aku bisa jadi bagian dari dunia kalian.
See you when I see you
Written by ciciliave
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro